Pertanyaan di atas perlu didiskusikan lebih lanjut, mengingat perbedaan perayaan Idul Fitri acapkali menjadi kontroversi di negeri ini ketika menjelang hari raya Idul Fitri tiba. Berbeda dengan tahun sebelumnya, ritual Idul Fitri kali ini memiliki nuansa perbedaan yang cukup mencolok. Pasalnya, organisasi keagamaan Islam terbesar seperti NU dan Muhammadiyah serta pemerintah nampaknya berbeda dalam penetapan pelaksanaan Idul Fitri bagi umat muslimin, khususnya di Indonesia. Sebetulnya, kita cukup mafhum bahwa perbedaan tersebut sering terjadi dan kebanyakan lebih ditengarai oleh perbedaan cara (kaifiyat) penetapan hari raya Idul Fitri ketimbang faktor lainnya. Meskipun juga tidak sedikit yang mengaitkan perbedaan waktu perayaan lebaran terkadang akibat politisasi elit politik tertentu yang tidak senang bersatunya organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah. Asumsi di atas, memang belum juga seratus persen benar, akan tetapi banyak pihak saya kira ada yang sependapat dengan pandangan semacam ini.
Sebagaimana kita ketahui, cara penentuan hari lebaran bagi warga NU selama ini menggunakan metode ru'yat (melihat hilal), sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab (hitungan). Di mana kedua metode tersebut intinya adalah hendak mengetahui kapan waktu yang tepat dalam menyelesaikan ibadah puasa sekaligus merayakan hari kemenangan, Idul Fitri.
Cuma muncul sebuah persoalan serius ketika perbedaan tersebut manakala selalu “dipelintir� demi kepentingan tertentu. Padahal, perbedaan dalam khazanah Islam merupakan rahmat. Dan bukankah di tengah-tengah kehidupan bernegara Pancasila yang menjunjung nilai-nilai demokrasi dan multikulturalisme, menjadi sesuatu yang wajar kalau terjadi perbedaan pendapat di kalangan umat dan ulama’, tentu tak terkecuali perbedaan pendapat dalam hal penetapan hari raya Idul Fitri.
Dalam konteks di atas, maka menjalin kebersamaan dalam perbedaan menjadi proyek penting yang perlu selalu diusahakan semua pihak, utamanya elit agamawan. Bagi pemerintah, seharusnya memposisikan diri sebagai koordinator ketimbang instruktur. Sebab, ketika pemerintah ikut campur mengintruksi lebih dalam maka akibatnya bisa fatal. Bayangkan saja, ketika agama selalu dicampuri pemerintah, akan tetapi situasi akan berbeda ketika pemerintah memposisikan sebagai koordinatif dari semua pihak dalam upaya menentukan kapan sebaiknya hari-hari besar dilaksanakan.
Sayangnya, pemerintah seringkali kurang adil dalam urusan-urusan semacam ini. Akibatnya, umat Islam secara umum menjadi korban kebingungan. Maksudnya, umat harus ikut pihak yang mana? Pertanyaan sederhana ini tidak seharusnya disederhanakan begitu saja sebab bisa jadi berubah menjadi malapetaka konflik sosial agama akibat perbedaan mazhab atau lainnya itu.
Dalam konteks semacam ini, menjadikan perbedaan bukan sebagai penghalang untuk menjalin kebersamaan menjadi signifikan. Dengan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri tanpa harus bersama-sama waktunya, maka hal itu jauh lebih indah dan lebih semerbak dibandingkan dengan adanya politisasi perbedaan perayaan Idul Fitri antara PP Muhammadiyah yang jatuh pada hari jumat, 12 Oktober 2007, dengan NU dan pemerintah Republik Indonesia yang menetapkan 1 Syawal 1428 jatuh pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007, dengan alasan saat matahari terbenam tinggi hilal 0 derajat 10’52�, yang tidak mungkin terlihat oleh mata telanjang, maka ditetapkan pada tanggal tersebut (Ahmad Rofiq, 2007).
Lebih dari itu, marilah kita berijtihad menegakkan kebersamaan merayakan hari raya Idul Fitri, yakni dengan cara saling menerima pendapat orang lain, tidak mempersalahkan pendapat orang lain, saling memahami, toleransi, dan masih banyak lagi cara lainnya yang bisa menumbuhkan nuansa damai seperti yang tersirat dalam perayaan Idul Fitri.
Pertama, mengkaji ulang sistem kalenderisasi. Langkah ini penting diambil sebab kalenderisasi Islam, khususnya di Indonesia nampak kurang terkoordinatif dengan baik. Masing-masing organisasi Islam mengambil inisiatif sendiri dalam merumuskan program tersebut. Karenanya, penting mendialogkan kembali dalam rangka menekan konflik akibat perbedaan pendapat dan ideologi.
Bagi Samuel P. Huntington (1999), era saat ini banyak pihak akan diperhadapkan dengan beragam masalah benturan antar ideologi dan peradaban (the clash of ideology and civilization). Indonesia sebagaimana kita ketahui adalah negeri yang kaya perbedaan peradaban, agama, ideologi dan adat isti adat. Manakala kekayaan keragaman tersebut tidak dikelola dengan apik maka benturan yang berujung kekerasan dan darah akan dijumpai di mana-mana. Tentu kita semua tidak berharap semua peristiwa itu terjadi.
Kedua, penciptaan perdamaian (peacebuilding process). Moment perayaan Idul Fitri acapkali dijadikan peristiwa biasa-biasa saja, padahal bagi hemat penulis, perayaan ini bisa digunakan sebagai perayaan perdamaian ketimbang perayaan perbedaan itu sendiri. Artinya, mewujudkan perdamaian lewat Idul Fitri menjadi penting dengan cara merumuskan strategi menjalin kebersamaan, toleransi dan kedamaian itu sendiri.
Last but not least, usaha dan upaya di atas nampaknya tidak mungkin terwujud manakala tidak ada political will (kemauan) di antara semua pihak. Karenanya, pemerintah, rakyat, pejabat, insan pers dan lainnya perlu bersatu padu mendukung terciptanya perdamaian di setiap perayaan hari besar keagamaan. Kerinduan akan terjadinya perayaan Idul Fitri secara bersamaan tentu tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak menukung upaya penegakan perdamaian dan keadilan sosial di negeri ini. Semoga.***
Oleh: Agustina Nur Indah Sari
Penulis adalah mahasiswi semester III Jurusan Kependidikan Islam (KI) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, peneliti LKAS Surabaya. Email: agustina.sari@yahoo.com
Sumber: Radar Surabaya, 11 Oktober 2007
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Rabu, 31 Oktober 2007
Socio-religious meaning of the Idul Fitri exodus
Choirul Mahfud, Surabaya
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
The fasting month of Ramadhan will soon be over, and Muslims the world over are reflecting on the values of their religion as they prepare to celebrate Idul Fitri, which is known as Lebaran in Indonesia. Lebaran is a unique phenomenon whereby Muslims visit their family and friends to ask for forgiveness for any wrongs they might have committed in the previous year. Traditional foods are served, family and friends gather to ask for forgiveness and exchange greetings, new clothing is worn, children receive gifts and visits are made to recreational parks -- all to celebrate the end of the fasting month.
Another feature of Lebaran is mudik, or the annual return to one's hometown. While Islam does not explicitly recommend mudik, it encourages people to come together, love and forgive one another.
Mudik is an annual tradition inseparable from life in Indonesian communities. People who leave home to seek their fortunes in the big smoke usually return home only on the Idul Fitri holiday, where they visit their ancestors' graves and pray to the spirits of the deceased.
Mudik is also a kind of therapy, as it serves to revitalize family relationships. In its spiritual aspect, it generates a new vitality, which gives migrants new vigor to return to their work in the big cities.
People who work in big cities far from their homes often feel something is lacking in their lives; and this "lost something" can be rediscovered when they return home. Mudik is therefore both an annual tradition and a remedial "side effect" or therapy for the sense of loss an urban life creates.
In this context, mudik and Idul Fitri are great opportunities for people to reaffirm the importance of family and brotherhood. Islam reserves a special place for family relationships. Marriage remains a sacred ritual and social event. At a time when marriage as an institution has lost much of its credibility in many parts of the world, Muslims still maintain marriage is the only path to God's blessing through human relationships. And Idul Fitri provides an opportunity for Muslims to be together with family members (see Muhamad Ali, 2006).
Idul Fitri's religious meaning also changes according to personalities and circumstances. Religiosity is a difficult dimension to observe and measure. Some scholars suggest religiosity has several dimensions: experiential, ideological, intellectual, ritualistic and consequential. From my observations, Idul Fitri is more about the experiential, ritualistic and consequential rather than the ideological and intellectual dimensions.
The experiential dimension refers to the degree and intensity of a person's experience with God. The experiential dimension also points to one's encounter with other Muslims, such as on the morning of Idul Fitri when Muslims gather in mosques or open fields to pray together, recite takbir (Allah is the Greatest), tahmid (Praise be to Allah), tahlil (God is the only One and Muhammad is the Messenger of Allah) and tasbih (everyone and everything in the universe recognizes Allah's independence of any shortcomings).
Ritualistic dimensions refer to institutional or organized practices of religion, such as Koran recitals, the wearing or carrying of religious charms or observing religious holidays. Idul Fitri is carried out mostly ritualistically, since it has become standardized with certain rules and guidelines. From the fasting month to Idul Fitri, ritualistic dimensions are largely apparent and most Muslims seem to try to obey these ritualistic dimensions, which have been largely standardized through jurisprudential and legal scholarship.
Muhamad Ali (2006) said the ritualistic part of fasting and Idul Fitri is a product of early, but also medieval, Muslim scholars. And the majority of Muslims today are conservative, in the sense they simply follow fasting and Idul Fitri rules without questioning them too much.
For Muslims in Indonesia, the ritualistic and legalistic aspects of fasting and Idul Fitri follow the Sunni theological and Shafiite schools of thought. World religions stress the importance of ritual, but there is a danger of ritualism if religion simply means ritual and nothing more or implied in terms of personal and public virtues.
Ritualism is a belief or a situation in which a believer merely follows the "how" (or ritual) of the religion without understanding the "why". It is in this context that many Muslims have shown a lack of conformity (between ritual and good social and public dimensions).
In particular, there is a lack of conformity between rituals and the general condition of Muslims in terms of education and prosperity. Blind ritualism can lead to corruption, underdevelopment, illiteracy, violence, social injustices and other unresolved social problems. So, the consequential dimension lies in the consequences Islam has for the individual in a variety of areas.
Muslims might correctly perform their rituals during the year, yet these rituals may have little impact and consequence on their everyday lives in terms of good human relationships. We have seen how religion reflects society and how individuals draw on religion in a variety of ways to add meaning to their lives.
There are hypocrites, sinners, sincerely faithful people, committed people and so forth. But Muslims today are trying to seek meaning through their religion. The fasting month and Idul Fitri are a special time for those in search of that meaning -- I sincerely hope they find it.
Happy Idul Fitri!
The writer is a lecturer of Islamic and Western philosophy at Muhammadiyah University in Surabaya. He can be contacted at mahfudjatim@yahoo.com
Source: http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071010.E02
Senin, 22 Oktober 2007
Mencari Model Rekonsiliasi Aceh
Sebuah pernyataan dari seorang ulama di Aceh menyebutkan, ide Pengadilan HAM dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebenarnya tidak sesuai dengan semangat Islam. Menurut ulama itu, Islam menekankan islah, berdamai dengan memaafkan. Mengungkit masa lalu, apalagi yang tidak jelas, akan melahirkan konflik dan memberi mudharat (kesengsaraan) dibandingkan dengan maslahah mursalah (manfaat sosial). Sontak ide ini memicu polemik, terutama dari kelompok kontra, seperti aktivis prodemokratisasi dan HAM. Benarkah rekonsiliasi dianggap bukan jalan yang islami?
Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.
Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.
Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.
Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.
Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.
Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).
Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?
Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?
Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.
Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm
Antropologi kecemasan
Pernyataan itu, tidak secara sederhana dibaca sebagai sikap promiliterisme, tetapi lebih sebagai sikap yang terlalu hati-hati atas situasi antropologis Aceh. Setelah konflik 30 tahun terhenti oleh kesepakatan damai, masyarakat dianggap belum siap membicarakan ide sensitif itu.
Tahapan perdamaian yang dipungkasi pilkada tahun lalu dianggap lebih dari cukup. Padahal ide rekonsiliasi, selain eksplisit ada di nota kesepahaman Helsinki, juga memiliki arti lebih bagi proses demokratisasi dan perdamaian Aceh.
Perdamaian bukan "kata benda" yang selalu merujuk hasil dan dampak, tetapi merupakan proses dan dialektika yang selalu menuntut kerja keras agar bertahan kebugarannya. Perdamaian yang tidak aktif dipertahankan, akan kembali mengarah regresi, godaan untuk kembali berkonflik, dan involusi: perdamaian yang berjalan di tempat.
Perdamaian yang mengabaikan dimensi rekonsiliasi (dan peradilan HAM termasuk paket di dalamnya) sama dengan perdamaian formal yang belum menyentuh substansi. Proses deformasi perdamaian menuju tahap pelibatan seluruh potensi masyarakat adalah model rekonsiliasi untuk membangun Aceh dan nasional dengan sejarah yang lebih maju. Sisi lain rekonsiliasi, yaitu reunifikasi faksi masyarakat (bukan hanya pihak yang bertikai), juga penting dipikirkan, agar luka benar-benar bersih.
Mengingat yang benar
Gagasan rekonsiliasi terlalu dini dicurigai sebagai upaya mengungkit hal-hal yang tidak perlu atau membesarkan masalah yang masih "misterius" pada konflik Aceh masa lalu. Ide rekonsiliasi selalu dinilai negatif sebagai hanya menjadi agenda global dibandingkan tuntutan riil lokal.
Gagasan ini kian kekurangan nyali karena secara legal payung hukum untuk menjustifikasi mulai lunglai, sejak UU No 27/2004 yang mengatur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pembatalan beralasan bahwa UU KKR dianggap tidak mewakili asas keadilan dan penghargaan kepada korban. Ditambah lagi, tidak ada pengalaman yang dapat dijadikan rujukan rekonsiliasi ideal yang secara instan bisa digunakan.
Model Afrika Selatan terbentuk di atas meja kompromi pragmatis antara pribumi dan rezim apartheid. Model Timor Leste mensyaratkan pemaafan dengan semangat secepatnya melupakan (to forgive and forget at once). Timor Leste mempertimbangkan perasaan Indonesia sebagai aktor merajalelanya konflik dan penderitaan di bekas koloni Portugal itu. Model Rwanda mirip kompleksitas konflik Indonesia 1965-1966, saat ada sentimen menyejarah dan saling bantai antara suku Hutu dan Tutsi.
Model rekonsiliasi Aceh adalah semangat baru dalam bentuk dan proses. Jangan dilupakan, rekonsiliasi sebenarnya bukan sekadar jalan menuju proses maaf-memaafkan, tetapi, lebih jauh, penggeledahan tentang masa lalu untuk mengetahui kebenaran (seeking the truth of the past time).
Akar konflik
Benarkah inti konflik Aceh adalah GAM atau antropologi pemberontakan masyarakat Aceh sejak masa DI/TII? Atau, akar konflik aceh sebenarnya terkait dengan libido ekonomi global di daerah kaya tambang ini?
Pemberontakan hanya menjadi catatan kaki dan Hasan Tiro hanya figur antara yang mudah distigmatisasi, seperti Tan Malaka, Muso, atau Amir Syarifuddin dalam sejarah pemberontakan Indonesia? Atau sebenarnya ada banyak agenda besar yang lebih terpusat pada perilaku Jakarta dibandingkan dengan Aceh?
Model untuk merajut sejarah masa lalu adalah prinsip utama rekonsiliasi. Politik mengingat lebih penting daripada gairah menghukum, membalas dendam, atau memaafkan. Proses rekonsiliasi akan menilai apakah pihak bertikai mau mengingat dan bersaksi atas perilaku masa lalu?
Dalam konflik yang telah berkembang sebagai problem sosial, rekonsiliasi adalah jalan damai dengan mengenang (to forgive and remember). Tidak ada sesuatu yang patut dimaafkan dengan lupa karena tak mungkin memaafkan sesuatu yang tidak diingat.
Terakhir, yang juga penting dipertimbangkan dalam rekonsiliasi Aceh, tidak hanya menubuhkan pihak yang bertikai, tetapi juga pihak lain yang tidak tersangkut tetapi terseret. Merekalah para korban. Sebagian dari korban masih bisa bersaksi (survivor). Mereka tubuh yang harus bersuara atas ketimpangan dan kesunyian di masa lalu.
Teuku Kemal Fasya Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/23/opini/3930377.htm
Post-dogmatic Indonesia
Ahmad Amir Aziz, Mataram
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Muslims here and around the world have just celebrated Idul Fitri to mark the end of Ramadhan - the holiest month in the Islamic year. Through fasting, contemplation and charity, Muslims renew their commitment to honesty, piety and integrity. They should have asked themselves what they achieved and changed as they completed their month of fasting. Unfortunately, many Muslims look to have passed this ritual without achieving significant change. Their behavior, attitude and outlook remains the same, regardless of whether or not they fasted. Fasting has had no impact on many people, meaning that to some, religiosity stops at the dogmatic level.
However, we must say that Ramadhan does offer Muslims a great opportunity to improve their character. This attitude is taken by those who really care for Islamic values in a social sense, those who like thinking about and sympathizing with others, those who like helping others and those who emphasize their relationship with other human beings (hablum minan naas).
The Koran sees social welfare as a basic value in a sane and peaceful human society and refers to working toward overcoming human problems. It inspires Muslims to relate their taqwa to social realities, and to love fellow human beings who should be treated as part of an extended human family.
However, among Muslims tolerance seems to be sometimes lacking. One such example is a case in which a group of Lombok residents were driven from their homes because they belonged to what was considered a heretical sect by Islamic authorities.
It is important to note that today we live in a post-religion era in which religion has become merely a sub-culture that sometimes moves us ahead and sometimes drags us back. It has been displaced by more powerful strengths, like secularism and globalization.
Religion in the modern world should be based on an awareness of the importance of finding a balance between science, human rights and faith, rather than only seeing the differences between them. We hope many religious leaders in the country are working to facilitate democracy, peace, freedom of religion and other human rights.
Put simply, religion is peace and peace is religion. Without peace there is no religion. Likewise, without religion there is no peace.
Religious communities need to produce something very substantial, which will prove helpful in the construction of a peaceful world. This is possible, as all religions have the same vision when it comes to peace. Anyone who has studied Hinduism will agree that Hinduism is a philosophy of peace. Some scholars, such as Arnold Toynbee, have pointed out that the concept of Hinduism itself generates a spirit of mutual coexistence.
Buddhists also believe in non-violence, saying that, "the killing of a sensation is sin and to save a sensation is virtue". This means that according to Buddhism, violence is not simply bad in the moral sense, but a sin which is even worse than bad behavior.
Christianity is also a religion of peace. This is one of the reasons the religion has gained such great popularity around the world, with the largest number of followers out of all religions. As we know, Jesus Christ once said, "I tell you not to resist an evil person. Whoever slaps you on your right cheek, turn the other to him also".
Islam is a religion of peace too. Even its name connotes peace. The root word of Islam is "silm", which in Arabic means peace. One of God's names is Salam, which means peace. The Prophet of Islam is described as Rahamah, another name for peace. According to the Koran, paradise is a divine haven of peace. It is only those who have proven to be peacemakers in this world who will be allowed to enter God's Paradise.
All religions condemn violence. We believe violence has no place in society.
Dialog has become a tool to foster better understanding between different faiths and to promote a peaceful coexistence. Dialog is important to understand what it means to believe in a particular religious tradition and to understand the beliefs of others. With dialog, religious communities can join together to overcome social problems.
They may eventually understand that humanitarian activities are equal to, or perhaps even more important than, the vertical dimension of ritual. We hope in a post-dogmatic society, members of all religious communities will seek a mutual understanding of peace in the country.
The writer is a lecturer at the State Institute for Islamic Studies (IAIN) in Mataram, West Nusa Tenggara.
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20071019.E03
Selasa, 09 Oktober 2007
Tradisi Mudik dan Pesan Puasa
Tanpa terasa ibadah puasa ramadan tahun 1428 hijriah akan segera berakhir. Salah satu pengalaman yang barangkali sangat penting dan terasa begitu mendalam bagi orang yang berpuasa adalah perasaan senantiasa dekat dengan Allah. Hal ini setidaknya tercermin dari keseluruhan aktivitas kita selama Ramadan. Semua waktu dimanfaatkan untuk beribadah.Dalam perspektif ajaran Islam, perasaan dekat dengan Allah itu disebut dengan muraqabah. Merasa dekat dengan Allah itulah sesungguhnya esensi makna dari nilai-nilai ketaqwaan yang menjadi tujuan orang berpuasa (QS. Al-Baqarah: 183). Puasa telah mengajarkan kepada kita mengenai makna kehadiran Allah dalam hidup ini. Melalui ibadah puasa itulah Allah benar-benar bersifat hadir (omnipresent). Dengan cara pandang seperti ini orang yang berpuasa mampu menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan atau merusak ibadah puasa.
Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman. Menurut perkiraan Dinas Perhubungan Jawa Timur, kepadatan arus mudik lebaran akan terasa sejak 7-11 Oktober 2007. Pada saat itulah jasa angkutan darat, laut, dan udara menjadi semakin sibuk. Demikian juga dengan berbagai jasa angkutan mudik gratis di metropolis.
Uniknya, tradisi mudik Lebaran telah menjadi ritual bagi semua orang, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturrahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bahkan di antara mereka ada yang ingin nyekar ke anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Semua motivasi yang menyertai tradisi mudik ini dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Karena didorong berbagai motivasi tersebut, biasanya pemudik rela mengeluarkan biaya yang banyak, bersusah payah, berdesak-desakan, dan bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri. Fenomena ini dapat diamati ketika mereka harus antri dan berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, serta terminal bus dan kereta api. Bahkan tidak sedikit pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan berboncengan bersama anggota keluargan dan barang bawaannya. Semua ini dilakukan agar mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri.
Jika diamati, ternyata tradisi mudik memiliki sumbangan yang sangat besar untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab para pemudik biasanya datang dengan membawa hasil jerih payah selama bekerja di perantauan berupa uang dan barang-barang dalam jumlah relatif banyak. Mereka yang datang dengan berbagai profesi biasanya membagi-bagikan oleh-oleh kepada sanak keluarga dan tetangga terdekat. Melalui tradisi ini sesungguhnya para pemudik telah mengajarkan kepada kita cara berbagi kebahagiaan dengan sesama untuk merayakan hari kemenangan. Mereka tampak menyadari makna puasa Ramadan dan berhari raya Idul fitri. Maka pada konteks inilah mudik Lebaran jelas memiliki makna sosial, ekonomi, dan spiritual yang sangat penting.
Melalui tradisi ini, para pemudik berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama melalui jalinan silaturahmi dan budaya saling mengunjungi. Sementara makna ekonomi dari mudik Lebaran dapat diamati melalui tradisi untuk membawa hasil kerja selama di perantauan sehingga dapat mempengaruhi dinamika gerak perekonomian di desa. Jika para TKI dan TKW, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang asongan, pegawai, dan pejabat publik, melaksanakan mudik Lebaran, maka dapat dipastikan akan ada perputaran uang dan barang-barang baru dalam jumlah yang sangat banyak di pedesaan. Hal ini jelas dapat menumbuhkan gairah perekonomian di desa.
Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistika (BPS), dikatakan bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur untuk periode Maret 2007 mencapai 7,138 juta jiwa (18,93 persen Sementara jumlah pengangguran mencapai 1,082 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar ternyata berada di pedesaan (21,33 persen dan sisanya berada di perkotaan (15,78 persen). Maka berkaitan dengan ritual mudik lebaran tersebut, keberadaan para pemudik dengan semua barang bawaannya jelas sangat menguntungkan penduduk miskin di pedesaan. Mereka akan turut menikmati kehadiran para pemudik. Apalagi semangat yang diusung para pemudik adalah berbagi dengan sesama.
Mudik dan Pesan Puasa
Makna mudik secara spiritual ternyata dapat ditemukan dalam Alquran. Tentu saja, pengertian mudik yang dimaksudkan adalah makna metaforis. Tradisi mudik dalam Alquran dapat diartikan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Karena hanya dengan cara inilah kita akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika dalam tradisi mudik Lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih. Derajat ketaqwaan sebagai hasil ibadah puasa dapat merupakan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.
Berkaitan dengan tradisi mudik, menurut saya budaya yang harus dihindari adalah konsumeris. Peringatan ini layak dikemukakan, sebab budaya konsumeris biasanya sangat melekat dengan perayaan idul fitri dan even-even lain seperti tahun baru dan hari natal. Membeli barang secara berlebihan apalagi di luar kebutuhan utama (basic need) atau sekedar untuk pamer dan berfoya-foya, jelas merupakan sikap yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dapat digali dari pelaksanaan ibadah puasa. Bukankah salah satu misi ibadah puasa itu adalah untuk membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Ibadah puasa juga bertujuan membangun kesalehan sosial. Karena itu, upaya penyadaran masyarakat agar tidak berperilaku komsumtif perlu dilakukan. (mr_abien@yahoo.com)
By: Biyanto, Ketua Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307342
Seiring dengan akan berakhirnya Ramadan, mereka yang sedang berada di daerah perantauan biasanya mulai disibukkan berbagai persiapan untuk mudik Lebaran ke kampung halaman. Menurut perkiraan Dinas Perhubungan Jawa Timur, kepadatan arus mudik lebaran akan terasa sejak 7-11 Oktober 2007. Pada saat itulah jasa angkutan darat, laut, dan udara menjadi semakin sibuk. Demikian juga dengan berbagai jasa angkutan mudik gratis di metropolis.
Uniknya, tradisi mudik Lebaran telah menjadi ritual bagi semua orang, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin. Berbagai motivasi turut menyertai peserta mudik lebaran, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orang tua, silaturrahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan dengan sesama. Bahkan di antara mereka ada yang ingin nyekar ke anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Semua motivasi yang menyertai tradisi mudik ini dapat dipandang sebagai bentuk kearifan lokal (local wisdom) yang telah tumbuh di tengah-tengah masyarakat.
Karena didorong berbagai motivasi tersebut, biasanya pemudik rela mengeluarkan biaya yang banyak, bersusah payah, berdesak-desakan, dan bahkan terkadang tidak mempedulikan keselamatan diri. Fenomena ini dapat diamati ketika mereka harus antri dan berdesak-desakan di bandara, pelabuhan, serta terminal bus dan kereta api. Bahkan tidak sedikit pemudik yang mengendarai sepeda motor dengan berboncengan bersama anggota keluargan dan barang bawaannya. Semua ini dilakukan agar mereka dapat berkumpul kembali dengan keluarga di kampung halaman. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengomentari tradisi mudik sebagai fenomena khas dan unik yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri.
Jika diamati, ternyata tradisi mudik memiliki sumbangan yang sangat besar untuk menggerakkan perekonomian di pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi, sebab para pemudik biasanya datang dengan membawa hasil jerih payah selama bekerja di perantauan berupa uang dan barang-barang dalam jumlah relatif banyak. Mereka yang datang dengan berbagai profesi biasanya membagi-bagikan oleh-oleh kepada sanak keluarga dan tetangga terdekat. Melalui tradisi ini sesungguhnya para pemudik telah mengajarkan kepada kita cara berbagi kebahagiaan dengan sesama untuk merayakan hari kemenangan. Mereka tampak menyadari makna puasa Ramadan dan berhari raya Idul fitri. Maka pada konteks inilah mudik Lebaran jelas memiliki makna sosial, ekonomi, dan spiritual yang sangat penting.
Melalui tradisi ini, para pemudik berupaya mempererat hubungan kekeluargaan di antara sesama melalui jalinan silaturahmi dan budaya saling mengunjungi. Sementara makna ekonomi dari mudik Lebaran dapat diamati melalui tradisi untuk membawa hasil kerja selama di perantauan sehingga dapat mempengaruhi dinamika gerak perekonomian di desa. Jika para TKI dan TKW, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, pedagang asongan, pegawai, dan pejabat publik, melaksanakan mudik Lebaran, maka dapat dipastikan akan ada perputaran uang dan barang-barang baru dalam jumlah yang sangat banyak di pedesaan. Hal ini jelas dapat menumbuhkan gairah perekonomian di desa.
Merujuk pada data dari Badan Pusat Statistika (BPS), dikatakan bahwa angka kemiskinan di Jawa Timur untuk periode Maret 2007 mencapai 7,138 juta jiwa (18,93 persen Sementara jumlah pengangguran mencapai 1,082 juta jiwa. Dari jumlah penduduk miskin tersebut, sebagian besar ternyata berada di pedesaan (21,33 persen dan sisanya berada di perkotaan (15,78 persen). Maka berkaitan dengan ritual mudik lebaran tersebut, keberadaan para pemudik dengan semua barang bawaannya jelas sangat menguntungkan penduduk miskin di pedesaan. Mereka akan turut menikmati kehadiran para pemudik. Apalagi semangat yang diusung para pemudik adalah berbagi dengan sesama.
Mudik dan Pesan Puasa
Makna mudik secara spiritual ternyata dapat ditemukan dalam Alquran. Tentu saja, pengertian mudik yang dimaksudkan adalah makna metaforis. Tradisi mudik dalam Alquran dapat diartikan dengan kembali kepada ampunan Allah. Dalam hal ini, Allah berfirman; Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. Ali Imran/133). Firman Allah tersebut berbicara mengenai perintah agar kita segera "mudik" dengan cara kembali kepada ampunan Tuhan. Karena hanya dengan cara inilah kita akan memperoleh kenikmatan dan kebahagiaan berupa surga yang memang diperuntukkan bagi orang-orang yang bertaqwa. Jika dalam tradisi mudik Lebaran kita harus mempersiapkan bekal yang begitu banyak, maka untuk kembali kepada Allah jelas dibutuhkan bekal yang lebih. Derajat ketaqwaan sebagai hasil ibadah puasa dapat merupakan bekal yang sangat berharga untuk kembali kepada Allah.
Berkaitan dengan tradisi mudik, menurut saya budaya yang harus dihindari adalah konsumeris. Peringatan ini layak dikemukakan, sebab budaya konsumeris biasanya sangat melekat dengan perayaan idul fitri dan even-even lain seperti tahun baru dan hari natal. Membeli barang secara berlebihan apalagi di luar kebutuhan utama (basic need) atau sekedar untuk pamer dan berfoya-foya, jelas merupakan sikap yang kontradiktif dengan nilai-nilai yang dapat digali dari pelaksanaan ibadah puasa. Bukankah salah satu misi ibadah puasa itu adalah untuk membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat miskin. Ibadah puasa juga bertujuan membangun kesalehan sosial. Karena itu, upaya penyadaran masyarakat agar tidak berperilaku komsumtif perlu dilakukan. (mr_abien@yahoo.com)
By: Biyanto, Ketua Prodi Politik Islam Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=307342
Agama dan Moralitas Publik
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32). Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"
Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.
Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.
Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.
Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).
Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.
Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?
Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.
Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.
Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!
"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misal- nya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?
Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/10/opini/3882032.htm
"The ideal is an ideal given by tradition" (Edward Shils, Tradition, 1980:32). Pada sebuah seminar di Surabaya tahun 2003, almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkap kegalauannya di seputar tidak berimbasnya ajaran agama bagi perbaikan kualitas kehidupan umat di ranah publik. Dikatakan dengan nada gundah, "jangan dikira Tuhan tidak marah ketika kita melanggar rambu-rambu lalu lintas!"
Mendengar ungkapan itu, saya mengernyitkan dahi sambil bergumam dalam hati, bagaimana mungkin Cak Nur mengetahui Tuhan bakal marah atas perilaku kita yang tidak tertib dan tidak taat hukum? Dari mana dia mengambil kesimpulan itu? Bukankah ketertiban, kedisiplinan, dan ketaatan kita terhadap peraturan publik merupakan refleksi keinginan manusia untuk maju, dan tidak tidak ada sangkut pautnya dengan peran Tuhan atau agama? Kalau ingin maju, ya, maju saja, "mengapa harus membawa-bawa agama segala?", protes saya dalam hati.
Tesis kaum esensialis
Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial-politik, Cak Nur mungkin tergolong seorang esensialis yang memandang maju-mundurnya kualitas sebuah peradaban ditentukan oleh hadir-absennya nilai-nilai etik agama dalam ranah publik.
Dengan kegalauannya itu, Cak Nur secara sadar sedang meratapi absennya etos publik agama-agama sehingga masyarakat kita kurang menghargai nilai-nilai keadaban.
Argumentasi kaum esensialis berangkat dari dialektika kausalitas-resiprokal antara kesadaran beragama sebagai sesuatu yang laten dan peradaban sebagai sesuatu yang manifes.
Secara genealogis, keberadaan mazhab esensialisme diinspirasi oleh konstruk teoretis Weberian yang mengasumsikan budaya berbasis agama (religion-based culture) sebagai roh penting bagi sebuah peradaban. Kenyataan bahwa iklim demokrasi dapat tumbuh subur pada peradaban yang berbasis Protestan, misalnya, karena agama tersebut secara esensial tidak memusuhi prinsip-prinsip demokrasi.
Dalam pandangan mazhab ini, kesadaran keberagamaan dan sistem keyakinan mengerangkai struktur terdalam kesadaran masyarakatnya yang menyediakan cetak biru bagi pola pikir dan perilaku masyarakat itu turun-temurun.
Belakangan, tesis esensialis Weberian diafirmasi sejumlah ilmuwan kontemporer seperti Edward Shils, Samuel P Huntington (melalui "benturan peradaban"), dan Francis Fukuyama (melalui tesis supremasi demokrasi liberal atas alternatif ideologis lainnya).
Memperkuat konstruk teoretis kaum esensialis ini, Pippa Norris dan Ronald Inglehart (2003:64) menyatakan, "Culture does matter—indeed, it matters a lot. Historical religious traditions have left an enduring imprint on contemporary values". Artinya, budaya merupakan unit otonom yang menentukan hitam-putihnya kualitas sebuah peradaban. Dan, di balik entitas budaya ada system of beliefs yang salah satunya diilhami oleh agama.
Menolak esensialisme
Menggelitik untuk dipertanyakan secara kritis, betulkah rendahnya kualitas keadaban publik yang ditengarai Cak Nur disebabkan absennya moralitas publik dalam agama-agama kita? Atau, hal itu dikarenakan kita tidak mampu melakukan transformasi peradaban melalui substansiasi nilai-nilai publik dari ajaran agama?
Saya yakin, sebagian besar umat beragama di negeri ini akan meradang mendengar klaim-klaim esensialis terkait rendahnya moralitas publik kita. Sayang, secara apriori-apologetik kita sering menolak klaim-klaim itu seraya mengajukan klaim-klaim tekstual-normatif tandingan yang juga bersifat esensialis! Terlepas dari bias atau prejudice yang mungkin menghinggapi pikiran kaum esensialis, klaim-klaim mereka berangkat dari prosedur akademis yang teruji ketat disertai argumen sosiologis yang sulit terbantahkan.
Ungkapan Edward Shils sebagaimana dikutip di awal tulisan, dalam derajat tertentu, memiliki benang merah dengan tesis kaum esensialis. Sebuah masyarakat cenderung enggan melepaskan praktik budaya masa lalu hanya karena menganggap sistem budaya mereka sendirilah yang paling ideal. Sikap tertutup semacam ini hanya akan melahirkan sindrom superiority complex yang justru kontraproduktif bagi pelembagaan nilai-nilai agama sebagai moralitas publik.
Menyikapi klaim-klaim esensialis itu, kita sebaiknya bersikap terbuka sembari melakukan refleksi untuk menemukan solusinya. Berbagai bentuk moral hazards seperti tingginya angka kematian akibat kecelakaan di semua moda angkutan; tingginya laju perusakan lingkungan akibat pengabaian tata ruang, polusi udara, dan penggundulan hutan; tingginya indeks korupsi dan terjerembabnya bangsa dalam labirin krisis berkepanjangan menjadi indikasi paling sahih betapa masyarakat belum sepenuhnya mampu mengapresiasi pentingnya moralitas publik sebagai sebuah keharusan. Ironisnya, segala bentuk moral hazards itu justru terjadi di negeri yang mengklaim diri sebagai religius!
"Good and clean governance"
Pelembagaan moralitas publik yang berkeadaban berawal dari substansiasi nilai-nilai agama dalam ranah publik (Masdar Hilmy, "Mewarnai Ruang Publik", Kompas, 9/3/2006) yang sesuai prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
Dalam konteks ini, kegalauan Cak Nur tentang tercerabutnya moralitas publik dari doktrin agama menjadi berasalan. Maka, kita layak melakukan otokritik dan refleksi: kontribusi positif apa yang dapat disumbangkan sistem ritus atau ibadah bagi peningkatan kualitas keadaban publik? Adakah shalat, puasa, dan zakat, misal- nya, secara substansial terbukti memberi kontribusi bagi tegaknya prinsip good and clean governance dalam ruang publik?
Menggarisbawahi itu semua, sudah saatnya memberi bukti empiris kepada dunia bahwa keberagamaan kita bukan faktor yang terpisah dari prinsip good and clean governance dalam struktur kenegaraan kita. Kecuali jika kita hendak menolak tesis kaum esensialis bahwa etos keadaban publik tidak ada sangkut pautnya dengan doktrin atau ritus agama, maka lupakan saja peran agama dalam ruang publik!
Masdar Hilmy Pengajar Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0710/10/opini/3882032.htm
Minggu, 07 Oktober 2007
Jihad Lawan Korupsi dan Kemiskinan
Korupsi dan kemiskinan adalah dua patologi sosial yang saling berkaitan. Bisa dikatakan, salah satu penyebab kemiskinan di negeri ini adalah merajalela dan menggilanya praktik korupsi di semua sektor kehidupan. Mengapa? Sebab, kita tentu mafhum, potensi dan kekayaan negeri ini seharusnya tidak membuat rakyat menjadi miskin (mengalami kemiskinan). Faktanya justru sebaliknya. Pengangguran, gelandangan, dan pengemis semakin hari kian banyak dan bertebaran di setiap sudut kota. Mereka semua hidup susah, tidak jelas berapa pendapatan sehari-harinya. Berdasar laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006, jumlah penduduk miskin mencapai 17,75 persen. Setahun kemudian, pada Maret 2007, angka tersebut meningkat menjadi 39,30 juta orang.
Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.
Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).
Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus "dipelihara" dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.
Bersatu Padu
Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.
Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga "departemen agama". Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).
Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.
Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.
Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.
Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?
Oleh Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=306156
Tingkat kemiskinan yang begitu besar tersebut mengakibatkan masalah-masalah dasar lain. Terutama, pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran masyarakat. Bila dibiarkan, tentu dampaknya semakin parah bagi negeri ini.
Dalam konteks ini, jika asumsi bahwa kemiskinan diakibatkan oleh penyakit korupsi, bisa dibayangkan betapa Indonesia akan bebas dari penyakit kemiskinan ketika benar-benar korupsi bisa diberantas atau setidaknya ditekan hingga ke titik yang bisa ditoleransi.
Terkait dengan kemiskinan dan korupsi yang terus menggurita tersebut, mudah-mudahan tidak banyak orang yang mulai bosan dan lelah berbicara masalah tersebut serta upaya pemberantasannya. Sebab, kemiskinan dan korupsi di negeri ini seperti tidak pernah berkurang, baik dari sisi jumlah maupun kasus yang terjadi dari tahun ke tahun.
Sebagaimana diberitakan Jawa Pos belum lama ini, dalam survei terbaru lembaga Transparency International (TI), Indonesia masih duduk di peringkat ke-143 di antara 179 negara di dunia dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan peringkat itu, Indonesia menduduki peringkat ke-36 sebagai negara dengan pemberantasan korupsi terlemah di dunia (Jawa Pos, 27/9).
Angka indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia tersebut jauh dibandingkan Malaysia sebesar 5,1 dan Singapura 9,3. Di kawasan Asia Selatan dan Tenggara, posisi Indonesia hanya lebih baik dibandingkan Bangladesh, Kamboja, Myanmar, Laos, dan Papua Nugini.
Hasil survei tersebut menunjukkan bahwa korupsi seolah terus "dipelihara" dan dibiarkan. Di sini, pemerintah juga terkesan masih tebang pilih. Belum tuntasnya kasus korupsi Soeharto dan keluarganya hanyalah salah satu bukti.
Bersatu Padu
Melihat dampak korupsi yang melanggengkan kemiskinan tersebut, bagi saya, semua pihak perlu bersatu padu merebut peran dalam upaya pemberantasan korupsi di tanah air. Dalam konteks semacam ini, mungkin tepat kita melakukan jihad melawan korupsi dan kemiskinan. Jihad yang selama ini hanya dipahami sebagai mati di medan perang kini bisa dimaknai sebagai upaya sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi demi kemajuan bangsa.
Bagaimana caranya? Pertama, upaya yang perlu ditempuh adalah melacak akar masalah korupsi dan kemudian merumuskan langkah strategis pemberantasannya.
Abdul Aziz mengutip Alatas (1987) melihat, ada dua penyebab utama menjamurnya praktik korupsi di Asia. Yakni, yang berlangsung terus-menerus dalam jangka panjang dan jangka pendek. Selain itu, bagi Alatas, lemahnya pemberantasan korupsi disebabkan kurang tegasnya pemimpin; minimnya pengajaran dan pendidikan antikorupsi, agama, serta etika; budaya kolonialisme; kemiskinan; tidak adanya hukum yang tegas; budaya; serta struktur pemerintahan yang mendukung perilaku korup.
Dalam konteks Indonesia, tesis yang dikemukakan sungguh tampak nyata sebagai realitas yang kasat mata. Ia membentang terang benderang di seluruh negeri ini mulai bawah hingga atas. Ia masuk dalam relung-relung birokrasi, pemerintahan, parlemen, parpol, lembaga pendidikan, organisasi militer, hingga "departemen agama". Karena itu, ia menjadi masalah besar yang sangat gawat dan memberi andil besar bagi kerusakan serta kehancuran bangsa ini (Syafi’i Ma’arif, 2001).
Lalu, bagaimana strategi pemberantasannya? Menurut saya, karena latar masalah terjadinya korupsi ibarat lingkaran setan, sudah tentu cara mengatasinya harus memutus lingkaran setan korupsi itu. Jihad melawan korupsi dengan cara memutus lingkaran setan tersebut tentu harus dilakukan bersama-sama.
Pertama, pemerintah beserta aparatnya wajib mengusut tuntas dengan tidak tebang pilih terhadap pelaku korupsi di negeri ini. Apalagi, sebagai anggota PBB, Indonesia ikut serta menandatangani deklarasi Millennium Development Goals (MDGs) yang salah satunya berkomitmen terhadap penghapusan kemiskinan.
Lebih dari itu, sudah sepatutnya perilaku menyimpang yang sering dilakukan elite politik perlu diganti dengan keteladanan moral yang baik.
Kedua, semua pihak di berbagai instansi dan institusi publik, agama, pendidikan, politik, media massa (pers), LSM, serta publik diharapkan berperan serta dan bertanggung jawab dalam penciptaan clean and good government.
Ala kulli hal, di tengah-tengah jeritan hidup akibat kemiskinan dan korupsi, masih adakah harapan bagi rakyat di negeri ini untuk bisa hidup sejahtera tanpa korupsi?
Oleh Choirul Mahfud
Penulis adalah dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=306156
Langganan:
Postingan (Atom)