Hanta Yuda AR, Jakarta
Unless there are big surprises, the same old faces will very likely dominate the 2009 presidential election, because so far there is not even a little sign that new faces from a younger generation will emerge. The regeneration of national leadership will still be sluggish in this era of democracy, where political parties still hold a strategic role in producing cadres of national leaders. The political parties seem to have not played their role well enough.
The regeneration of the leadership of political parties will be an indicator of the success of the cadre development of the parties. This will also show the smoothness of the regeneration of the leadership of the nation.
However, to be fair, we need to remember that during Soeharto's 32-year-rule, he effectively eliminated potential young leaders, and only those who were loyal to him had the chance to work in state affairs.
Meanwhile, political parties, as democratic institutions, are still controlled by the old elites. The one exception is the PKS, which has been led since the beginning by its young cadres. All important positions, including the heads of parties as well as the heads and members of the boards of advisors, are filled by the old elite. The political parties are still the main source of the national leadership.
The regeneration of the leadership of the political parties shows the face of the regeneration of the national leadership. The candidates who will be supported by political parties in the 2009 elections will be politicians who control major political parties. Major political parties like the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) will still support their old faces like Megawati Soekarnoputri.
A survey conducted by Lembaga Survey Indonesia in October 2007 revealed there are seven figures who receive public support for the presidency: President Susilo Bambang Yudhoyono (58 years old), Megawati Soekarnoputi (62), co-founder of the National Mandate Party Amien Rais( 63), Gen. (ret.) Wiranto ( 60), Yogyakarta Governor Sultan Hamengku Buwono X (61), Vice President Jusuf Kalla (65) and former Jakarta governor Lt. Gen. (ret) Sutioyoso (63). Those seven figures are old players from the old generation of politicians. Even though the reform era has entered its ninth year, young new players have not emerged to lead the nation.
Most of the candidates for the 2009 elections will be in their sixties. This means there will be stagnation in the regeneration of leadership.
These developments are of great concern. This nation should be able to produce new cadres of leaders to anticipate the challenges in the future. Indonesia needs progressive, young new leaders who are capable of consolidating the nation and developing national solidarity in an effort to face globalization.
The central figures of the political parties are factors of resistance to the regeneration process of leadership of political parties, which in turn impacts the regeneration of national leadership. Major political parties like the PDIP, the National Awakening Party (PKB) and the Democratic Party (PD) still maintain this pattern. This is also shared by smaller political parties, which rely heavily on the figures or the oligarchy system.
In the PDIP, Megawati would remain the main actor. She will still influence the decision-making of the party. In other words, the PDIP is Megawati, and Megawati is the PDIP.
The developments in the PKB actually are similar to what has happened in the PDIP. The party is always identified with Gus Dur. It is likely the PKB without Gus Dur will lose the support of the people. The figure of SBY in the PD is also central. The party is dependent on the President. If SBY cuts his association with the party, the party will be left in a serious condition.
Gerontocracy is prevalent in Indonesia's political parties. The reason for this is the ambitions of the old politicians to stay in power. Their unwillingness to give new opportunities to young leaders has posed an obstacle to the regeneration process.
Gerontocracy closes the opportunity for young leaders to emerge in national politics. This will lead to the sluggishness of the regeneration process.
To break free from gerontocracy, there should be age limit for candidates vying for important positions in the political parties. Without lessening our respect for the old politicians, this age limitation is necessary to refresh our politics.
In the reform era, there are many figures from political parties, bureaucrats, academics and professionals who could be alternatives for national leaders.
They will participate in the democratic process through participation in the general elections. They will occupy many important positions in this country.
Young leaders are expected to balance the strength of the old leaders by increasing political lobbies, monitoring financial matters, developing social solidarity and mastering democratic institutions. There should be synergy amongst those leaders from different backgrounds. The readiness of young leaders will determine the regeneration of leadership in Indonesia.
The writer is political analyst and researcher of the Indonesian Institute in Jakarta
Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20071222.D07&irec=2
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Jumat, 21 Desember 2007
Minggu, 09 Desember 2007
Tahun Prorakyat dalam Taruhan
Wisnu Nugroho dan Suhartono
Sejumlah janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla semasa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dipadatkan menjadi rencana dan program kerja sesaat setelah dilantik dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2004. Tiga agenda utama untuk mengubah Indonesia menjadi lebih aman, adil, dan sejahtera dipijak sebagai landasan melangkah. "Bersama Kita Bisa!"
Untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya, kebijakan ekonomi pemerintah dijalankan dengan mengacu pada tiga strategi yang kerap dikumandangkan Presiden pada dua tahun awal pemerintahan, yaitu pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan).
Entah kenapa, tiga strategi itu tak lagi kerap disebut di sepanjang tahun 2007. Di awal 2007, alih-alih menyebut tiga strategi itu, Presiden menyebut satu ungkapan baru, yaitu prorakyat yang merupakan rangkuman dari pro job dan pro poor.
Presiden sadar, pertumbuhan yang tinggi tanpa dampak langsung untuk rakyat adalah sia-sia.
"Memang benar, tahun yang kita arungi di waktu lalu adalah tahun yang tidak mudah. Memang benar persoalan itu belum dapat diatasi. Tetapi, tidakkah nyata, atas kerja keras semua pihak, atas dukungan dan kesabaran rakyat, banyak hal sudah dicapai selama ini, seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, keamanan, dan peranan internasional? Bidang itu semakin kokoh," ujar Presiden saat pidato awal tahun 2007.
Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, selain pertumbuhan industri dalam negeri terus didorong, investasi baru di berbagai bidang, terutama infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dan proyek pembangkit listrik, dipacu agar bergerak lebih cepat.
Dalam upaya mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program dikeluarkan dan dilanjutkan, mulai dari bantuan langsung tunai, permodalan usaha kecil dan menengah, bantuan operasional sekolah, serta jaminan Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin).
Secara garis besar, rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009. RPJM dijadikan acuan semua kepala daerah dalam menyusun program kerjanya.
Pada awalnya manis
Pada awalnya, semua terlihat manis dan menjanjikan. Presiden Yudhoyono sangat optimistis. "Saya melihat peluang dan harapan yang lebih baik di tahun ini (2007) dan Insya Allah di tahun-tahun mendatang," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, pemerintah menggelar pertemuan pebisnis internasional yang disebut Infrastructure Summit 2007. Ini adalah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama digelar tahun 2005.
Aturan yang selama ini mempersulit pertumbuhan industri dan peluang investasi dipangkas. Ketentuan tentang perburuhan, seperti pesangon dan lainnya, akan direvisi. Badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak sehat akan dilikuidasi, selain tetap akan melanjutkan privatisasi.
Bagi puluhan juta rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan, pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian dan perikanan di Waduk Jatiluhur. Pencanangan itu ditindaklanjuti dengan target peningkatan produksi gabah setara beras sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007.
Program revitalisasi ini ditopang pemerintah dengan pembagian bibit dan benih unggulan secara gratis kepada petani dan peternak. Nilai anggaran APBN untuk program ini adalah Rp 1 triliun. Guna mempercepat swasembada gula, pemerintah juga melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Menghadapi terus naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah mendorong pengembangan energi alternatif seperti biofuel sebagai pengganti energi berbahan baku fosil. Pemerintah juga bertekad mengganti minyak tanah dengan gas elpiji dalam program konversi minyak tanah. Pemerintah juga mempunyai program baru, meningkatkan produksi minyak mentah di atas 1,043 juta kiloliter per tahun dari sebelumnya di bawah satu juta kiloliter.
Belum terasa
Hampir semua program tersebut, dalam pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Wapres Kalla, dengan monitoring Presiden Yudhoyono. Namun, kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan, setidaknya dalam satu tahun ini, belum terasa.
Pertemuan infrastruktur kedua telah berakhir, tetapi proyek infrastruktur berjalan tertatih-tatih. Persoalan tanah, modal, aturan, dan birokrasi menjadi penyebabnya. Pembangunan jalan tol terhalang pembebasan lahan di tengah kemudahan investasi dan akses modal.
Pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan pembangkit listrik membentur tembok pendanaan. Untuk menggerakkannya, pemerintah mengeluarkan jaminan pertanggungan oleh APBN yang tidak lain dari uang rakyat, selain skema yang sangat menguntungkan para investor.
Semua rencana dan hambatan yang menghadang telah dicoba diatasi dengan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hambatan birokrasi, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla langsung turun tangan.
Hambatan birokrasi
Mulai awal 2007, Presiden dan Wapres bergantian dan seperti berlomba-lomba memimpin rapat di belasan departemen teknis dan berbagai instansi.
Meski demikian, hasil kerja dan capaian setiap departemen dirasakan belum memuaskan. "Kadang kala, saya harus memimpin langsung dulu sebelum saya lepaskan kepada mereka dan meminta perkembangannya," ujar Wapres akhir Oktober lalu.
Karena geregetan dengan kerja birokrat, untuk program konversi minyak tanah ke gas, misalnya, hampir setiap minggu digelar rapat di Istana Wapres. Tidak cukup memberi instruksi kepada para menteri, Wapres sampai mengontrol langsung ke pabrik pembuatan kompor, pasokan, dan distribusinya.
Meskipun dipantau dan diarahkan, program pengadaan tabung gas sempat meleset dari sasaran dan menimbulkan kebingungan dan pro kontra, setelah munculnya impor tabung.
Dalam soal penyaluran benih pertanian, Wapres juga mengeluh. "Sudah dibuatkan kerja sama tiga lembaga (BPKP, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) agar penunjukan langsung bibit dan benih gratis untuk menopang dua juta produksi beras dilakukan, sampai sekarang tak lebih dari 50 persen pelaksanaannya," ujarnya.
Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin yang angkanya mencapai 37,1 juta jiwa, pemerintah mewujudkan program Askeskin yang merupakan kelanjutan rancangan program pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Askeskin diberikan bukan hanya untuk 37,1 juta jiwa yang benar-benar miskin, tetapi juga rakyat setengah miskin dan kurang mampu. Karena itu, angkanya mencapai 76,4 juta jiwa. Meski sudah rinci dan tegas kebijakannya, dalam pelaksanaan di Departemen Kesehatan, program itu belum berjalan mulus.
Laporan Bappenas memang menyebutkan, selain masih digunakan untuk sebagian belanja barang, sosialisasi untuk Askeskin dianggap kurang. Tahun anggaran berjalan 2007 ini Departemen Kesehatan malah minta tambahan anggaran Rp 1,3 triliun. Namun, yang dipenuhi hanya sekitar Rp 700 miliar. Padahal, total alokasi pemerintah untuk program ini cukup besar, sekitar Rp 3,5 triliun.
Birokrasi berikut aparatnya memang menjadi sumber persoalan untuk pelaksanaan program prorakyat yang dicanangkan dan ingin dituai pemerintah. Aparat yang sebelumnya bebas melakukan apa saja, termasuk kemungkinan menyelewengkan uang negara, sekarang seperti tak berani berkutik. Ketakutan dituding korupsi selalu dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab.
Wapres Kalla pun sempat mengancam aparat birokrasi yang tidak berani berbuat apa-apa sehingga membuat anggaran negara untuk kepentingan rakyat tak terserap. Hingga akhir Oktober 2007, penyerapan APBN untuk pembangunan hanya 30,7 persen atau Rp 20,9 triliun dari total anggaran Rp 68,1 triliun.
Kenyataan tidak jauh berbeda juga terjadi di daerah. Jumlah serapan setiap APBD berkisar di angka 30 persen saja.
Dengan tidak digunakannya anggaran negara yang sudah ada untuk pembangunan, bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan program prorakyat yang sudah dicanangkan sejak awal tahun 2007.
Kini waktu makin sempit karena akhir masa jabatan tinggal dalam hitungan bulan. Upaya menggenjot dan mencetak daftar kata "telah" banyak terlewatkan. Hampir 70 persen rakyat yang mendapat dukungan anggaran pembangunan tidak tersapa dan diperjuangkan.
Dua puluh bulan mendatang, rakyat sudah akan menimbang dan mengambil keputusan di hari penghakiman.
Sejumlah janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla semasa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dipadatkan menjadi rencana dan program kerja sesaat setelah dilantik dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2004. Tiga agenda utama untuk mengubah Indonesia menjadi lebih aman, adil, dan sejahtera dipijak sebagai landasan melangkah. "Bersama Kita Bisa!"
Untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya, kebijakan ekonomi pemerintah dijalankan dengan mengacu pada tiga strategi yang kerap dikumandangkan Presiden pada dua tahun awal pemerintahan, yaitu pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan).
Entah kenapa, tiga strategi itu tak lagi kerap disebut di sepanjang tahun 2007. Di awal 2007, alih-alih menyebut tiga strategi itu, Presiden menyebut satu ungkapan baru, yaitu prorakyat yang merupakan rangkuman dari pro job dan pro poor.
Presiden sadar, pertumbuhan yang tinggi tanpa dampak langsung untuk rakyat adalah sia-sia.
"Memang benar, tahun yang kita arungi di waktu lalu adalah tahun yang tidak mudah. Memang benar persoalan itu belum dapat diatasi. Tetapi, tidakkah nyata, atas kerja keras semua pihak, atas dukungan dan kesabaran rakyat, banyak hal sudah dicapai selama ini, seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, keamanan, dan peranan internasional? Bidang itu semakin kokoh," ujar Presiden saat pidato awal tahun 2007.
Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, selain pertumbuhan industri dalam negeri terus didorong, investasi baru di berbagai bidang, terutama infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dan proyek pembangkit listrik, dipacu agar bergerak lebih cepat.
Dalam upaya mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program dikeluarkan dan dilanjutkan, mulai dari bantuan langsung tunai, permodalan usaha kecil dan menengah, bantuan operasional sekolah, serta jaminan Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin).
Secara garis besar, rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009. RPJM dijadikan acuan semua kepala daerah dalam menyusun program kerjanya.
Pada awalnya manis
Pada awalnya, semua terlihat manis dan menjanjikan. Presiden Yudhoyono sangat optimistis. "Saya melihat peluang dan harapan yang lebih baik di tahun ini (2007) dan Insya Allah di tahun-tahun mendatang," katanya.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, pemerintah menggelar pertemuan pebisnis internasional yang disebut Infrastructure Summit 2007. Ini adalah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama digelar tahun 2005.
Aturan yang selama ini mempersulit pertumbuhan industri dan peluang investasi dipangkas. Ketentuan tentang perburuhan, seperti pesangon dan lainnya, akan direvisi. Badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak sehat akan dilikuidasi, selain tetap akan melanjutkan privatisasi.
Bagi puluhan juta rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan, pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian dan perikanan di Waduk Jatiluhur. Pencanangan itu ditindaklanjuti dengan target peningkatan produksi gabah setara beras sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007.
Program revitalisasi ini ditopang pemerintah dengan pembagian bibit dan benih unggulan secara gratis kepada petani dan peternak. Nilai anggaran APBN untuk program ini adalah Rp 1 triliun. Guna mempercepat swasembada gula, pemerintah juga melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.
Menghadapi terus naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah mendorong pengembangan energi alternatif seperti biofuel sebagai pengganti energi berbahan baku fosil. Pemerintah juga bertekad mengganti minyak tanah dengan gas elpiji dalam program konversi minyak tanah. Pemerintah juga mempunyai program baru, meningkatkan produksi minyak mentah di atas 1,043 juta kiloliter per tahun dari sebelumnya di bawah satu juta kiloliter.
Belum terasa
Hampir semua program tersebut, dalam pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Wapres Kalla, dengan monitoring Presiden Yudhoyono. Namun, kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan, setidaknya dalam satu tahun ini, belum terasa.
Pertemuan infrastruktur kedua telah berakhir, tetapi proyek infrastruktur berjalan tertatih-tatih. Persoalan tanah, modal, aturan, dan birokrasi menjadi penyebabnya. Pembangunan jalan tol terhalang pembebasan lahan di tengah kemudahan investasi dan akses modal.
Pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan pembangkit listrik membentur tembok pendanaan. Untuk menggerakkannya, pemerintah mengeluarkan jaminan pertanggungan oleh APBN yang tidak lain dari uang rakyat, selain skema yang sangat menguntungkan para investor.
Semua rencana dan hambatan yang menghadang telah dicoba diatasi dengan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hambatan birokrasi, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla langsung turun tangan.
Hambatan birokrasi
Mulai awal 2007, Presiden dan Wapres bergantian dan seperti berlomba-lomba memimpin rapat di belasan departemen teknis dan berbagai instansi.
Meski demikian, hasil kerja dan capaian setiap departemen dirasakan belum memuaskan. "Kadang kala, saya harus memimpin langsung dulu sebelum saya lepaskan kepada mereka dan meminta perkembangannya," ujar Wapres akhir Oktober lalu.
Karena geregetan dengan kerja birokrat, untuk program konversi minyak tanah ke gas, misalnya, hampir setiap minggu digelar rapat di Istana Wapres. Tidak cukup memberi instruksi kepada para menteri, Wapres sampai mengontrol langsung ke pabrik pembuatan kompor, pasokan, dan distribusinya.
Meskipun dipantau dan diarahkan, program pengadaan tabung gas sempat meleset dari sasaran dan menimbulkan kebingungan dan pro kontra, setelah munculnya impor tabung.
Dalam soal penyaluran benih pertanian, Wapres juga mengeluh. "Sudah dibuatkan kerja sama tiga lembaga (BPKP, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) agar penunjukan langsung bibit dan benih gratis untuk menopang dua juta produksi beras dilakukan, sampai sekarang tak lebih dari 50 persen pelaksanaannya," ujarnya.
Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin yang angkanya mencapai 37,1 juta jiwa, pemerintah mewujudkan program Askeskin yang merupakan kelanjutan rancangan program pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Askeskin diberikan bukan hanya untuk 37,1 juta jiwa yang benar-benar miskin, tetapi juga rakyat setengah miskin dan kurang mampu. Karena itu, angkanya mencapai 76,4 juta jiwa. Meski sudah rinci dan tegas kebijakannya, dalam pelaksanaan di Departemen Kesehatan, program itu belum berjalan mulus.
Laporan Bappenas memang menyebutkan, selain masih digunakan untuk sebagian belanja barang, sosialisasi untuk Askeskin dianggap kurang. Tahun anggaran berjalan 2007 ini Departemen Kesehatan malah minta tambahan anggaran Rp 1,3 triliun. Namun, yang dipenuhi hanya sekitar Rp 700 miliar. Padahal, total alokasi pemerintah untuk program ini cukup besar, sekitar Rp 3,5 triliun.
Birokrasi berikut aparatnya memang menjadi sumber persoalan untuk pelaksanaan program prorakyat yang dicanangkan dan ingin dituai pemerintah. Aparat yang sebelumnya bebas melakukan apa saja, termasuk kemungkinan menyelewengkan uang negara, sekarang seperti tak berani berkutik. Ketakutan dituding korupsi selalu dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab.
Wapres Kalla pun sempat mengancam aparat birokrasi yang tidak berani berbuat apa-apa sehingga membuat anggaran negara untuk kepentingan rakyat tak terserap. Hingga akhir Oktober 2007, penyerapan APBN untuk pembangunan hanya 30,7 persen atau Rp 20,9 triliun dari total anggaran Rp 68,1 triliun.
Kenyataan tidak jauh berbeda juga terjadi di daerah. Jumlah serapan setiap APBD berkisar di angka 30 persen saja.
Dengan tidak digunakannya anggaran negara yang sudah ada untuk pembangunan, bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan program prorakyat yang sudah dicanangkan sejak awal tahun 2007.
Kini waktu makin sempit karena akhir masa jabatan tinggal dalam hitungan bulan. Upaya menggenjot dan mencetak daftar kata "telah" banyak terlewatkan. Hampir 70 persen rakyat yang mendapat dukungan anggaran pembangunan tidak tersapa dan diperjuangkan.
Dua puluh bulan mendatang, rakyat sudah akan menimbang dan mengambil keputusan di hari penghakiman.
Chavez, Putin, dan Dua Demokrasi
Oleh Ahmad Dahlan
Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.
Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.
Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.
Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?
Menunggangi Demokrasi?
Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.
Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.
Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.
Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.
Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.
Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.
Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.
Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.
Demokrat Sejati?
Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.
Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.
Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.
Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.
Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)
Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.
Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.
Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.
Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."
Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?
Menunggangi Demokrasi?
Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.
Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.
Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.
Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.
Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.
Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.
Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.
Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.
Demokrat Sejati?
Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.
Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.
Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.
Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.
Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)
Rabu, 31 Oktober 2007
Kapan Idul Fitri Bersama?
Sebagaimana kita ketahui, cara penentuan hari lebaran bagi warga NU selama ini menggunakan metode ru'yat (melihat hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan). Di mana kedua metode tersebut intinya adalah hendak mengetahui kapan waktu yang tepat dalam menyelesaikan ibadah puasa sekaligus merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Cuma muncul sebuah persoalan serius ketika perbedaan tersebut manakala selalu “dipelintir� demi kepentingan tertentu. Padahal, perbedaan dalam khazanah Islam merupakan rahmat. Dan bukankah di tengah-tengah kehidupan bernegara Pancasila yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan multikulturalisme, menjadi sesuatu yang wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat dan ulama’, tentu tak terkecuali perbedaan pendapat dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Dalam konteks di atas, maka menjalin kebersamaan dalam perbedaan menjadi proyek penting yang perlu selalu diusahakan semua pihak, utamanya elit agamawan. Bagi pemerintah, seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator ketimbang instruktur. Sebab, ketika pemerintah ikut campur mengintruksi lebih dalam maka akibatnya bisa fatal. Bayangkan saja, ketika agama selalu dicampuri pemerintah, akan tetapi situasi akan berbeda ketika pemerintah memposisikan sebagai koordinatif dari semua pihak dalam upaya menentukan kapan sebaiknya hari-hari besar dilaksanakan.
Sayangnya, pemerintah seringkali kurang adil dalam urusan-urusan semacam ini. Akibatnya, umat Islam secara umum menjadi korban kebingungan. Maksudnya, umat harus ikut pihak yang mana? Pertanyaan sederhana ini tidak seharusnya disederhanakan begitu saja sebab bisa jadi berubah menjadi malapetaka konflik sosial agama akibat perbedaan mazhab atau lainnya itu.
Dalam konteks semacam ini, menjadikan perbedaan bukan sebagai penghalang untuk menjalin kebersamaan menjadi signifikan. Dengan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri tanpa harus bersama-sama waktunya, maka hal itu jauh lebih indah dan lebih semerbak dibandingkan dengan adanya politisasi perbedaan perayaan Idul Fitri antara PP Muhammadiyah yang jatuh pada hari jumat, 12 Oktober 2007, dengan NU dan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan 1 Syawal 1428 jatuh pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007, dengan alasan saat matahari terbenam tinggi hilal 0 derajat 10’52�, yang tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, maka ditetapkan pada tanggal tersebut (Ahmad Rofiq, 2007).
Lebih dari itu, marilah kita berijtihad menegakkan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri, yakni dengan cara saling menerima pendapat orang lain, tidak mempersalahkan pendapat orang lain, saling memahami, toleransi, dan masih banyak lagi cara lainnya yang bisa menumbuhkan nuansa damai seperti yang tersirat dalam perayaan Idul Fitri.
Pertama, mengkaji ulang sistem kalenderisasi. Langkah ini penting diambil sebab kalenderisasi Islam, khususnya di Indonesia nampak kurang terkoordinatif dengan baik. Masing-masing organisasi Islam mengambil inisiatif sendiri dalam merumuskan program tersebut. Karenanya, penting mendialogkan kembali dalam rangka menekan konflik akibat perbedaan pendapat dan ideologi.
Bagi Samuel P. Huntington (1999), era saat ini banyak pihak akan diperhadapkan dengan beragam masalah benturan antar ideologi dan peradaban (the clash of ideology and civilization). Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang kaya perbedaan peradaban, agama, ideologi dan adat isti adat. Manakala kekayaan keragaman tersebut tidak dikelola dengan apik maka benturan yang berujung kekerasan dan darah akan dijumpai di mana-mana. Tentu kita semua tidak berharap semua peristiwa itu terjadi.
Kedua, penciptaan perdamaian (peacebuilding process). Moment perayaan Idul Fitri acapkali dijadikan peristiwa biasa-biasa saja, padahal bagi hemat penulis, perayaan ini bisa digunakan sebagai perayaan perdamaian ketimbang perayaan perbedaan itu sendiri. Artinya, mewujudkan perdamaian lewat Idul Fitri menjadi penting dengan cara merumuskan strategi menjalin kebersamaan, toleransi dan kedamaian itu sendiri.
Last but not least, usaha dan upaya di atas nampaknya tidak mungkin terwujud manakala tidak ada political will (kemauan) di antara semua pihak. Karenanya, pemerintah, rakyat, pejabat, insan pers dan lainnya perlu bersatu padu mendukung terciptanya perdamaian di setiap perayaan hari besar keagamaan. Kerinduan akan terjadinya perayaan Idul Fitri secara bersamaan tentu tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menukung upaya penegakan perdamaian dan keadilan sosial di negeri ini. Semoga.***
Oleh: Agustina Nur Indah Sari
Penulis adalah mahasiswi semester III Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, peneliti LKAS Surabaya. Email: agustina.sari@yahoo.com
Sumber: Radar Surabaya, 11 Oktober 2007
Socio-religious meaning of the Idul Fitri exodus
Choirul Mahfud, Surabaya
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
Senin, 22 Oktober 2007
Mencari Model Rekonsiliasi Aceh

Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.
Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.
Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.
Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.
Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.
Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).
Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?
Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?
Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.
Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm
Post-dogmatic Indonesia
Ahmad Amir Aziz, Mataram
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Langganan:
Postingan (Atom)