Selasa, 09 Oktober 2007

Tradisi Mudik dan Pesan Puasa

Tanpa terasa ibadah puasa ramadan tahun 1428 hijriah akan segera berakhir. Salah satu pengalaman yang barangkali sangat penting dan terasa begitu mendalam bagi orang yang berpuasa adalah perasaan senantiasa dekat dengan Allah. Hal ini setidaknya tercermin dari keseluruhan aktivitas kita selama Ramadan. Semua waktu dimanfaatkan untuk beribadah.Dalam perspektif ajaran Islam, perasaan dekat dengan Allah itu disebut dengan muraqabah. Merasa dekat dengan Allah itulah sesungguhnya esensi makna dari nilai-nilai ketaqwaan yang menjadi tujuan orang berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183). Puasa telah mengajarkan kepada kita mengenai makna kehadiran Allah dalam hidup ini. Melalui ibadah puasa itulah Allah benar-benar bersifat hadir (omnipresent). Dengan cara pandang seperti ini orang yang berpuasa mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan atau merusak ibadah puasa.


Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman. Menurut perkiraan Dinas Perhubungan Jawa Timur, kepadatan arus mudik lebaran akan terasa sejak 7-11 Oktober 2007. Pada saat itulah jasa angkutan darat, laut, dan udara menjadi semakin sibuk. Demikian juga dengan berbagai jasa angkutan mudik gratis di metropolis.

Uniknya, tradisi mudik Lebaran telah menjadi ritual bagi semua orang, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturrahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bahkan di antara mereka ada yang ingin nyekar ke anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Semua motivasi yang menyertai tradisi mudik ini dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

Karena didorong berbagai motivasi tersebut, biasanya pemudik rela mengeluarkan biaya yang banyak, bersusah payah, berdesak-desakan, dan bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri. Fenomena ini dapat diamati ketika mereka harus antri dan berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, serta terminal bus dan kereta api. Bahkan tidak sedikit pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan berboncengan bersama anggota keluargan dan barang bawaannya. Semua ini dilakukan agar mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri.

Jika diamati, ternyata tradisi mudik memiliki sumbangan yang sangat besar untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab para pemudik biasanya datang dengan membawa hasil jerih payah selama bekerja di perantauan berupa uang dan barang-barang dalam jumlah relatif banyak. Mereka yang datang dengan berbagai profesi biasanya membagi-bagikan oleh-oleh kepada sanak keluarga dan tetangga terdekat. Melalui tradisi ini sesungguhnya para pemudik telah mengajarkan kepada kita cara berbagi kebahagiaan dengan sesama untuk merayakan hari kemenangan. Mereka tampak menyadari makna puasa Ramadan dan berhari raya Idul fitri. Maka pada konteks inilah mudik Lebaran jelas memiliki makna sosial, ekonomi, dan spiritual yang sangat penting.

Melalui tradisi ini, para pemudik berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama melalui jalinan silaturahmi dan budaya saling mengunjungi. Sementara makna ekonomi dari mudik Lebaran dapat diamati melalui tradisi untuk membawa hasil kerja selama di perantauan sehingga dapat mempengaruhi dinamika gerak perekonomian di desa. Jika para TKI dan TKW, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang asongan, pegawai, dan pejabat publik, melaksanakan mudik Lebaran, maka dapat dipastikan akan ada perputaran uang dan barang-barang baru dalam jumlah yang sangat banyak di pedesaan. Hal ini jelas dapat menumbuhkan gairah perekonomian di desa.

Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistika (BPS), dikatakan bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur untuk periode Maret 2007 mencapai 7,138 juta jiwa (18,93 persen Sementara jumlah pengangguran mencapai 1,082 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar ternyata berada di pedesaan (21,33 persen dan sisanya berada di perkotaan (15,78 persen). Maka berkaitan dengan ritual mudik lebaran tersebut, keberadaan para pemudik dengan semua barang bawaannya jelas sangat menguntungkan penduduk miskin di pedesaan. Mereka akan turut menikmati kehadiran para pemudik. Apalagi semangat yang diusung para pemudik adalah berbagi dengan sesama.

Mudik dan Pesan Puasa

Makna mudik secara spiritual ternyata dapat ditemukan dalam Alquran. Tentu saja, pengertian mudik yang dimaksudkan adalah makna metaforis. Tradisi mudik dalam Alquran dapat diartikan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Karena hanya dengan cara inilah kita akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika dalam tradisi mudik Lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih. Derajat ketaqwaan sebagai hasil ibadah puasa dapat merupakan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.

Berkaitan dengan tradisi mudik, menurut saya budaya yang harus dihindari adalah konsumeris. Peringatan ini layak dikemukakan, sebab budaya konsumeris biasanya sangat melekat dengan perayaan idul fitri dan even-even lain seperti tahun baru dan hari natal. Membeli barang secara berlebihan apalagi di luar kebutuhan utama (basic need) atau sekedar untuk pamer dan berfoya-foya, jelas merupakan sikap yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dapat digali dari pelaksanaan ibadah puasa. Bukankah salah satu misi ibadah puasa itu adalah untuk membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Ibadah puasa juga bertujuan membangun kesalehan sosial. Karena itu, upaya penyadaran masyarakat agar tidak berperilaku komsumtif perlu dilakukan. (mr_abien@yahoo.com)

By: Biyanto, Ketua Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307342

Tidak ada komentar: