Selasa, 01 Januari 2008

Demokrasi, Kemakmuran, dengan Pilkada

Dalam diskusi kecil, seorang peserta mempertanyakan relevansi demokrasi dengan kemakmuran rakyat. Katanya, saat ini yang terjadi adalah berbalik. Sebelumnya terdapat slogan, "demokrasi membawa kesejahteraan". Slogan itu telah berganti menjadi "demokrasi membawa kesengsaraan". Pandangan skeptis itu didasari oleh pengalaman Indonesia. Satu dekade geliat reformasi yang menjadikan Indonesia berproses menuju demokrasi dipandang tidak mampu membawa Indonesia ke arah perubahan-perubahan yang lebih baik secara ekonomi. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang bisa dijadikan sebagai lubang besar jalan keluar bagi dua masalah besar itu juga masih terbatas.

Penanya tersebut lalu membuat pertanyaan dengan nada pasrah, "Lalu buat apa kita memiliki demokrasi kalau rakyat tidak sejahtera?" Pertanyaan itu mengingatkan pernyataan kawan dari Tiongkok dalam suatu obrolan ringan. Katanya, "Demokratis atau tidak, yang penting adalah rakyat Tiongkok sekarang lebih sejahtera."

***

Secara empiris maupun teoretis, keterkaitan demokrasi dengan kesejahteraan memang menjadi perdebatan yang panjang. Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Sementara itu, India yang ketika itu sudah demokratis memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya.

Implikasinya, studi-studi yang membawas masalah tersebut terpilah menjadi dua kelompok besar, yakni yang memiliki implikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dan yang tidak. Menanggapi realitas demikian, tidaklah mengherankan kalau John Gerring dkk (2005) pernah membuat kesimpulan, "The predominant view is that democracy has either a negative effect on GDP growth or no overall effect."

John Gerring dkk juga menambahkan bahwa dalam jangka panjang, demokrasi itu memiliki implikasi cukup bermakna terhadap demokrasi. Hal tersebut terkait dengan membaiknya empat modal yang menjadi presyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi bila berada di dalam suasana demokrasi yang berkesinambungan dan stabil (enduring democarcy).

Empat modal itu adalah modal fisik (physical capital) seperti infrastruktur, modal sumber daya manusia (human capital) seperti adanya SDM yang berkualitas, modal sosial (social capital) seperti adanya kepercayaan antarsatu sama lain, dan modal politik (political capital) seperti adanya pelembagaan proses-proses politik.

Hanya, dalam jangka pendek, keterkaitan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, lebih-lebih kesejahteraan, memang tidak terlalu nampak. Ketidaktampakan itu lebih kuat terjadi di negara-negara yang memiliki GNP per kapita rendah. Demokrasi di negara-negara demikian acap dikaitkan dengan kesemrawutan dan ketidakteraturan.

Meski demikian, manakala demokrasi itu sudah terlembaga secara baik (enduring), implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat bisa terasakan.

Pandangan tersebut didasarkan atas argumentasi bahwa pemerintahan yang demokratis itu dibangun atas prinsip-prinsip: transaparansi, responsibilitas, dan akuntabilitas. Para pejabat politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat, termasuk ada tidaknya realisasi janji-janji yang dikemukakan. Kalau tidak, para pemilih akan menghukumnya berupa tidak terpilih lagi.

Memang, dalam situasi peran pemerintah (di bidang ekonomi) tidak dominan, pengaruh itu tidak terlalu besar. Tetapi, di negara mana pun, pemerintah memiliki tiga otoritas pembuatan dan implementasi kebijakan yang bersentuhan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Ketiganya adalah kebijakan alokasi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa, kebijakan regulasi (kompetisi dan proteksi), serta kebijakan redistribusi.

***

Secara riel, keterkaitan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat itu terlihat di daerah. Pertanyaannya adalah apakah demokratisasi di daerah seperti pilkada secara langsung memiliki implikasi terhadap kesejahteraan rakyat?

Sejak dilaksanakan mulai 1 Juni 2005, pilkada secara langsung memang memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, mekanisme itu memungkinkan adanya pemberian otoritas kepada rakyat yang lebih besar. Di sisi lain, terdapat defisit demokrasi. Selain memunculkan konflik yang lebih intens, pilkada secara langsung dianggap terlalu boros karena biayanya terlalu besar.

Yang memprihatinkan ialah pilkada dipandang hanya memperkukuh nuansa ekonomi politik yang bercorak oligarkis. Hanya orang-orang berduit atau dekat dengan orang-orang berduit yang bisa terpilih. Implikasinya, adanya kebijakan-kebijakan prorakyat di daerah pada masa datang menjadi sulit diharapkan.

Tetapi, fakta lain tidak bisa dimungkiri. Pilkada secara langsung juga menjadi saksi bahwa para kepala daerah (incumbent) yang memiliki performance tidak bagus telah memperoleh hukuman. Meski mereka telah mengeluarkan banyak uang, para pemilih tidak memilihnya kembali. Kecenderungan terakhir itulah yang memiliki makna bagi adanya relasi antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

Saya termasuk yang percaya bahwa rakyat kita semakin pintar. Meski nuansa oligarkis masih tampak di dalam pilkada secara langsung, ketika dalam memerintah tidak mengubah diri, para kepala daerah yang bercorak demikian akan memperoleh hukuman.

Masalah biaya besar bisa dikurangi ketika ada komitmen bersama, baik antarcalon maupun antara calon dan anggota masyarakat. Komitmen pentingnya adalah bagaimana meminimalkan biaya pilkada tetapi menghasilkan kepala-kepala daerah yang berkualitas baik dan memiliki orientasi kuat pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Semoga.


Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga


Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319734

Tidak ada komentar: