Sabtu, 26 Januari 2008

Jalur Nonpolitik untuk Palestina

NGO sebagai Supporting System. Mencari resolusi konflik di Palestina seolah menegakkan benang basah. Problemnya kompleks, baik yang muncul dari internal Palestina maupun dari luar, terutama Israel. Telah banyak usaha dilakukan, tetapi masih saja terjadi kekerasan di berbagai kawasan. Namun, penyelesaian konflik Palestina menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam dan masyarakat dunia secara keseluruhan. Karena itulah, kita tidak boleh putus asa. Setelah berkunjung ke Palestina awal Desember ini, saya menyadari peran-peran yang dimainkan pihak muslim dari luar Palestina belum mencakup keseluruhan. Kontribusi yang diberikan masih sebatas kapasitas masing-masing dan belum terintegrasi.


Tentu saja, menciptakan keadilan dan perdamaian dalam bentuk apa pun di Palestina meniscayakan kerja keras dan kucuran keringat. Apalagi kalau melihat realitas keterpurukan dan rasa sakit penduduk Palestina saat ini.

Serangkaian problem terus melanda Palestina. Namun, yang tak kalah berat adalah konflik internal yang berkepanjangan antara Hamas dan Fatah. Pihak Hamas menguasai daerah otoritas Palestina di Gaza, sedangkan Fatah menguasai daerah Tepi Barat (West Bank).

Di Gaza, penderitaan masyarakat Palestina dilatari oleh, paling tidak, dua problem. Pertama, problem konfliktual yang hingga kini masih tetap berlangsung antara kedua kelompok tersebut. Akibatnya, selain menewaskan anggota militan masing-masing kelompok, juga menyisakan kerusakan infrastruktur yang makin parah.

Saya menyaksikan sendiri betapa rakyat Palestina di Gaza yang sudah sangat menderita akibat konflik itu. Dalam konteks ini, Gaza seperti penjara besar, akibat meruncingnya situasi di daerah tersebut. Di satu sisi, masyarakat tidak bisa lagi bekerja di wilayah Israel karena harus melalui pemeriksaan yang cukup ketat sehingga memakan waktu hingga 8 jam.

Kedua, problem sumber daya alam yang terus menipis akibat kerusakan infrastruktur karena perang yang berkepanjangan. Di samping sulitnya mengekspor penghasilan utama rakyat Palestina di Gaza dan arus perdagangan berbagai komoditas dengan negara-negara lain. Akibatnya, ekonomi rakyat Palestina di Gaza semakin berat.

Kini, masyarakat di kawasan Gaza hanya mengandalkan bantuan internasional untuk bisa bertahan hidup. Mereka tidak punya fasilitas pendidikan dan rumah sakit yang memadai. Inilah kondisi riil masyarakat Palestina sekarang.

Ketika saya bertemu dengan misi Uni Eropa untuk membantu pelayanan gerbang pintu masuk ke Palestina, mereka menyatakan bahwa penderitaan bangsa Palestina sudah sangat parah. Meski demikian, Hamas masih ingin tetap melakukan perlawanan fisik terhadap Israel.

Berbeda dengan Fatah yang menguasai Tepi Barat. Teritorinya lebih terbuka karena lebih lunak dan siap berunding untuk mewujudkan perdamaian dengan Israel. Meski kondisi rakyat di wilayah ini lebih baik daripada di Gaza, itu bukan berarti tidak menderita. Mereka sama-sama berada di tengah kancah pertempuran yang tiada akhir.

Banyak tokoh Palestina pesimistis untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Palestina melalui jalur politik. Mereka ingin ada Non-Government Organization (NGO) kuat yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Karena itu, salah satu di antara mereka, Ahmad Dajjani, yang semula pendukung Fatah, kemudian keluar dan mendirikan NGO yang tidak berorientasi politik.

Dalam situasi yang lemah seperti itu, NGO akan menjadi alternatif dalam supporting system, menengahi konflik internal dan eksternal, sekaligus membantu meringankan beban ekonomi masyarakat Palestina. Tanpa sistem penopang di luar kelompok politik yang berkonflik, persoalan Palestina akan semakin larut.

Menurut hemat saya, konflik Israel-Palestina memang tidak mungkin bisa diselesaikan dengan kekerasan. Israel sudah terlalu kuat untuk dilawan karena bantuan dari dunia internasional sangat banyak. Jika penyelesaian bersenjata dilakukan, masyarakat semakin menderita dan berkepanjangan.

Dalam konteks makro, perdamaian di Palestina tidak hanya dibangun dengan jalan diplomasi dan politik. Misi yang tak kalah penting adalah penguatan konstruksi sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu, ada pemikiran yang mungkin dijadikan referensi dalam membangun rakyat Palestina. Pertama, perlu dukungan atas kemerdekaan negara Palestina sekalipun tidak hanya melalui upaya politik. Organisasi kemasyarakatan Islam di seluruh dunia hendaknya memiliki tanggung jawab sosial untuk mem-back up mental dan moral bangsa Palestina.

Meski demikian, saya tidak menyangkal penyelesaian politik juga harus dilakukan, seperti melalui perundingan yang tentunya harus didukung oleh dunia internasional. Dan syukurlah, pemerintah Indonesia ikut di dalam perundingan Annapolis. Saya kira ini satu hal yang positif.

Kedua, menjadikan Masjid al-Aqsa otoritas Palestina, yang sekarang ini sesungguhnya berada di tangan badan wakaf yang seluruh anggotanya adalah orang Islam. Ketiga, dunia internasional harus menunjukkan iktikad baiknya dengan menyediakan bantuan dana kesejahteraan yang besar kepada rakyat Palestina. Rakyat Palestina memerlukan infrastruktur memadai, termasuk perumahan, sekolah, dan rumah sakit. Dengan demikian, ada kepercayaan dari rakyat Palestina bahwa dunia internasional mendukung mereka untuk mengakhiri penderitaannya.

Keempat, penyelesaian konflik dengan cara damai. Tidak ada konflik bersenjata, tidak ada kebrutalan. Kita semua mempunyai komitmen perdamaian bagi seluruh penduduk dunia, di mana pun berada.

Meski banyak pihak mengatakan bahwa menyelesaikan konflik Israel-Palestina bagai menegakkan benang basah, saya berkeyakinan bahwa semua upaya ikhlas akan mendapat imbalan setimpal.


Prof Dr Syafiq A. Mughni, ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=318715

Tidak ada komentar: