NGO sebagai Supporting System. Mencari resolusi konflik di Palestina seolah menegakkan benang basah. Problemnya kompleks, baik yang muncul dari internal Palestina maupun dari luar, terutama Israel. Telah banyak usaha dilakukan, tetapi masih saja terjadi kekerasan di berbagai kawasan. Namun, penyelesaian konflik Palestina menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam dan masyarakat dunia secara keseluruhan. Karena itulah, kita tidak boleh putus asa. Setelah berkunjung ke Palestina awal Desember ini, saya menyadari peran-peran yang dimainkan pihak muslim dari luar Palestina belum mencakup keseluruhan. Kontribusi yang diberikan masih sebatas kapasitas masing-masing dan belum terintegrasi.
Tentu saja, menciptakan keadilan dan perdamaian dalam bentuk apa pun di Palestina meniscayakan kerja keras dan kucuran keringat. Apalagi kalau melihat realitas keterpurukan dan rasa sakit penduduk Palestina saat ini.
Serangkaian problem terus melanda Palestina. Namun, yang tak kalah berat adalah konflik internal yang berkepanjangan antara Hamas dan Fatah. Pihak Hamas menguasai daerah otoritas Palestina di Gaza, sedangkan Fatah menguasai daerah Tepi Barat (West Bank).
Di Gaza, penderitaan masyarakat Palestina dilatari oleh, paling tidak, dua problem. Pertama, problem konfliktual yang hingga kini masih tetap berlangsung antara kedua kelompok tersebut. Akibatnya, selain menewaskan anggota militan masing-masing kelompok, juga menyisakan kerusakan infrastruktur yang makin parah.
Saya menyaksikan sendiri betapa rakyat Palestina di Gaza yang sudah sangat menderita akibat konflik itu. Dalam konteks ini, Gaza seperti penjara besar, akibat meruncingnya situasi di daerah tersebut. Di satu sisi, masyarakat tidak bisa lagi bekerja di wilayah Israel karena harus melalui pemeriksaan yang cukup ketat sehingga memakan waktu hingga 8 jam.
Kedua, problem sumber daya alam yang terus menipis akibat kerusakan infrastruktur karena perang yang berkepanjangan. Di samping sulitnya mengekspor penghasilan utama rakyat Palestina di Gaza dan arus perdagangan berbagai komoditas dengan negara-negara lain. Akibatnya, ekonomi rakyat Palestina di Gaza semakin berat.
Kini, masyarakat di kawasan Gaza hanya mengandalkan bantuan internasional untuk bisa bertahan hidup. Mereka tidak punya fasilitas pendidikan dan rumah sakit yang memadai. Inilah kondisi riil masyarakat Palestina sekarang.
Ketika saya bertemu dengan misi Uni Eropa untuk membantu pelayanan gerbang pintu masuk ke Palestina, mereka menyatakan bahwa penderitaan bangsa Palestina sudah sangat parah. Meski demikian, Hamas masih ingin tetap melakukan perlawanan fisik terhadap Israel.
Berbeda dengan Fatah yang menguasai Tepi Barat. Teritorinya lebih terbuka karena lebih lunak dan siap berunding untuk mewujudkan perdamaian dengan Israel. Meski kondisi rakyat di wilayah ini lebih baik daripada di Gaza, itu bukan berarti tidak menderita. Mereka sama-sama berada di tengah kancah pertempuran yang tiada akhir.
Banyak tokoh Palestina pesimistis untuk bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat Palestina melalui jalur politik. Mereka ingin ada Non-Government Organization (NGO) kuat yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Karena itu, salah satu di antara mereka, Ahmad Dajjani, yang semula pendukung Fatah, kemudian keluar dan mendirikan NGO yang tidak berorientasi politik.
Dalam situasi yang lemah seperti itu, NGO akan menjadi alternatif dalam supporting system, menengahi konflik internal dan eksternal, sekaligus membantu meringankan beban ekonomi masyarakat Palestina. Tanpa sistem penopang di luar kelompok politik yang berkonflik, persoalan Palestina akan semakin larut.
Menurut hemat saya, konflik Israel-Palestina memang tidak mungkin bisa diselesaikan dengan kekerasan. Israel sudah terlalu kuat untuk dilawan karena bantuan dari dunia internasional sangat banyak. Jika penyelesaian bersenjata dilakukan, masyarakat semakin menderita dan berkepanjangan.
Dalam konteks makro, perdamaian di Palestina tidak hanya dibangun dengan jalan diplomasi dan politik. Misi yang tak kalah penting adalah penguatan konstruksi sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu, ada pemikiran yang mungkin dijadikan referensi dalam membangun rakyat Palestina. Pertama, perlu dukungan atas kemerdekaan negara Palestina sekalipun tidak hanya melalui upaya politik. Organisasi kemasyarakatan Islam di seluruh dunia hendaknya memiliki tanggung jawab sosial untuk mem-back up mental dan moral bangsa Palestina.
Meski demikian, saya tidak menyangkal penyelesaian politik juga harus dilakukan, seperti melalui perundingan yang tentunya harus didukung oleh dunia internasional. Dan syukurlah, pemerintah Indonesia ikut di dalam perundingan Annapolis. Saya kira ini satu hal yang positif.
Kedua, menjadikan Masjid al-Aqsa otoritas Palestina, yang sekarang ini sesungguhnya berada di tangan badan wakaf yang seluruh anggotanya adalah orang Islam. Ketiga, dunia internasional harus menunjukkan iktikad baiknya dengan menyediakan bantuan dana kesejahteraan yang besar kepada rakyat Palestina. Rakyat Palestina memerlukan infrastruktur memadai, termasuk perumahan, sekolah, dan rumah sakit. Dengan demikian, ada kepercayaan dari rakyat Palestina bahwa dunia internasional mendukung mereka untuk mengakhiri penderitaannya.
Keempat, penyelesaian konflik dengan cara damai. Tidak ada konflik bersenjata, tidak ada kebrutalan. Kita semua mempunyai komitmen perdamaian bagi seluruh penduduk dunia, di mana pun berada.
Meski banyak pihak mengatakan bahwa menyelesaikan konflik Israel-Palestina bagai menegakkan benang basah, saya berkeyakinan bahwa semua upaya ikhlas akan mendapat imbalan setimpal.
Prof Dr Syafiq A. Mughni, ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=318715
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Sabtu, 26 Januari 2008
Rabu, 16 Januari 2008
Soeharto Corporatism v Mahathir Incorporatism
Sakitnya Soeharto berhikmah pada penampakan solidaritas yang kuat di kalangan pendiri ASEAN. Setelah Lee Kwan Yew, mantan PM Singapura, menyusul hari berikutnya mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad. Terasa begitu kuat ikatan mereka. Bahkan, pertemuan Mahathir dengan "daripada" Soeharto itu ditandai tangisan. Suasana pertemuan dua sahabat lama tersebut digambarkan sebagai mengharukan (JP, 15/1). Seperti Lee, Soeharto dengan Mahathir memang bersahabat lama. Namun, akhir perjalanan kepemimpinan mereka berbeda. Mahathir turun melalui prosedur demokrasi konvensional, sedangkan Soeharto mengakhiri kepemimpinan melalui prosedur demokrasi inkonvensional -yaitu karena tekanan people power.
Banyak Faktor
Akhir perjalanan kedua pemimpin negara anggota ASEAN itu berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan kekuasaan mereka berakhir tidak sama. Hal yang pasti, keduanya memiliki perbedaan strategi yang dipakai ketika mengawal pembangunan di negara masing-masing.
Setidak-tidaknya, Soeharto yang militer itu lebih dikenal sebagai penguasa yang menerapkan strategi the state corporatism, sebagaimana dikonsep Philippe Schmitter (1974). Sementara itu, Mahathir yang sipil bergelar akademis doktor tersebut menerapkan the state-business incorporatism, yang kemudian dikenal dengan semangat Malaysia incorporated.
Konsep Malaysia incorporated bukan khas Mahathir. Konsep itu diadaptasi dari Japan incorporated. Istilah yang muncul pada 1960-an di Jepang tersebut dimaksudkan untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat karena dominasi pengusaha dukungan negara (Ping, 1985). Istilah incorporatism tersebut dipakai Mahathir untuk memperbaiki relasi antara pemerintah dengan sektor swasta, dengan menempatkan pemerintah sebagai pelayan yang baik bagi pertumbuhan dunia usaha yang bergerak di sektor swasta.
Konsep itu, tampaknya, berhasil mengendurkan ketegangan hubungan antardua aktor ekonomi-politik negeri tersebut akibat over regulasi yang diterapkan dalam kebijakan ekonomi Malaysia pada 1970-an.
Malaysia incorporated merupakan sebuah konsep yang diartikan bahwa Malaysia harus dilihat sebagai sebuah company, yang pemilik sekaligus pekerjanya adalah pemerintah dan sektor swasta.
Dalam sebuah company, pemilik dan pekerja diharapkan bisa bekerja sama, saling bahu-membahu meraih keuntungan dan keberhasilan. Hanya melalui keberhasilan company, pemilik dan pekerja akan memperoleh kesejahteraan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, keberhasilan mereka ditentukan seberapa baik upaya membangun kerja sama antara pemerintah dengan sektor swasta. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah, termasuk belanja untuk pegawai, diperoleh dari pajak dan keuntungan perusahaan serta bisnis sektor swasta.
Karena itu, makin besar keuntungan yang diraih sektor swasta, semakin besar pajak dan revenue yang diperoleh pemerintah (Jomo, 2003).
Memang, konsep incorporatism itu bukannya tidak mengundang kritik. Seorang guru besar universitas negeri terkemuka di Kuala Lumpur, Sufean Hussin, sewaktu berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Surabaya beberapa pekan lalu menyatakan, konsep corporate itu memicu orang bernafsu untuk "menjual Malaysia".
Menurut mantan dekan di Malaya University itu, masalahnya, keuntungan corporate tidak jatuh ke tangan rakyat, tapi ke sejumput elite dan pengusaha saja.
Namun, di balik kelemahan itu, tetap ada yang menarik. Dengan konsep tersebut, Mahathir berhasil mengembangkan pemerintahan efisien. Aparatur birokrasi mereka terpacu untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi prospek dan kemajuan dunia bisnis.
Aparatur pemerintah kian menyadari, dengan pelayanan publik yang memuaskan yang mereka berikan kepada sektor swasta, akhirnya yang menikmati adalah mereka sendiri.
Lebih dari itu, hal tersebut juga berdampak pada kemajuan serta kesejahteraan seluruh anak negeri. Dengan demikian, Malaysia incorporated yang didefinisikan sebagai konsep membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dengan sektor swasta diyakini berujung pada pemberian kontribusi yang besar bagi kemajuan seluruh anak bangsa. Setidak-tidaknya, konsep corporate-nya Dr M, demikian sebutan Mahathir, tidak mengakhiri jabatan melalui prosedur demokrasi inkonvensional.
Bagaimana dengan corporatism negara yang dipilih Soeharto? Persis yang dikonsep Schmitter, korporatisme negara diterapkan Soeharto dengan melakukan pembentukan sistem perwakilan kepentingan ke dalam kelompok-kelompok clientalist atau loyalis negara. Mereka diberi hak monopoli di bawah pengendalian negara.
Soeharto menggunakan the state represive apparatus (RSA), dalam hal ini polisi, militer, dan institusi hukum, yang antara lain melahirkan Babinsa dan Kopkamtib. Di samping itu, menggunakan the ideological state apparatus (ISA) yang melahirkan konsep Eka Prastya Pancakarsa dan penunggalan asas Pancasila.
Memang, Soeharto memiliki dasar klaim untuk mengembangkan the state corporatism seperti itu. Situasi ekonomi politik pada awal masa Orde Baru sangat kacau. Sementara itu, massa menuntut agar pemerintah memperbaiki keadaan ekonomi secepat mungkin.
Soeharto dengan cekatan melangkah dengan melakukan "negaranisasi". Hampir seluruh sektor dan level masyarakat disubordinasikan kepada negara. Mengikuti saran think tank-nya, yang dikawal Ali Murtopo saat itu, Soeharto membangun the state repressive apparatus dan the ideological state apparatus untuk mengawal the deepening development, pembangunan cepat bermodal tinggi.
Soeharto berhasil -setidak-tidaknya Indonesia pernah dicatat sebagai negara berswasembada beras dengan income per kapita di atas seribu USD. Indonesia dimasukkan kategori negara dengan masyarakat berkelas menengah, ditandai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sayang, dalam perkembangan seperti itu, Soeharto tidak mengubah strategi. Konsep korporatisme negara tetap dijalankan, bahkan makin hari makin ketat. Perlakuan the state repressive apparatus kian kasar, sehingga melahirkan kekerasan negara seperti di Tanjung Priok, Lampung, Haor Koneng, Komando Jihad, dan orang juga tak lupa pada kasus Sampang.
Pada akhir kekuasaannya, Soeharto kehilangan kepekaan politik. Dia menerima begitu saja informasi ABS dari Harmoko bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto. Padahal, yang terjadi di lapangan, masyarakat sudah sampai pada titik jenuh atas praktik korporatisme negara yang melahirkan kekerasan, penyeragaman ideologi, monoloyalitas, serta penunggalan asas dengan segala macam dampaknya.
Zainuddin Maliki, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=321965
Banyak Faktor
Akhir perjalanan kedua pemimpin negara anggota ASEAN itu berbeda. Banyak faktor yang menyebabkan kekuasaan mereka berakhir tidak sama. Hal yang pasti, keduanya memiliki perbedaan strategi yang dipakai ketika mengawal pembangunan di negara masing-masing.
Setidak-tidaknya, Soeharto yang militer itu lebih dikenal sebagai penguasa yang menerapkan strategi the state corporatism, sebagaimana dikonsep Philippe Schmitter (1974). Sementara itu, Mahathir yang sipil bergelar akademis doktor tersebut menerapkan the state-business incorporatism, yang kemudian dikenal dengan semangat Malaysia incorporated.
Konsep Malaysia incorporated bukan khas Mahathir. Konsep itu diadaptasi dari Japan incorporated. Istilah yang muncul pada 1960-an di Jepang tersebut dimaksudkan untuk menghadapi persaingan yang tidak sehat karena dominasi pengusaha dukungan negara (Ping, 1985). Istilah incorporatism tersebut dipakai Mahathir untuk memperbaiki relasi antara pemerintah dengan sektor swasta, dengan menempatkan pemerintah sebagai pelayan yang baik bagi pertumbuhan dunia usaha yang bergerak di sektor swasta.
Konsep itu, tampaknya, berhasil mengendurkan ketegangan hubungan antardua aktor ekonomi-politik negeri tersebut akibat over regulasi yang diterapkan dalam kebijakan ekonomi Malaysia pada 1970-an.
Malaysia incorporated merupakan sebuah konsep yang diartikan bahwa Malaysia harus dilihat sebagai sebuah company, yang pemilik sekaligus pekerjanya adalah pemerintah dan sektor swasta.
Dalam sebuah company, pemilik dan pekerja diharapkan bisa bekerja sama, saling bahu-membahu meraih keuntungan dan keberhasilan. Hanya melalui keberhasilan company, pemilik dan pekerja akan memperoleh kesejahteraan yang berkelanjutan.
Dengan demikian, keberhasilan mereka ditentukan seberapa baik upaya membangun kerja sama antara pemerintah dengan sektor swasta. Anggaran belanja yang dikeluarkan pemerintah, termasuk belanja untuk pegawai, diperoleh dari pajak dan keuntungan perusahaan serta bisnis sektor swasta.
Karena itu, makin besar keuntungan yang diraih sektor swasta, semakin besar pajak dan revenue yang diperoleh pemerintah (Jomo, 2003).
Memang, konsep incorporatism itu bukannya tidak mengundang kritik. Seorang guru besar universitas negeri terkemuka di Kuala Lumpur, Sufean Hussin, sewaktu berkunjung ke Universitas Muhammadiyah Surabaya beberapa pekan lalu menyatakan, konsep corporate itu memicu orang bernafsu untuk "menjual Malaysia".
Menurut mantan dekan di Malaya University itu, masalahnya, keuntungan corporate tidak jatuh ke tangan rakyat, tapi ke sejumput elite dan pengusaha saja.
Namun, di balik kelemahan itu, tetap ada yang menarik. Dengan konsep tersebut, Mahathir berhasil mengembangkan pemerintahan efisien. Aparatur birokrasi mereka terpacu untuk bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi prospek dan kemajuan dunia bisnis.
Aparatur pemerintah kian menyadari, dengan pelayanan publik yang memuaskan yang mereka berikan kepada sektor swasta, akhirnya yang menikmati adalah mereka sendiri.
Lebih dari itu, hal tersebut juga berdampak pada kemajuan serta kesejahteraan seluruh anak negeri. Dengan demikian, Malaysia incorporated yang didefinisikan sebagai konsep membangun kerja sama yang baik antara pemerintah dengan sektor swasta diyakini berujung pada pemberian kontribusi yang besar bagi kemajuan seluruh anak bangsa. Setidak-tidaknya, konsep corporate-nya Dr M, demikian sebutan Mahathir, tidak mengakhiri jabatan melalui prosedur demokrasi inkonvensional.
Bagaimana dengan corporatism negara yang dipilih Soeharto? Persis yang dikonsep Schmitter, korporatisme negara diterapkan Soeharto dengan melakukan pembentukan sistem perwakilan kepentingan ke dalam kelompok-kelompok clientalist atau loyalis negara. Mereka diberi hak monopoli di bawah pengendalian negara.
Soeharto menggunakan the state represive apparatus (RSA), dalam hal ini polisi, militer, dan institusi hukum, yang antara lain melahirkan Babinsa dan Kopkamtib. Di samping itu, menggunakan the ideological state apparatus (ISA) yang melahirkan konsep Eka Prastya Pancakarsa dan penunggalan asas Pancasila.
Memang, Soeharto memiliki dasar klaim untuk mengembangkan the state corporatism seperti itu. Situasi ekonomi politik pada awal masa Orde Baru sangat kacau. Sementara itu, massa menuntut agar pemerintah memperbaiki keadaan ekonomi secepat mungkin.
Soeharto dengan cekatan melangkah dengan melakukan "negaranisasi". Hampir seluruh sektor dan level masyarakat disubordinasikan kepada negara. Mengikuti saran think tank-nya, yang dikawal Ali Murtopo saat itu, Soeharto membangun the state repressive apparatus dan the ideological state apparatus untuk mengawal the deepening development, pembangunan cepat bermodal tinggi.
Soeharto berhasil -setidak-tidaknya Indonesia pernah dicatat sebagai negara berswasembada beras dengan income per kapita di atas seribu USD. Indonesia dimasukkan kategori negara dengan masyarakat berkelas menengah, ditandai pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Sayang, dalam perkembangan seperti itu, Soeharto tidak mengubah strategi. Konsep korporatisme negara tetap dijalankan, bahkan makin hari makin ketat. Perlakuan the state repressive apparatus kian kasar, sehingga melahirkan kekerasan negara seperti di Tanjung Priok, Lampung, Haor Koneng, Komando Jihad, dan orang juga tak lupa pada kasus Sampang.
Pada akhir kekuasaannya, Soeharto kehilangan kepekaan politik. Dia menerima begitu saja informasi ABS dari Harmoko bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto. Padahal, yang terjadi di lapangan, masyarakat sudah sampai pada titik jenuh atas praktik korporatisme negara yang melahirkan kekerasan, penyeragaman ideologi, monoloyalitas, serta penunggalan asas dengan segala macam dampaknya.
Zainuddin Maliki, rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=321965
Is it truly Asia or sharia? Lessons from neighboring Malaysia
Several months back I wrote that Malaysia could no longer justify its use of the slogan "Truly Asia". This view is now confirmed by the latest events there. Forget representing Asia, the Malaysian government today is unable even to represent its diverse society in its entirety. The uprising of the Tamil minority is but the tip of the iceberg. Underneath awaits a huge chunk of crystallized dissatisfaction and disappointment, which could result in the disintegration of Malaysian society.
Consider the story of Revathi Masoosai, an ethnic Indian, who is being forced to live as a Muslim by the Islamic religious department in southern Malacca state, after it was discovered that although she was born to Muslim parents, she had chosen to live as a Hindu.
In Malaysia, Islamic law forbids people born to Muslim families to change their religion, hence not only was Revathi detained by the Islamic religious department and sent for "religious counseling in a rehabilitation center" (which translates to being forced to reconvert to Islam by the state authorities), her 15-month-old daughter too was taken away from her husband and handed over to Revathi's Muslim mother to be raised as a Muslim.
The constitution of Malaysia qualifies Muslims only as "Malay" (or bumiputera = son of the land). Non-Muslims have to forfeit their ethnicity. Indigenous people (the true sons of the land) who have lived in the country before Islam was introduced are declared non-indigenous. So, 40 percent of Malaysia's non-Muslim population are regarded as second class citizens by the ruling UMNO party, who uphold a policy called Ketuanan Melayu, which claims Malays (who are automatically classed as Muslims on their identity cards) are the original inhabitants of Malaysia, and deserving of special privileges.
Another very interesting story is that of Lina Joy, who is regarded as Malaysia's most famous apostate. I understand she is now seeking asylum abroad.
Lina Joy, who became a Christian in 1986, has for 15 years tried without success to have her status as a Muslim removed from her identity card. She took her case to the Supreme Court, but her appeal failed.
The court ruled, according to Islamic law: Once a Muslim, always a Muslim. She cannot legally marry her Christian fiance while she is classed as a Muslim. And although a practicing Christian, all her children from any marriage she enters into in Malaysia will be considered Muslim, they will be forbidden from attending a Christian education and when she dies, she will be buried a Muslim. She and her lawyer have received death threats.
The prime minister of Malaysia may very well understand that the gap between the peoples of Malaysia is ever widening. He may even voice his understanding. But he can not alter the rulings of what is understood as Islamic law. Malaysia has since its very conception, declared itself an Islamic State. So it must abide by its national commitment.
Actually, there is nothing wrong with sharia, which is often misinterpreted as Islamic "law" in the same way we normally interpret law. I may be wrong, but in my opinion what is called Islamic law is but a system supposedly based on sharia as advocated by prophet Muhammad, peace be upon him. Now, this supposition is totally at the mercy of the scholars who interpret sharia.
Sharia is a very dynamic way of life. It is based on the beatitudes and messages of the Koran, the holy and blessed scripture, and the equally blessed deeds of the prophet of Allah. It is the essence of all religions, the religiousness of religion. It represents all that is good in human beings, humanity and humanness.
This path is very, very broad -- based on the principles of oneness of God, submission to the will of God, charity, self-control and respect for that which is holy. All these are then applied in daily life. The application is supposed to be simple as advocated by the prophet himself. Religion is supposed to facilitate human beings in achieving their goals in a manner which is humane. It is not to complicate our lives.
This kind of understanding of sharia makes Islam truly universal, and a blessing for the entire universe, not just our world.
Alas, in the name of sharia, scholars often interpret the scriptures to suit their fancies and relate it to law. Then they enforce such laws for one and all -- at times with the consent of the state, at other times without such consent.
Once again, I must repeat this understanding of mine could be wrong. I am not a scholar. But I can clearly see that without such a broad understanding, sharia has been used and misused in such a way in Malaysia that the entire society is currently on the brink of disintegration.
Our people here, not only the so-called liberals and moderates such as Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, Dawam Raharjo, Djohan Effendy, Ainun Najib (Cak Nun), the late Nurcholish Madjid (Cak Nur) and others -- but also the somewhat conservative, like Yusril Ihza Mahendra who is still fighting for a Jakarta Charter which makes it compulsory for Muslims in the country to adhere to sharia-based qanun or law -- actually believe that the essence of Islamic sharia has already been incorporated into our Constitution and the basic principles of Pancasila. So what are we fighting for?
The enforcement of regional bylaws based on certain understandings of sharia has already triggered similar reactions from other religious groups, like the Christians in Manokwari.
We must understand and understand this well: Indonesia is not Pakistan, which was born out of religious sentiments. Indonesia is also not Malaysia, where the Hindus are of Tamil descent and most of the Buddhists are of Chinese origin, so the state could label one group as indigenous, therefore deserving special treatment; and the other groups as non-indigenous, therefore able to do without such treatment.
Here, in Indonesia, Muslims, Hindus, Buddhists and Christians all are indigenous Indonesians, pribumi or bumiputera. They must be treated equally in all manners.
Not only that, since we are not a religious state, the government must firmly deal with the groups of our confused brothers and sisters who may not be sufficiently aware of our national commitment before even proclaiming the independence of the country.
We are committed to Pancasila as our binding force. Our culture is our mother. Without that, we have no identity. No wonder, some of us are searching for our roots and identities in China, Arabia, India, even in the western countries. We have forgotten our own roots.
Within 50 years of its independence, Malaysia faces the threat of disintegration. It must find its roots in the ancient Malay culture to re-unite its society or perish. It is high time we in Indonesia learned from Malaysia's failure to be truly Asia, the Asia of Muslims and Hindus, the Asia of Christians and Buddhists, the asia of all faiths and religions. But, above all the Asia of Asian culture!
The writer is a spiritual activist. His Web sites are www.aumkar.org, www.californiabali.org, www.anandkrishna.org.
Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20080117.E03&irec=2
Consider the story of Revathi Masoosai, an ethnic Indian, who is being forced to live as a Muslim by the Islamic religious department in southern Malacca state, after it was discovered that although she was born to Muslim parents, she had chosen to live as a Hindu.
In Malaysia, Islamic law forbids people born to Muslim families to change their religion, hence not only was Revathi detained by the Islamic religious department and sent for "religious counseling in a rehabilitation center" (which translates to being forced to reconvert to Islam by the state authorities), her 15-month-old daughter too was taken away from her husband and handed over to Revathi's Muslim mother to be raised as a Muslim.
The constitution of Malaysia qualifies Muslims only as "Malay" (or bumiputera = son of the land). Non-Muslims have to forfeit their ethnicity. Indigenous people (the true sons of the land) who have lived in the country before Islam was introduced are declared non-indigenous. So, 40 percent of Malaysia's non-Muslim population are regarded as second class citizens by the ruling UMNO party, who uphold a policy called Ketuanan Melayu, which claims Malays (who are automatically classed as Muslims on their identity cards) are the original inhabitants of Malaysia, and deserving of special privileges.
Another very interesting story is that of Lina Joy, who is regarded as Malaysia's most famous apostate. I understand she is now seeking asylum abroad.
Lina Joy, who became a Christian in 1986, has for 15 years tried without success to have her status as a Muslim removed from her identity card. She took her case to the Supreme Court, but her appeal failed.
The court ruled, according to Islamic law: Once a Muslim, always a Muslim. She cannot legally marry her Christian fiance while she is classed as a Muslim. And although a practicing Christian, all her children from any marriage she enters into in Malaysia will be considered Muslim, they will be forbidden from attending a Christian education and when she dies, she will be buried a Muslim. She and her lawyer have received death threats.
The prime minister of Malaysia may very well understand that the gap between the peoples of Malaysia is ever widening. He may even voice his understanding. But he can not alter the rulings of what is understood as Islamic law. Malaysia has since its very conception, declared itself an Islamic State. So it must abide by its national commitment.
Actually, there is nothing wrong with sharia, which is often misinterpreted as Islamic "law" in the same way we normally interpret law. I may be wrong, but in my opinion what is called Islamic law is but a system supposedly based on sharia as advocated by prophet Muhammad, peace be upon him. Now, this supposition is totally at the mercy of the scholars who interpret sharia.
Sharia is a very dynamic way of life. It is based on the beatitudes and messages of the Koran, the holy and blessed scripture, and the equally blessed deeds of the prophet of Allah. It is the essence of all religions, the religiousness of religion. It represents all that is good in human beings, humanity and humanness.
This path is very, very broad -- based on the principles of oneness of God, submission to the will of God, charity, self-control and respect for that which is holy. All these are then applied in daily life. The application is supposed to be simple as advocated by the prophet himself. Religion is supposed to facilitate human beings in achieving their goals in a manner which is humane. It is not to complicate our lives.
This kind of understanding of sharia makes Islam truly universal, and a blessing for the entire universe, not just our world.
Alas, in the name of sharia, scholars often interpret the scriptures to suit their fancies and relate it to law. Then they enforce such laws for one and all -- at times with the consent of the state, at other times without such consent.
Once again, I must repeat this understanding of mine could be wrong. I am not a scholar. But I can clearly see that without such a broad understanding, sharia has been used and misused in such a way in Malaysia that the entire society is currently on the brink of disintegration.
Our people here, not only the so-called liberals and moderates such as Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, Dawam Raharjo, Djohan Effendy, Ainun Najib (Cak Nun), the late Nurcholish Madjid (Cak Nur) and others -- but also the somewhat conservative, like Yusril Ihza Mahendra who is still fighting for a Jakarta Charter which makes it compulsory for Muslims in the country to adhere to sharia-based qanun or law -- actually believe that the essence of Islamic sharia has already been incorporated into our Constitution and the basic principles of Pancasila. So what are we fighting for?
The enforcement of regional bylaws based on certain understandings of sharia has already triggered similar reactions from other religious groups, like the Christians in Manokwari.
We must understand and understand this well: Indonesia is not Pakistan, which was born out of religious sentiments. Indonesia is also not Malaysia, where the Hindus are of Tamil descent and most of the Buddhists are of Chinese origin, so the state could label one group as indigenous, therefore deserving special treatment; and the other groups as non-indigenous, therefore able to do without such treatment.
Here, in Indonesia, Muslims, Hindus, Buddhists and Christians all are indigenous Indonesians, pribumi or bumiputera. They must be treated equally in all manners.
Not only that, since we are not a religious state, the government must firmly deal with the groups of our confused brothers and sisters who may not be sufficiently aware of our national commitment before even proclaiming the independence of the country.
We are committed to Pancasila as our binding force. Our culture is our mother. Without that, we have no identity. No wonder, some of us are searching for our roots and identities in China, Arabia, India, even in the western countries. We have forgotten our own roots.
Within 50 years of its independence, Malaysia faces the threat of disintegration. It must find its roots in the ancient Malay culture to re-unite its society or perish. It is high time we in Indonesia learned from Malaysia's failure to be truly Asia, the Asia of Muslims and Hindus, the Asia of Christians and Buddhists, the asia of all faiths and religions. But, above all the Asia of Asian culture!
The writer is a spiritual activist. His Web sites are www.aumkar.org, www.californiabali.org, www.anandkrishna.org.
Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20080117.E03&irec=2
Kamis, 10 Januari 2008
Mengkaji Ulang Islam Multikultural
Pascatragedi 11 September 2001, diskursus Islam terus menjadi topik aktual dan menarik perhatian banyak kalangan di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Di tanah air, misalnya, pertarungan wacana dan ideologi Islam kembali mencuat ke permukaan yang diwakili dua kutub yang saling berseberangan: antara kubu fundamental di satu pihak dan kubu liberal di lain pihak. Dalam perdebatan wacana ini, tentu saja beda pendapat dan konflik sosial pun acapkali tidak bisa dihindari. Bahkan, klaim kebenaran (truth claim), tuduh-menuduh, penghakiman dan pengkafiran seolah menjadi santapan sehari-hari dalam kehidupan beragama di negeri ini.
Potret di atas merupakan realitas empirik yang sering dijumpai beberapa tahun lalu, meski akhir-akhir ini wacana tersebut agak redup akibat kalah isu dengan wacana politik, infotainment selebriti dan peristiwa bencana alam di berbagai pelosok tanah air. Namun begitu, bukan berarti perdebatan Islam di nusantara menjadi stagnan, justru dengan ramainya wacana tersebut menjadikan perdebatan agama terus menguat dan kian ramai. Setidaknya hal itu ditandai dengan munculnya banyak kelompok kajian, aliran keagamaan, dan golongan-golongan dalam semua agama, khususnya di Islam.
Islam Multikultural
Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo.
Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Di satu sisi, misalnya, mungkin kita merasa bangga dengan munculnya banyak aliran, kelompok dan golongan dalam Islam, sehingga dengan leluasa bisa memilih dan bergabung dengan aliran yang banyak tersebut. Tetapi, pada sisi lain sebagian kita pasti ada yang bingung dan resah akibat munculnya ragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Yusman Roy, JIL, JIMM, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan sebagainya.
Memang, perbincangan Islam multikultural bukan wacana baru karena sebelumnya sudah banyak pakar Muslim telah melakukan kajian ini. Dalam buku Democratic Pluralism in Islam, misalnya, Abdul Aziz Sachedina pernah merekam dan mengungkap wajah pluralistik Islam baik secara normatif maupun historis. Bagi dia, secara normatif, sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan perlunya kenal-mengenal (ta`aruf) antarsuku bangsa dan agama (Q.S. al-Hujurat:13). Bahkan, Hassan Hanafi pernah melontarkan kritik yang dituangkan dalam buku al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), tentang perlunya rekonstruksi pemikiran Islam dan pemihakan kaum tertindas akibat perbedaan status, gender dan kultur.
Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.
Prospek ke Depan
Di tengah situasi konflik akhir-akhir ini, masa depan Islam multikultural tampaknya bisa menjadi wacana alternatif atas problematika Islam kontemporer. Lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, plural dan beragam dalam berbagai hal, wacana Islam multikultural bisa dikatakan strategis untuk ditawarkan.
Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU dan organisasi keagamaan lainnya di era multikultural seperti saat ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator bukan instruktur. Fungsi koordinatif ketimbang instruktif bagi lembaga keagamaan di negeri ini menjadi penting karena dominasi salah satu pihak atas organisasi keagamaan akan menimbulkan konflik dan awal munculnya diskriminasi social, dan secara langsung atau tidak langsung telah menghilangkan eksistensi salah satu pihak.
Penghargaan atas pihak lain dengan jalan membuka dialog bersama guna membuat dan memutuskan kebijakan (decision making) menjadi penting. Tentu saja hal itu dilakukan dalam persoalan-persoalan yang relevan dan berkaitan erat dengan masalah dan kepentingan hidup bersama.
Selain itu, pihak negara sudah seharusnya tidak banyak ikut terlibat dalam urusan-urusan agama dan keluarga hingga yang sangat pribadi, seperti soal poligami. Isu poligami yang ramai kembali akibat berita A’a Gym menikah dengan Teh Rini membuat negara ikut-ikutan campur tangan. Menurut hemat penulis, biarlah persoalan agama lebih banyak diserahkan kepada kaum agamawan, sedangkan pemerintah sebaiknya hanya memberi pelayanan sebaik-baiknya dalam urusan-urusan publik, bukan malah ikut campur tangan dalam masalah agama hingga persoalan kecil.
Negara dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai visi UUD 1945 dan Pancasila.
Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?[]
*Penulis adalah Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; yang telah menulis buku Pendidikan Multikultural (2006).
Suara Muhammadiyah edisi 1-15 Maret 2007.
Potret di atas merupakan realitas empirik yang sering dijumpai beberapa tahun lalu, meski akhir-akhir ini wacana tersebut agak redup akibat kalah isu dengan wacana politik, infotainment selebriti dan peristiwa bencana alam di berbagai pelosok tanah air. Namun begitu, bukan berarti perdebatan Islam di nusantara menjadi stagnan, justru dengan ramainya wacana tersebut menjadikan perdebatan agama terus menguat dan kian ramai. Setidaknya hal itu ditandai dengan munculnya banyak kelompok kajian, aliran keagamaan, dan golongan-golongan dalam semua agama, khususnya di Islam.
Islam Multikultural
Dalam konteks tersebut, memperbincangkan diskursus Islam multikultural di Indonesia menemukan momentumnya. Sebab, selama ini Islam secara realitas seringkali ditafsirkan tunggal bukan jamak atau multikultural. Padahal, di Nusantara realitas Islam multikultural sangat kental, baik secara sosio-historis maupun glokal (global-lokal). Secara lokal, misalnya, Islam di nusantara dibagi oleh Clifford Geertz dalam trikotomi: santri, abangan dan priyayi; atau dalam perspektif dikotomi Deliar Noer, yaitu Islam tradisional dan modern; dan masih banyak lagi pandangan lain seperti liberal, fundamental, moderat, radikal dan sebagainya. Secara sosio-historis, hadirnya Islam di Indonesia juga tidak bisa lepas dari konteks multikultural sebagaimana yang bisa dibaca dalam sejarah masuknya Islam ke Nusantara yang dibawa oleh Walisongo.
Kini, realitas multikultural tersebut kadangkala menantang kita untuk bisa bersikap lebih arif dan bijak. Di satu sisi, misalnya, mungkin kita merasa bangga dengan munculnya banyak aliran, kelompok dan golongan dalam Islam, sehingga dengan leluasa bisa memilih dan bergabung dengan aliran yang banyak tersebut. Tetapi, pada sisi lain sebagian kita pasti ada yang bingung dan resah akibat munculnya ragam kelompok dalam Islam di Indonesia belakangan ini, seperti Ahmadiyah, Lia Eden, Yusman Roy, JIL, JIMM, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dan sebagainya.
Memang, perbincangan Islam multikultural bukan wacana baru karena sebelumnya sudah banyak pakar Muslim telah melakukan kajian ini. Dalam buku Democratic Pluralism in Islam, misalnya, Abdul Aziz Sachedina pernah merekam dan mengungkap wajah pluralistik Islam baik secara normatif maupun historis. Bagi dia, secara normatif, sumber ajaran Islam yakni Al-Qur’an dan Hadits telah menjelaskan perlunya kenal-mengenal (ta`aruf) antarsuku bangsa dan agama (Q.S. al-Hujurat:13). Bahkan, Hassan Hanafi pernah melontarkan kritik yang dituangkan dalam buku al-Yasar al-Islami (Kiri Islam), tentang perlunya rekonstruksi pemikiran Islam dan pemihakan kaum tertindas akibat perbedaan status, gender dan kultur.
Selanjutnya, menjadikan Islam multikultural sebagai topik atau wacana masih menarik dan perlu disebar-luaskan. Hal ini setidaknya karena tiga alasan. Pertama, situasi dan kondisi konflik. Di tengah-tengah keadaan yang sering konflik, Islam multikultural menghendaki terwujudnya masyarakat Islam yang cinta damai, harmonis dan toleran. Karenanya, cita-cita untuk menciptakan dan mendorong terwujudnya situasi dan kondisi yang damai, tertib dan harmonis menjadi agenda penting bagi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Di tanah air, kasus konflik sosial di Poso, Ambon, Papua dan daerah lain merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
Kedua, realitas yang bhinneka. Ke-bhinneka-an agama, etnis, suku, dan bahasa menjadi keharusan untuk disikapi oleh semua pihak, terutama umat Islam di Indonesia. Sebab, tanggung jawab sosial bukan hanya ada pada pemerintah tapi juga umat beragama. Dengan lain kata, damai-konfliknya masyarakat juga bergantung pada kontribusi penciptaan suasana damai oleh umat beragama, termasuk kaum Muslimin di negeri ini. Robert N. Bellah, sosiolog agama dari Amerika serikat, mengatakan bahwa melalui Nabi Muhammad SAW di Jazirah Arab, Islam telah menjadi peradaban multikultural yang amat besar, dahsyat dan mengagumkan hingga melampaui kebesaran negeri lahirnya Islam sendiri, yaitu Jazirah Arab. Pada konteks ini, toleransi dan sikap saling menghargai karena perbedaan agama, sebagaimana diungkap Wilfred Cantwell Smith, perlu terus dijaga dan dibudayakan.
Ketiga, norma agama. Sebagai sebuah ajaran luhur tentu agama menjadi dasar yang kuat bagi kaum agamawan pada umumnya untuk membuat kondisi agar tidak carut-marut. Dalam hal ini, tafsir agama diharapkan bukan semata-mata mendasarkan pada teks, tetapi juga konteks agar maksud teks bisa ditangkap sesuai makna zaman. Perdebatan antara aliran ta`aqqully yang mendasarkan pada kekuatan rasio/akal dan aliran ta`abbudy yang menyandarkan pada aspek teks telah diwakili oleh dua aliran besar, yaitu Mu`tazilah dan Asy`ariyah, bisa menjadi pelajaran masa lalu yang amat menarik.
Prospek ke Depan
Di tengah situasi konflik akhir-akhir ini, masa depan Islam multikultural tampaknya bisa menjadi wacana alternatif atas problematika Islam kontemporer. Lebih-lebih di Indonesia yang masyarakatnya majemuk, plural dan beragam dalam berbagai hal, wacana Islam multikultural bisa dikatakan strategis untuk ditawarkan.
Keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU dan organisasi keagamaan lainnya di era multikultural seperti saat ini sudah seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator bukan instruktur. Fungsi koordinatif ketimbang instruktif bagi lembaga keagamaan di negeri ini menjadi penting karena dominasi salah satu pihak atas organisasi keagamaan akan menimbulkan konflik dan awal munculnya diskriminasi social, dan secara langsung atau tidak langsung telah menghilangkan eksistensi salah satu pihak.
Penghargaan atas pihak lain dengan jalan membuka dialog bersama guna membuat dan memutuskan kebijakan (decision making) menjadi penting. Tentu saja hal itu dilakukan dalam persoalan-persoalan yang relevan dan berkaitan erat dengan masalah dan kepentingan hidup bersama.
Selain itu, pihak negara sudah seharusnya tidak banyak ikut terlibat dalam urusan-urusan agama dan keluarga hingga yang sangat pribadi, seperti soal poligami. Isu poligami yang ramai kembali akibat berita A’a Gym menikah dengan Teh Rini membuat negara ikut-ikutan campur tangan. Menurut hemat penulis, biarlah persoalan agama lebih banyak diserahkan kepada kaum agamawan, sedangkan pemerintah sebaiknya hanya memberi pelayanan sebaik-baiknya dalam urusan-urusan publik, bukan malah ikut campur tangan dalam masalah agama hingga persoalan kecil.
Negara dan agama sudah seharusnya tetap menjalin komunikasi dan sinergi dalam mengelola realitas multikultural di negeri ini. Komunikasi merupakan jalan dialog sebagai upaya saling mengenal dan memahami maksud-tujuan eksistensi dan relasi agama-negara. Hal itu juga merupakan sinergi sebagai gerakan bersama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat berkeadilan dan berkesetaraan, sesuai visi UUD 1945 dan Pancasila.
Akhirnya, gagasan Islam multikultural menghendaki kesediaan menerima perbedaan lain (others), baik perbedaan kelompok, aliran, etnis, suku, budaya dan agama. Lebih dari sekadar merayakan perbedaan (more than celebrate multiculturalism), Islam multikultural juga mendorong sinergi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil, damai, toleran, harmonis dan sejahtera. Pertanyaan akhir sebagai penutup tulisan ini adalah, beranikah kita ber-Islam secara multikultural?[]
*Penulis adalah Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Surabaya; yang telah menulis buku Pendidikan Multikultural (2006).
Suara Muhammadiyah edisi 1-15 Maret 2007.
Selasa, 01 Januari 2008
Demokrasi, Kemakmuran, dengan Pilkada
Dalam diskusi kecil, seorang peserta mempertanyakan relevansi demokrasi dengan kemakmuran rakyat. Katanya, saat ini yang terjadi adalah berbalik. Sebelumnya terdapat slogan, "demokrasi membawa kesejahteraan". Slogan itu telah berganti menjadi "demokrasi membawa kesengsaraan". Pandangan skeptis itu didasari oleh pengalaman Indonesia. Satu dekade geliat reformasi yang menjadikan Indonesia berproses menuju demokrasi dipandang tidak mampu membawa Indonesia ke arah perubahan-perubahan yang lebih baik secara ekonomi. Angka kemiskinan dan pengangguran masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang bisa dijadikan sebagai lubang besar jalan keluar bagi dua masalah besar itu juga masih terbatas.
Penanya tersebut lalu membuat pertanyaan dengan nada pasrah, "Lalu buat apa kita memiliki demokrasi kalau rakyat tidak sejahtera?" Pertanyaan itu mengingatkan pernyataan kawan dari Tiongkok dalam suatu obrolan ringan. Katanya, "Demokratis atau tidak, yang penting adalah rakyat Tiongkok sekarang lebih sejahtera."
***
Secara empiris maupun teoretis, keterkaitan demokrasi dengan kesejahteraan memang menjadi perdebatan yang panjang. Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Sementara itu, India yang ketika itu sudah demokratis memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya.
Implikasinya, studi-studi yang membawas masalah tersebut terpilah menjadi dua kelompok besar, yakni yang memiliki implikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dan yang tidak. Menanggapi realitas demikian, tidaklah mengherankan kalau John Gerring dkk (2005) pernah membuat kesimpulan, "The predominant view is that democracy has either a negative effect on GDP growth or no overall effect."
John Gerring dkk juga menambahkan bahwa dalam jangka panjang, demokrasi itu memiliki implikasi cukup bermakna terhadap demokrasi. Hal tersebut terkait dengan membaiknya empat modal yang menjadi presyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi bila berada di dalam suasana demokrasi yang berkesinambungan dan stabil (enduring democarcy).
Empat modal itu adalah modal fisik (physical capital) seperti infrastruktur, modal sumber daya manusia (human capital) seperti adanya SDM yang berkualitas, modal sosial (social capital) seperti adanya kepercayaan antarsatu sama lain, dan modal politik (political capital) seperti adanya pelembagaan proses-proses politik.
Hanya, dalam jangka pendek, keterkaitan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, lebih-lebih kesejahteraan, memang tidak terlalu nampak. Ketidaktampakan itu lebih kuat terjadi di negara-negara yang memiliki GNP per kapita rendah. Demokrasi di negara-negara demikian acap dikaitkan dengan kesemrawutan dan ketidakteraturan.
Meski demikian, manakala demokrasi itu sudah terlembaga secara baik (enduring), implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat bisa terasakan.
Pandangan tersebut didasarkan atas argumentasi bahwa pemerintahan yang demokratis itu dibangun atas prinsip-prinsip: transaparansi, responsibilitas, dan akuntabilitas. Para pejabat politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat, termasuk ada tidaknya realisasi janji-janji yang dikemukakan. Kalau tidak, para pemilih akan menghukumnya berupa tidak terpilih lagi.
Memang, dalam situasi peran pemerintah (di bidang ekonomi) tidak dominan, pengaruh itu tidak terlalu besar. Tetapi, di negara mana pun, pemerintah memiliki tiga otoritas pembuatan dan implementasi kebijakan yang bersentuhan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Ketiganya adalah kebijakan alokasi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa, kebijakan regulasi (kompetisi dan proteksi), serta kebijakan redistribusi.
***
Secara riel, keterkaitan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat itu terlihat di daerah. Pertanyaannya adalah apakah demokratisasi di daerah seperti pilkada secara langsung memiliki implikasi terhadap kesejahteraan rakyat?
Sejak dilaksanakan mulai 1 Juni 2005, pilkada secara langsung memang memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, mekanisme itu memungkinkan adanya pemberian otoritas kepada rakyat yang lebih besar. Di sisi lain, terdapat defisit demokrasi. Selain memunculkan konflik yang lebih intens, pilkada secara langsung dianggap terlalu boros karena biayanya terlalu besar.
Yang memprihatinkan ialah pilkada dipandang hanya memperkukuh nuansa ekonomi politik yang bercorak oligarkis. Hanya orang-orang berduit atau dekat dengan orang-orang berduit yang bisa terpilih. Implikasinya, adanya kebijakan-kebijakan prorakyat di daerah pada masa datang menjadi sulit diharapkan.
Tetapi, fakta lain tidak bisa dimungkiri. Pilkada secara langsung juga menjadi saksi bahwa para kepala daerah (incumbent) yang memiliki performance tidak bagus telah memperoleh hukuman. Meski mereka telah mengeluarkan banyak uang, para pemilih tidak memilihnya kembali. Kecenderungan terakhir itulah yang memiliki makna bagi adanya relasi antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Saya termasuk yang percaya bahwa rakyat kita semakin pintar. Meski nuansa oligarkis masih tampak di dalam pilkada secara langsung, ketika dalam memerintah tidak mengubah diri, para kepala daerah yang bercorak demikian akan memperoleh hukuman.
Masalah biaya besar bisa dikurangi ketika ada komitmen bersama, baik antarcalon maupun antara calon dan anggota masyarakat. Komitmen pentingnya adalah bagaimana meminimalkan biaya pilkada tetapi menghasilkan kepala-kepala daerah yang berkualitas baik dan memiliki orientasi kuat pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Semoga.
Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319734
Penanya tersebut lalu membuat pertanyaan dengan nada pasrah, "Lalu buat apa kita memiliki demokrasi kalau rakyat tidak sejahtera?" Pertanyaan itu mengingatkan pernyataan kawan dari Tiongkok dalam suatu obrolan ringan. Katanya, "Demokratis atau tidak, yang penting adalah rakyat Tiongkok sekarang lebih sejahtera."
***
Secara empiris maupun teoretis, keterkaitan demokrasi dengan kesejahteraan memang menjadi perdebatan yang panjang. Pada dekade 1970-an dan 1990-an, sebagian besar negara-negara industri baru (newly industrialised countries) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi tergolong otoriter. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah yang makmur juga tidak demokratis. Sementara itu, India yang ketika itu sudah demokratis memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran di bawahnya.
Implikasinya, studi-studi yang membawas masalah tersebut terpilah menjadi dua kelompok besar, yakni yang memiliki implikasi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dan yang tidak. Menanggapi realitas demikian, tidaklah mengherankan kalau John Gerring dkk (2005) pernah membuat kesimpulan, "The predominant view is that democracy has either a negative effect on GDP growth or no overall effect."
John Gerring dkk juga menambahkan bahwa dalam jangka panjang, demokrasi itu memiliki implikasi cukup bermakna terhadap demokrasi. Hal tersebut terkait dengan membaiknya empat modal yang menjadi presyarat penting bagi pertumbuhan ekonomi bila berada di dalam suasana demokrasi yang berkesinambungan dan stabil (enduring democarcy).
Empat modal itu adalah modal fisik (physical capital) seperti infrastruktur, modal sumber daya manusia (human capital) seperti adanya SDM yang berkualitas, modal sosial (social capital) seperti adanya kepercayaan antarsatu sama lain, dan modal politik (political capital) seperti adanya pelembagaan proses-proses politik.
Hanya, dalam jangka pendek, keterkaitan antara demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, lebih-lebih kesejahteraan, memang tidak terlalu nampak. Ketidaktampakan itu lebih kuat terjadi di negara-negara yang memiliki GNP per kapita rendah. Demokrasi di negara-negara demikian acap dikaitkan dengan kesemrawutan dan ketidakteraturan.
Meski demikian, manakala demokrasi itu sudah terlembaga secara baik (enduring), implikasinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat bisa terasakan.
Pandangan tersebut didasarkan atas argumentasi bahwa pemerintahan yang demokratis itu dibangun atas prinsip-prinsip: transaparansi, responsibilitas, dan akuntabilitas. Para pejabat politik yang dipilih secara langsung oleh rakyat harus mempertanggungjawabkan apa yang telah diperbuat, termasuk ada tidaknya realisasi janji-janji yang dikemukakan. Kalau tidak, para pemilih akan menghukumnya berupa tidak terpilih lagi.
Memang, dalam situasi peran pemerintah (di bidang ekonomi) tidak dominan, pengaruh itu tidak terlalu besar. Tetapi, di negara mana pun, pemerintah memiliki tiga otoritas pembuatan dan implementasi kebijakan yang bersentuhan dengan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Ketiganya adalah kebijakan alokasi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa, kebijakan regulasi (kompetisi dan proteksi), serta kebijakan redistribusi.
***
Secara riel, keterkaitan antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat itu terlihat di daerah. Pertanyaannya adalah apakah demokratisasi di daerah seperti pilkada secara langsung memiliki implikasi terhadap kesejahteraan rakyat?
Sejak dilaksanakan mulai 1 Juni 2005, pilkada secara langsung memang memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, mekanisme itu memungkinkan adanya pemberian otoritas kepada rakyat yang lebih besar. Di sisi lain, terdapat defisit demokrasi. Selain memunculkan konflik yang lebih intens, pilkada secara langsung dianggap terlalu boros karena biayanya terlalu besar.
Yang memprihatinkan ialah pilkada dipandang hanya memperkukuh nuansa ekonomi politik yang bercorak oligarkis. Hanya orang-orang berduit atau dekat dengan orang-orang berduit yang bisa terpilih. Implikasinya, adanya kebijakan-kebijakan prorakyat di daerah pada masa datang menjadi sulit diharapkan.
Tetapi, fakta lain tidak bisa dimungkiri. Pilkada secara langsung juga menjadi saksi bahwa para kepala daerah (incumbent) yang memiliki performance tidak bagus telah memperoleh hukuman. Meski mereka telah mengeluarkan banyak uang, para pemilih tidak memilihnya kembali. Kecenderungan terakhir itulah yang memiliki makna bagi adanya relasi antara demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Saya termasuk yang percaya bahwa rakyat kita semakin pintar. Meski nuansa oligarkis masih tampak di dalam pilkada secara langsung, ketika dalam memerintah tidak mengubah diri, para kepala daerah yang bercorak demikian akan memperoleh hukuman.
Masalah biaya besar bisa dikurangi ketika ada komitmen bersama, baik antarcalon maupun antara calon dan anggota masyarakat. Komitmen pentingnya adalah bagaimana meminimalkan biaya pilkada tetapi menghasilkan kepala-kepala daerah yang berkualitas baik dan memiliki orientasi kuat pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Semoga.
Kacung Marijan, guru besar FISIP Universitas Airlangga
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319734
Monster yang Memangsa Diri Sendiri
SELAMAT TAHUN BARU 2008! Apakah harapan kita di tahun baru ini? Adakah yang baru? Mau membangun kehidupan berwajah bagaimanakah kita? Beretika, bermoral, berkemanusiaankah, atau…?
Willi Hoffsuemmer pernah menulis tentang Smith dan guru kepala yang sedang berdiri dekat gelanggang anak-anak, tempat anak-anak bersukaria sepuas-puasnya. Dia bertanya kepada guru kepala, "Mengapa terjadi bahwa setiap orang ingin bahagia, namun sangat sedikit yang mengalaminya? Sang guru kepala memandang ke arah gelanggang anak-anak itu, lantas menjawab, "Anak-anak itu tampak sungguh bahagia."
Dengan agak keheranan, Smith berkata, "Sudah tentu mereka bahagia karena satu-satunya yang mereka lakukan adalah bermain."
"Kamu benar", ucap sang guru. "Tetapi, apa yang sesungguhnya menghalangi kaum dewasa berbahagia seperti itu juga dapat menghalangi anak-anak berbahagia."
Sang guru merogoh saku celananya, mengambil segenggam kepingan uang logam, lantas menghamburkannya di tengah-tengah anak-anak yang sedang bermain. Kontan, semua sorak gembira terhenti. Anak-anak saling menindih dan berkelahi untuk merebut kepingan uang tersebut.
Kemudian, guru kepala berkata kepada Smith, "Menurut kamu, hal apa yang menyebabkan mereka mengakhiri kegembiraan dan kebahagiaan mereka?" Dengan semangat, Smith menjawab, "Perkelahian!". Lanjut si guru, "Ya, tapi apa yang memicu dan memacu perkelahian itu?" Agak tersipu-sipu dan ragu, Smith menjawab, "Ketamakan". "Bagus, kamu telah menemukan jawaban sendiri," ujar guru kepala.
Setiap orang ingin menemukan kebahagiaan. Tetapi, ketamakan untuk memiliki barang-barang yang dianggap memberikan kebahagiaan itu justru menjauhkan mereka dari kebahagiaan. Sungguh, ketamakan menghancurkan kebahagiaan.
Kubuka Kamus Lengkap Bahasa Indonesia untuk menemukan arti kata tamak. Ternyata, di situ ditulis padanan kata tamak adalah rakus, loba, serakah, sedangkan artinya ialah selalu ingin menguasai dan memiliki banyak-banyak. Pantas saja, kata tersebut bermakna begitu mengerikan karena ia berdaya hancur luar biasa.
Aku menulis naskah ini sembari nonton televisi. Mendadak jantungku berdegup kencang melihat dan mendengar berita bahwa Benazir Bhutto dibunuh di tengah kerumunan para pendukungnya. Lantas, si pembunuh meledakkan bom bunuh diri sehingga turut tewas 20 orang. Tampak, pada layar televisi porak-poranda mobil dan bangunan sebagai bentuk murka para pendukung Bhutto. Inikah kado akhir tahun bagi bumi kala mau menjemput Tahun Baru 2008? Duh Gusti, luka sakit bumi ini kian parah bernanah tak terkira! Syukur-syukur lantas ada kelompok yang bertanggung jawab atas tragedi berdarah tersebut.
Masih kuingat jelas, manakala bom-bom berhamburan terjadi di negeri tercinta, Indonesia, niscaya tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab maupun menjelaskan maksudnya. Yang ada cuma sebutan teroris si pengacau kenyamanan dan keamanan hidup kita. Kemudian, akan menyusul munculnya beberapa analisis spekulatif. Peristiwa bom membuktikan bahwa jurang kaya-miskin makin menganga sehingga yang namanya keadilan dan kesejahteraan kian menjauh dari jangkauan kehidupan kini dan di sini.
Ketidakpedulian pada derita sengsara sesama memperparah ketidakpedulian pada kehidupan ini sehingga yang tersisa adalah bagaimana menghancurkan kehidupan yang sudah punah kepeduliannya (tiji tibeh = mati siji mati kabeh, peduli amat dengan nyawa orang, lha wong selama ini juga tidak ada yang peduli pada nyawaku).
Ada dugaan lain, boleh jadi, sang teroris ingin selalu menguasai keamanan dan kenyamanan yang bisa ditentukan seenaknya saja olehnya, dan ingin memiliki sebanyak-banyaknya pengakuan bahwa mereka adalah siluman yang sangat berkuasa mencabut nyawa orang lain dan bahkan menghancurkan kehidupan ini. Kalau dugaan ini benar, maka pengebom di jagat raya baru-baru ini dan yang terjadi sebelumnya di banyak tempat seantero Nusantara bisa saja digolongkan sebagai tindak ketamakan.
Dampak kerakusan akan materi, kekuasaan, dan keamanan dalam hidup ini selalu sama, yakni menghancurkan kebahagiaan orang lain. Betul-betul keserakahan adalah monster yang menyeramkan!
"Indonesia dikepung bencana" dan "kita adalah bangsa yang hidup bersama bahaya" adalah kalimat-kalimat yang sering muncul di televisi guna memberitakan dan mengingatkan bahwa ada begitu banyak bencana alam sedang ngantre giliran bahkan kalau perlu berdesakan mendahului dan melampaui prakiraan cuaca yang disiarkan secara resmi.
Banyak daerah di Pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Timur) bersama pulau-pulau lain dikelilingi oleh banjir bandang dan tanah longsor yang niscaya menelan korban nyawa tak terhindarkan. Isak tangis, rintih perih, jerit erangan terpampang membahana di media cetak maupun elektronik kita.
Perubahan iklim dan efek pemanasan global makin garang membuktikan dirinya siap melumat kehidupan bumi menuju "kiamat". Sayup-sayup kudengar nyanyian rohani yang pernah mengingatkan umat manusia di bumi pada 1985-an kala sidang raya Dewan Gereja Sedunia berlangsung:
Oleh ulah yang tak terkendali dan serakah yang memalukan
Alam dikeruk, terkuras habis, tak peduli hari esoknya
Alam tidak lagi bersahabat, bangkitlah amarah, mendera
Oh, gempa dan banjir maha dahsyat, disebarnya maut dan resah
Alkisah dalam mitologi Yunani diceritakan tentang saudagar kayu yang kaya raya bernama Erisychthon (baca: Er-is-ya-thon). Dia terkenal sebagai orang rakus yang hanya berpikir tentang keuntungannya melulu.
Tak ada yang sakral baginya. Di tanahnya terdapat sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa. Di pohon itu selalu diikatkan doa-doa kaum beriman. Dia tak sedikit pun peduli pada keistimewaan pohon tersebut.
Bahkan, pada suatu hari, dia mengambil kapak untuk menebangnya setelah menghitung hasil keuntungan menjual kayu pohon itu. Segala protes tidak digubris. Alhasil, salah satu dewa mengutuk dia atas keserakahannya: "dia akan didera rasa lapar yang tidak akan pernah ada puasnya". Kutukan itu pun terjadilah. Dia mulai memakan persediaannya. Tetapi tidak terpuaskan, lantas memakan istri dan anak-anaknya juga. Akhirnya, tak ada lagi yang bisa dimakan selain memakan diri sendiri, dan terjadilah demikian. Kerakusan telah menjadi monster yang memangsa diri sendiri. SELAMAT MENJALANI TAHUN 2008!
Simon Filantropha, budayawan yang dikenal sebagai pendeta
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319736
Willi Hoffsuemmer pernah menulis tentang Smith dan guru kepala yang sedang berdiri dekat gelanggang anak-anak, tempat anak-anak bersukaria sepuas-puasnya. Dia bertanya kepada guru kepala, "Mengapa terjadi bahwa setiap orang ingin bahagia, namun sangat sedikit yang mengalaminya? Sang guru kepala memandang ke arah gelanggang anak-anak itu, lantas menjawab, "Anak-anak itu tampak sungguh bahagia."
Dengan agak keheranan, Smith berkata, "Sudah tentu mereka bahagia karena satu-satunya yang mereka lakukan adalah bermain."
"Kamu benar", ucap sang guru. "Tetapi, apa yang sesungguhnya menghalangi kaum dewasa berbahagia seperti itu juga dapat menghalangi anak-anak berbahagia."
Sang guru merogoh saku celananya, mengambil segenggam kepingan uang logam, lantas menghamburkannya di tengah-tengah anak-anak yang sedang bermain. Kontan, semua sorak gembira terhenti. Anak-anak saling menindih dan berkelahi untuk merebut kepingan uang tersebut.
Kemudian, guru kepala berkata kepada Smith, "Menurut kamu, hal apa yang menyebabkan mereka mengakhiri kegembiraan dan kebahagiaan mereka?" Dengan semangat, Smith menjawab, "Perkelahian!". Lanjut si guru, "Ya, tapi apa yang memicu dan memacu perkelahian itu?" Agak tersipu-sipu dan ragu, Smith menjawab, "Ketamakan". "Bagus, kamu telah menemukan jawaban sendiri," ujar guru kepala.
Setiap orang ingin menemukan kebahagiaan. Tetapi, ketamakan untuk memiliki barang-barang yang dianggap memberikan kebahagiaan itu justru menjauhkan mereka dari kebahagiaan. Sungguh, ketamakan menghancurkan kebahagiaan.
Kubuka Kamus Lengkap Bahasa Indonesia untuk menemukan arti kata tamak. Ternyata, di situ ditulis padanan kata tamak adalah rakus, loba, serakah, sedangkan artinya ialah selalu ingin menguasai dan memiliki banyak-banyak. Pantas saja, kata tersebut bermakna begitu mengerikan karena ia berdaya hancur luar biasa.
Aku menulis naskah ini sembari nonton televisi. Mendadak jantungku berdegup kencang melihat dan mendengar berita bahwa Benazir Bhutto dibunuh di tengah kerumunan para pendukungnya. Lantas, si pembunuh meledakkan bom bunuh diri sehingga turut tewas 20 orang. Tampak, pada layar televisi porak-poranda mobil dan bangunan sebagai bentuk murka para pendukung Bhutto. Inikah kado akhir tahun bagi bumi kala mau menjemput Tahun Baru 2008? Duh Gusti, luka sakit bumi ini kian parah bernanah tak terkira! Syukur-syukur lantas ada kelompok yang bertanggung jawab atas tragedi berdarah tersebut.
Masih kuingat jelas, manakala bom-bom berhamburan terjadi di negeri tercinta, Indonesia, niscaya tidak ada yang menyatakan bertanggung jawab maupun menjelaskan maksudnya. Yang ada cuma sebutan teroris si pengacau kenyamanan dan keamanan hidup kita. Kemudian, akan menyusul munculnya beberapa analisis spekulatif. Peristiwa bom membuktikan bahwa jurang kaya-miskin makin menganga sehingga yang namanya keadilan dan kesejahteraan kian menjauh dari jangkauan kehidupan kini dan di sini.
Ketidakpedulian pada derita sengsara sesama memperparah ketidakpedulian pada kehidupan ini sehingga yang tersisa adalah bagaimana menghancurkan kehidupan yang sudah punah kepeduliannya (tiji tibeh = mati siji mati kabeh, peduli amat dengan nyawa orang, lha wong selama ini juga tidak ada yang peduli pada nyawaku).
Ada dugaan lain, boleh jadi, sang teroris ingin selalu menguasai keamanan dan kenyamanan yang bisa ditentukan seenaknya saja olehnya, dan ingin memiliki sebanyak-banyaknya pengakuan bahwa mereka adalah siluman yang sangat berkuasa mencabut nyawa orang lain dan bahkan menghancurkan kehidupan ini. Kalau dugaan ini benar, maka pengebom di jagat raya baru-baru ini dan yang terjadi sebelumnya di banyak tempat seantero Nusantara bisa saja digolongkan sebagai tindak ketamakan.
Dampak kerakusan akan materi, kekuasaan, dan keamanan dalam hidup ini selalu sama, yakni menghancurkan kebahagiaan orang lain. Betul-betul keserakahan adalah monster yang menyeramkan!
"Indonesia dikepung bencana" dan "kita adalah bangsa yang hidup bersama bahaya" adalah kalimat-kalimat yang sering muncul di televisi guna memberitakan dan mengingatkan bahwa ada begitu banyak bencana alam sedang ngantre giliran bahkan kalau perlu berdesakan mendahului dan melampaui prakiraan cuaca yang disiarkan secara resmi.
Banyak daerah di Pulau Jawa (khususnya Jawa Tengah dan Timur) bersama pulau-pulau lain dikelilingi oleh banjir bandang dan tanah longsor yang niscaya menelan korban nyawa tak terhindarkan. Isak tangis, rintih perih, jerit erangan terpampang membahana di media cetak maupun elektronik kita.
Perubahan iklim dan efek pemanasan global makin garang membuktikan dirinya siap melumat kehidupan bumi menuju "kiamat". Sayup-sayup kudengar nyanyian rohani yang pernah mengingatkan umat manusia di bumi pada 1985-an kala sidang raya Dewan Gereja Sedunia berlangsung:
Oleh ulah yang tak terkendali dan serakah yang memalukan
Alam dikeruk, terkuras habis, tak peduli hari esoknya
Alam tidak lagi bersahabat, bangkitlah amarah, mendera
Oh, gempa dan banjir maha dahsyat, disebarnya maut dan resah
Alkisah dalam mitologi Yunani diceritakan tentang saudagar kayu yang kaya raya bernama Erisychthon (baca: Er-is-ya-thon). Dia terkenal sebagai orang rakus yang hanya berpikir tentang keuntungannya melulu.
Tak ada yang sakral baginya. Di tanahnya terdapat sebuah pohon istimewa yang dicintai para dewa. Di pohon itu selalu diikatkan doa-doa kaum beriman. Dia tak sedikit pun peduli pada keistimewaan pohon tersebut.
Bahkan, pada suatu hari, dia mengambil kapak untuk menebangnya setelah menghitung hasil keuntungan menjual kayu pohon itu. Segala protes tidak digubris. Alhasil, salah satu dewa mengutuk dia atas keserakahannya: "dia akan didera rasa lapar yang tidak akan pernah ada puasnya". Kutukan itu pun terjadilah. Dia mulai memakan persediaannya. Tetapi tidak terpuaskan, lantas memakan istri dan anak-anaknya juga. Akhirnya, tak ada lagi yang bisa dimakan selain memakan diri sendiri, dan terjadilah demikian. Kerakusan telah menjadi monster yang memangsa diri sendiri. SELAMAT MENJALANI TAHUN 2008!
Simon Filantropha, budayawan yang dikenal sebagai pendeta
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=319736
2008: Resolusi dalam Revolusi
Oleh: NINOK LEKSONO
How can you stop, the Sun from shining; What makes the World go round... ("How Can You Mend a Broken Heart", The Bee Gees). Menarik juga lagu The Bee Gees yang legendaris itu. Bagaimana dalam lirik sebuah lagu yang berkisah tentang patah hati bisa disisipkan fakta ilmiah yang penting itu. Ya, karena Matahari (bersinar)-lah lalu Bumi—dengan segenap kehidupan yang ada di atasnya—bisa bergerak mengelilinginya. Gerakan yang disebut sebagai revolusi inilah yang melahirkan tahun, yang pergantiannya baru saja dirayakan oleh umat manusia di berbagai penjuru dunia.
Sebelum mengupas lebih lanjut tentang revolusi Bumi, ada kata lain—dengan perbedaan hanya satu huruf—yang juga populer di seputar pergantian tahun. Itulah dia "resolusi", atau ketetapan hati (untuk melaksanakan satu atau sederet hal).
Tentang resolusi, dari tahun ke tahun, manusia demikian kreatif menyusunnya—lazimnya untuk perbaikan dalam kesehatan, karier, keuangan, hubungan kekeluargaan dan persahabatan, dan roman. Apakah resolusi tersebut dilaksanakan atau tidak, ini soal lain.
Yang juga menarik, di antara resolusi yang terkirim melalui pesan pendek SMS, ada juga yang mengambil metafora benda langit, khususnya bintang, Matahari, dan Bulan. Ada yang berharap pada tahun 2008 kenalannya bisa jadi terang seperti Matahari.
Perjalanan Bumi
Selepas 1 Januari, manusia pun kembali rutin menyusuri hari demi hari, hingga akhir nanti, yang lebih kurang seabad. Sementara Bumi masih akan setia menyusuri hari demi hari mengelilingi Matahari, dalam revolusi yang sudah berlangsung selama 4,5 miliar tahun dan masih akan berlangsung 4,5 miliar tahun lagi.
Selepas tanggal 1 Januari ini, kira-kira pada pekan pertama tahun, Bumi akan mencapai titik perihelium—titik terdekat dengan Matahari—di mana jarak Bumi dari Matahari adalah 147.072.376 kilometer.
Oleh revolusi Bumi, juga karena sumbu Bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang orbit mengelilingi Matahari, Matahari seolah bergerak ke utara. Pertama, Matahari akan terlebih dulu mencapai ekuator pada tanggal 21 Maret. Pada titik yang disebut Ekuinoks ini, musim semi pun dimulai untuk belahan bumi utara, sementara di belahan bumi selatan dimulai musim gugur. Titik ini juga disebut dengan Ekuinoks Maret, Ekuinoks Musim Semi.
Selanjutnya, Matahari akan mencapai Garis Balik Utara (Solstitium) pada tanggal 21 Juni, saat yang juga dikenal sebagai Solstitium Musim Dingin untuk belahan bumi selatan. Setelah tiga bulan memberi musim panas di belahan bumi utara, Matahari bergerak kembali ke selatan, dan mencapai Ekuinoks Musim Gugur pada tanggal 22 September. Sekitar 2-6 Juli, Bumi akan mencapai titik terjauh dari Matahari atau Aphelium, yaitu pada jarak 152.060.540 kilometer.
Dari situ, perjalanan Sang Surya pun berlanjut ke selatan dan mencapai Solstitium Musim Panas pada tanggal 22 Desember. Pada tanggal inilah hari paling pendek bagi belahan bumi utara, dan terpanjang bagi belahan bumi selatan.
Demikianlah siklus tahunan yang terjadi bagi Bumi yang disebabkan oleh pergerakannya mengelilingi Matahari. Dalam siklus yang menghasilkan musim dan cuaca yang berganti-ganti itu terpola kegiatan manusia dan juga flora dan fauna.
Oleh sifatnya yang rutin, siklus tersebut bisa dikatakan telah diterima apa adanya dan jarang merambah alam kesadaran. Manusia lebih akrab dengan perubahan waktu dan musim sebagaimana tercetak pada kalender.
Tidak terasa memang bahwa manusia dan kehidupan lain di dunia sedang menaiki kapal angkasa bernama Bumi yang melaju sepanjang tahun mengelilingi Matahari dengan kecepatan 107.275 kilometer per jam!
Di luar revolusi Bumi mengelilingi Matahari, sebenarnya ada gerakan lain yang lebih subtil dan lebih tidak terasa. Matahari, bersama Bumi dan planet-planet lain, mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 250 kilometer per detik. Para astronom mengamati bahwa tata surya kini sedang bergerak menuju Konstelasi Lyra. Matahari dan planet-planetnya akan menggenapi revolusi mengelilingi pusat Galaksi dalam tempo 200 juta-250 juta tahun. Sungguh kurun yang teramat panjang untuk ukuran manusia.
Kalau kemakmuran bisa ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan iptek yang cerdas, kesempatan untuk memelihara kelangsungan umat manusia di Bumi itu terbuka lebar.
Sebaliknya, kalau dalam setiap resolusi tahunan manusia tidak sedikit pun terdapat tekad untuk menyongsong masa depan, maka benih kepunahan itu telah disemaikan sejak sekarang.
Harapan yang disampaikan oleh sahabat agar 12 bulan di tahun ini berisikan kebahagiaan, 52 minggunya merupakan sukacita, 365 harinya penuh tawa ria, 8.760 jamnya merupakan keberuntungan, dan 525.600 menitnya merupakan sukses, sungguh amat sadar tentang dimensi waktu.
Harapan itu sah saja. Namun, pada sisi lain, setiap elemen waktu yang disebutkan di atas juga punya makna sendiri. Mungkin saja hitungan menit, jam, hari, bulan, dan tahun untuk revolusi Bumi yang sudah 4,5 miliar tahun tak banyak artinya (insignifikan). Tetapi tiba-tiba saja Bumi terasa makin panas, dan cuaca ekstrem sudah jadi realitas di depan mata.
Dalam perspektif itulah "resolusi dalam (konteks) revolusi" bisa dilihat sebagai satu agenda dalam penetapan prioritas untuk masa depan untuk ras manusia dan kehidupan lainnya.
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/02/utama/4114727.htm
How can you stop, the Sun from shining; What makes the World go round... ("How Can You Mend a Broken Heart", The Bee Gees). Menarik juga lagu The Bee Gees yang legendaris itu. Bagaimana dalam lirik sebuah lagu yang berkisah tentang patah hati bisa disisipkan fakta ilmiah yang penting itu. Ya, karena Matahari (bersinar)-lah lalu Bumi—dengan segenap kehidupan yang ada di atasnya—bisa bergerak mengelilinginya. Gerakan yang disebut sebagai revolusi inilah yang melahirkan tahun, yang pergantiannya baru saja dirayakan oleh umat manusia di berbagai penjuru dunia.
Sebelum mengupas lebih lanjut tentang revolusi Bumi, ada kata lain—dengan perbedaan hanya satu huruf—yang juga populer di seputar pergantian tahun. Itulah dia "resolusi", atau ketetapan hati (untuk melaksanakan satu atau sederet hal).
Tentang resolusi, dari tahun ke tahun, manusia demikian kreatif menyusunnya—lazimnya untuk perbaikan dalam kesehatan, karier, keuangan, hubungan kekeluargaan dan persahabatan, dan roman. Apakah resolusi tersebut dilaksanakan atau tidak, ini soal lain.
Yang juga menarik, di antara resolusi yang terkirim melalui pesan pendek SMS, ada juga yang mengambil metafora benda langit, khususnya bintang, Matahari, dan Bulan. Ada yang berharap pada tahun 2008 kenalannya bisa jadi terang seperti Matahari.
Perjalanan Bumi
Selepas 1 Januari, manusia pun kembali rutin menyusuri hari demi hari, hingga akhir nanti, yang lebih kurang seabad. Sementara Bumi masih akan setia menyusuri hari demi hari mengelilingi Matahari, dalam revolusi yang sudah berlangsung selama 4,5 miliar tahun dan masih akan berlangsung 4,5 miliar tahun lagi.
Selepas tanggal 1 Januari ini, kira-kira pada pekan pertama tahun, Bumi akan mencapai titik perihelium—titik terdekat dengan Matahari—di mana jarak Bumi dari Matahari adalah 147.072.376 kilometer.
Oleh revolusi Bumi, juga karena sumbu Bumi miring 23,5 derajat terhadap bidang orbit mengelilingi Matahari, Matahari seolah bergerak ke utara. Pertama, Matahari akan terlebih dulu mencapai ekuator pada tanggal 21 Maret. Pada titik yang disebut Ekuinoks ini, musim semi pun dimulai untuk belahan bumi utara, sementara di belahan bumi selatan dimulai musim gugur. Titik ini juga disebut dengan Ekuinoks Maret, Ekuinoks Musim Semi.
Selanjutnya, Matahari akan mencapai Garis Balik Utara (Solstitium) pada tanggal 21 Juni, saat yang juga dikenal sebagai Solstitium Musim Dingin untuk belahan bumi selatan. Setelah tiga bulan memberi musim panas di belahan bumi utara, Matahari bergerak kembali ke selatan, dan mencapai Ekuinoks Musim Gugur pada tanggal 22 September. Sekitar 2-6 Juli, Bumi akan mencapai titik terjauh dari Matahari atau Aphelium, yaitu pada jarak 152.060.540 kilometer.
Dari situ, perjalanan Sang Surya pun berlanjut ke selatan dan mencapai Solstitium Musim Panas pada tanggal 22 Desember. Pada tanggal inilah hari paling pendek bagi belahan bumi utara, dan terpanjang bagi belahan bumi selatan.
Demikianlah siklus tahunan yang terjadi bagi Bumi yang disebabkan oleh pergerakannya mengelilingi Matahari. Dalam siklus yang menghasilkan musim dan cuaca yang berganti-ganti itu terpola kegiatan manusia dan juga flora dan fauna.
Oleh sifatnya yang rutin, siklus tersebut bisa dikatakan telah diterima apa adanya dan jarang merambah alam kesadaran. Manusia lebih akrab dengan perubahan waktu dan musim sebagaimana tercetak pada kalender.
Tidak terasa memang bahwa manusia dan kehidupan lain di dunia sedang menaiki kapal angkasa bernama Bumi yang melaju sepanjang tahun mengelilingi Matahari dengan kecepatan 107.275 kilometer per jam!
Di luar revolusi Bumi mengelilingi Matahari, sebenarnya ada gerakan lain yang lebih subtil dan lebih tidak terasa. Matahari, bersama Bumi dan planet-planet lain, mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 250 kilometer per detik. Para astronom mengamati bahwa tata surya kini sedang bergerak menuju Konstelasi Lyra. Matahari dan planet-planetnya akan menggenapi revolusi mengelilingi pusat Galaksi dalam tempo 200 juta-250 juta tahun. Sungguh kurun yang teramat panjang untuk ukuran manusia.
Kalau kemakmuran bisa ditingkatkan melalui pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan iptek yang cerdas, kesempatan untuk memelihara kelangsungan umat manusia di Bumi itu terbuka lebar.
Sebaliknya, kalau dalam setiap resolusi tahunan manusia tidak sedikit pun terdapat tekad untuk menyongsong masa depan, maka benih kepunahan itu telah disemaikan sejak sekarang.
Harapan yang disampaikan oleh sahabat agar 12 bulan di tahun ini berisikan kebahagiaan, 52 minggunya merupakan sukacita, 365 harinya penuh tawa ria, 8.760 jamnya merupakan keberuntungan, dan 525.600 menitnya merupakan sukses, sungguh amat sadar tentang dimensi waktu.
Harapan itu sah saja. Namun, pada sisi lain, setiap elemen waktu yang disebutkan di atas juga punya makna sendiri. Mungkin saja hitungan menit, jam, hari, bulan, dan tahun untuk revolusi Bumi yang sudah 4,5 miliar tahun tak banyak artinya (insignifikan). Tetapi tiba-tiba saja Bumi terasa makin panas, dan cuaca ekstrem sudah jadi realitas di depan mata.
Dalam perspektif itulah "resolusi dalam (konteks) revolusi" bisa dilihat sebagai satu agenda dalam penetapan prioritas untuk masa depan untuk ras manusia dan kehidupan lainnya.
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0801/02/utama/4114727.htm
Langganan:
Postingan (Atom)