Selasa, 01 Januari 2008

Monster yang Memangsa Diri Sendiri

SELAMAT TAHUN BARU 2008! Apakah harapan kita di tahun baru ini? Adakah yang baru? Mau membangun kehidupan berwajah bagaimanakah kita? Beretika, bermoral, berkemanusiaankah, atau…?

Willi Hoffsuemmer pernah menulis tentang Smith dan guru kepala yang sedang berdiri dekat gelanggang anak-anak, tempat anak-anak bersukaria sepuas-puasnya. Dia bertanya kepada guru kepala, "Mengapa terjadi bahwa setiap orang ingin bahagia, namun sangat sedikit yang mengalaminya? Sang guru kepala memandang ke arah gelanggang anak-anak itu, lantas menjawab, "Anak-anak itu tampak sungguh bahagia."

Dengan agak keheranan, Smith berkata, "Sudah tentu mereka bahagia karena satu-satunya yang mereka lakukan adalah bermain."

"Kamu benar", ucap sang guru. "Tetapi, apa yang sesungguhnya menghalangi kaum dewasa berbahagia seperti itu juga dapat menghalangi anak-anak berbahagia."

Sang guru merogoh saku celananya, mengambil segenggam kepingan uang logam, lantas menghamburkannya di tengah-tengah anak-anak yang sedang bermain. Kontan, semua sorak gembira terhenti. Anak-anak saling menindih dan berkelahi untuk merebut kepingan uang tersebut.

Kemudian, guru kepala berkata kepada Smith, "Menurut kamu, hal apa yang menyebabkan mereka mengakhiri kegembiraan dan kebahagiaan mereka?" Dengan semangat, Smith menjawab, "Perkelahian!". Lanjut si guru, "Ya, tapi apa yang memicu dan memacu perkelahian itu?" Agak tersipu-sipu dan ragu, Smith menjawab, "Ketamakan". "Bagus, kamu telah menemukan jawaban sendiri," ujar guru kepala.

Setiap orang ingin menemukan kebahagiaan. Tetapi, ketamakan untuk memiliki barang-barang yang dianggap memberikan kebahagiaan itu justru menjauhkan mereka dari kebahagiaan. Sungguh, ketamakan menghancurkan kebahagiaan.

Kubuka Kamus Lengkap Bahasa Indonesia untuk menemukan arti kata tamak. Ternyata, di situ ditulis padanan kata tamak adalah rakus, loba, serakah, sedangkan artinya ialah selalu ingin menguasai dan memiliki banyak-banyak. Pantas saja, kata tersebut bermakna begitu mengerikan karena ia berdaya hancur luar biasa.

Aku menulis naskah ini sembari nonton televisi. Mendadak jantungku berdegup kencang melihat dan mendengar berita bahwa Benazir Bhutto dibunuh di tengah kerumunan para pendukungnya. Lantas, si pembunuh meledakkan bom bunuh diri sehingga turut tewas 20 orang. Tampak, pada layar televisi porak-poranda mobil dan bangunan sebagai bentuk murka para pendukung Bhutto. Inikah kado akhir tahun bagi bumi kala mau menjemput Tahun Baru 2008? Duh Gusti, luka sakit bumi ini kian parah bernanah tak terkira! Syukur-syukur lantas ada kelompok yang bertanggung jawab atas tragedi berdarah tersebut.

Masih kuingat jelas, manakala bom-bom berhamburan terjadi di negeri tercinta, Indonesia, niscaya tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab maupun menjelaskan maksudnya. Yang ada cuma sebutan teroris si pengacau kenyamanan dan keamanan hidup kita. Kemudian, akan menyusul munculnya beberapa analisis spekulatif. Peristiwa bom membuktikan bahwa jurang kaya-miskin makin menganga sehingga yang namanya keadilan dan kesejahteraan kian menjauh dari jangkauan kehidupan kini dan di sini.

Ketidakpedulian pada derita sengsara sesama memperparah ketidakpedulian pada kehidupan ini sehingga yang tersisa adalah bagaimana menghancurkan kehidupan yang sudah punah kepeduliannya (tiji tibeh = mati siji mati kabeh, peduli amat dengan nyawa orang, lha wong selama ini juga tidak ada yang peduli pada nyawaku).

Ada dugaan lain, boleh jadi, sang teroris ingin selalu menguasai keamanan dan kenyamanan yang bisa ditentukan seenaknya saja olehnya, dan ingin memiliki sebanyak-banyaknya pengakuan bahwa mereka adalah siluman yang sangat berkuasa mencabut nyawa orang lain dan bahkan menghancurkan kehidupan ini. Kalau dugaan ini benar, maka pengebom di jagat raya baru-baru ini dan yang terjadi sebelumnya di banyak tempat seantero Nusantara bisa saja digolongkan sebagai tindak ketamakan.

Dampak kerakusan akan materi, kekuasaan, dan keamanan dalam hidup ini selalu sama, yakni menghancurkan kebahagiaan orang lain. Betul-betul keserakahan adalah monster yang menyeramkan!

"Indonesia dikepung bencana" dan "kita adalah bangsa yang hidup bersama bahaya" adalah kalimat-kalimat yang sering muncul di televisi guna memberitakan dan mengingatkan bahwa ada begitu banyak bencana alam sedang ngantre giliran bahkan kalau perlu berdesakan mendahului dan melampaui prakiraan cuaca yang disiarkan secara resmi.

Banyak daerah di Pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Timur) bersama pulau-pulau lain dikelilingi oleh banjir bandang dan tanah longsor yang niscaya menelan korban nyawa tak terhindarkan. Isak tangis, rintih perih, jerit erangan terpampang membahana di media cetak maupun elektronik kita.

Perubahan iklim dan efek pemanasan global makin garang membuktikan dirinya siap melumat kehidupan bumi menuju "kiamat". Sayup-sayup kudengar nyanyian rohani yang pernah mengingatkan umat manusia di bumi pada 1985-an kala sidang raya Dewan Gereja Sedunia berlangsung:

Oleh ulah yang tak terkendali dan serakah yang memalukan
Alam dikeruk, terkuras habis, tak peduli hari esoknya
Alam tidak lagi bersahabat, bangkitlah amarah, mendera
Oh, gempa dan banjir maha dahsyat, disebarnya maut dan resah

Alkisah dalam mitologi Yunani diceritakan tentang saudagar kayu yang kaya raya bernama Erisychthon (baca: Er-is-ya-thon). Dia terkenal sebagai orang rakus yang hanya berpikir tentang keuntungannya melulu.

Tak ada yang sakral baginya. Di tanahnya terdapat sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa. Di pohon itu selalu diikatkan doa-doa kaum beriman. Dia tak sedikit pun peduli pada keistimewaan pohon tersebut.

Bahkan, pada suatu hari, dia mengambil kapak untuk menebangnya setelah menghitung hasil keuntungan menjual kayu pohon itu. Segala protes tidak digubris. Alhasil, salah satu dewa mengutuk dia atas keserakahannya: "dia akan didera rasa lapar yang tidak akan pernah ada puasnya". Kutukan itu pun terjadilah. Dia mulai memakan persediaannya. Tetapi tidak terpuaskan, lantas memakan istri dan anak-anaknya juga. Akhirnya, tak ada lagi yang bisa dimakan selain memakan diri sendiri, dan terjadilah demikian. Kerakusan telah menjadi monster yang memangsa diri sendiri. SELAMAT MENJALANI TAHUN 2008!


Simon Filantropha, budayawan yang dikenal sebagai pendeta

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319736

Tidak ada komentar: