Mengapa banyak orang ingin menjadi raja (dulu) atau presiden (sekarang)? Jawabannya beragam dan teorinya banyak! Menurut bapak ilmu sejarah dan sosiologi sejati Ibnu Khaldun (wafat pada 1406 M) dalam magnum opus-nya Muqaddimah (buku setebal 900 halaman sebagai pengantar atas buku Tarikh Ibn Khaldun yang enam jilid yang juga tebal itu) jawabannya adalah karena kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang luar biasa terhormat. Kedudukan yang senantiasa diperebutkan ini memberi orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi, juga kepuasan lahir dan batin yang luar biasa.Maka,jarang sekali kedudukan ini dilepaskan dengan suka rela, sebaliknya selalu di bawah paksaan. Perebutan tersebut membawa pada perjuangan,peperangan, dan runtuhnya singgasana-singgasana.
Tentu, modus ”perebutan” tersebut berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu,di samping berdasarkan keturunan, juga kekuatan perang. Sekarang ”perebutan”-nya dengan modus pemilihan umum yang demokratis. Keduanya sama-sama perebutan kekuasaan untuk menjadi raja atau presiden.Pemilu (atau pemilihan presiden) itu sejatinya perebutan kekuasaan juga, yakni perebutan kekuasaan secara sehat, adil (fair), beradab (civilized), dan berdasarkan aturan main (rule of the game) yang jelas.
Maka, biasanya harus disertai dengan etika yang tinggi, terutama etika politik sportif. Artinya, kalau kalah yaharus mengakui kalah. Kalau Ibn Khaldun menyatakan orang berkompetisi pada jabatan raja, sultan, atau khalifah (pasca- Khulafa al-Rasyidin) karena kedudukan ini dianggap akan memberikan kehormatan, kekayaan duniawi, dan kepuasan lahir batin yang luar biasa, maka Thomas Carlyle (1795- 1881) mengatakannya karena dorongan ingin menjadi orang besar yang membuat atau mengukir sejarah.
Ambisi ini bahkan kerap membuat orang tidak begitu peduli apakah akan terukir dengan tinta emas ataukah dengan tinta darah! Yang jelas, kata Carlyle,”The history of the world is but the biography of great men (sejarah dunia sejatinya hanyalah sejarahnya orang-orang besar)”.
Bohong besar kalau ada orang yang berani mengatakan bahwa ambisinya untuk menjadi presiden itu tanpa faktor dorongan kehormatan,kebesaran,dan kepuasan lahir batin itu.Noblesse oblige, kata sebuah ungkapan. Artinya, kekuasaan dan kehormatan membawa tanggung jawab atau pengabdian. Tak mengherankan jika banyak orang memimpikan kedudukan presiden. Jangankan politikus partai yang memang by nature pekerjaannya berburu kekuasaan,orang-orang yang selama ini suka mengaku bukan politikus pun tanpa tedeng aling-aling menyatakan keinginannya menjadi presiden.
Apalagi, menjelang Pemilihan Presiden 2009 seperti sekarang ini. Lihatlah, banyak benar orang yang akhir-akhir ini mematut-matut diri (Jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa menjadi presiden. Pada masa Presiden Soeharto dulu, biasanya orang hanya ingin menjadi menteri alias pembantu presiden.
Tidak ada seorang pun tokoh politik (kecuali mungkin Dr Amien Rais) yang berani menyatakan kepada publik mengenai keinginannya menjadi presiden. Alasannya, seperti yang sering mereka nyatakan sendiri waktu itu, ialah merasa tidak mampu. Katanya, menjadi Presiden Republik Indonesia yang sangat besar dan majemuk ini sangat berat. Tetapi belakangan pengakuan itu ternyata tidak sejati alias palsu belaka.
Ketidakinginan tersebut nyatanya lebih karena perasaan takut atau segan kepada Presiden Soeharto yang saat itu memang secara politik sangat kuat dan dikenal sebagai tidak pernah mau disaingi oleh siapa pun (Ingat pemeo tidak boleh ada matahari kembar). Lihat saja, begitu Presiden Soeharto lengser, orang-orang yang dulu menyatakan tidak mampu dan cuma ingin menjalankan tugas pengabdian semata tiba-tiba merasa bisa menjadi presiden!
Dengan tanpa malu-malu mereka mematut-matut diri merasa bisa menjadi presiden. Sangat meyakinkan, tampaknya mereka mulai jujur melihat bahwa dalam jabatan presiden tersembul aspek kehormatan, keagungan, dan keagungbinataraan, persis seperti kata Ibn Khaldun.Yang dibayangkan jika kelak menjadi presiden adalah iring-iringan mobil panjang dengan sirene meraung-raung di jalan yang terdiri atas mobil berpelat RI I,mobil pengawal,ambulans,mobil pemadam kebakaran,dan mobil-mobil lain yang senantiasa akan menyertai ke mana pun dia pergi.
Belum juga hak-hak keuangan dan protokolernya lainnya yang serbamegah itu. Di mana-mana, akan selalu disanjung-sanjung dan dipuja-puja.Wah, pokoknya aura kebesaran akan selalu mengelilinginya. Apalagi orang akhirnya mengerti bahwa menjadi presiden di negara demokrasi itu sejatinya memang hanya soal akseptabilitas (bisa terpilih atau tidak), bukan kapabilitas.
Menjadi presiden itu gampang, yang sulit adalah terpilihnya! Saya tidak begitu percaya dengan pendapat bahwa tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab presiden itu sangat berat sehingga hanya orang luar biasa (Satrio Piningiti?) yang mampu menunaikannya. Apa sulit dan beratnya menjadi presiden? Berbeda dengan kerajaan di mana seorang raja memerintah dengan titah atau dekrit (rule by decrees).
Di negara demokrasi,seorang presiden atau perdana menteri memerintah atau menjalankan kekuasaan berdasarkan undang-undang (rule by laws). Undang-undang itu pun sebagian besar sudah tersedia semua. Jadi,aturan dan koridor-koridor untuk menjalankan pemerintahan sudah jelas! Bahkan juga para pembantu, penasihat, dan anggarannya, termasuk anggaran untuk dirinya!
Sehingga yang diperlukan oleh seorang presiden hanyalah pengetahuan terhadap semua undang-undang tersebut (dan semuanya ini bisa dibaca), kemudian menjalankannya dengan penuh ikhlas, tulus, dan lurus! Pertama,ikhlas,artinya menjalankan undang-undang tersebut tanpa pamrih.
Kedua, tulus artinya semata-mata bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara. Jangan pernah berpikir akan memperkaya diri dan keluarganya. Singkatnya, lebih baik dikatakan pelit oleh saudara atau temannya sendiri daripada melanggar undangundang. Ketiga, lurus, artinya patuh pada teks dan semangat undangundang serta tidak coba-coba menipu, melanggar, dan mencederai undangundang tersebut.
Betapa sangat sederhananya! Menjadi kompleks dan tidak sederhana karena tidak ikhlas, tidak tulus,dan tidak lurus! Walhasil, menjadi presiden itu mudah, yang berat dan sulit adalah untuk terpilih menjadi presiden. Kalau sudah terpilih dan menduduki jabatan presiden,rasanya tidak berat atau sulit-sulit amat.
Makanya,mereka yang berkeinginan menjadi presiden tidak perlu berkecil hati kalau disebut oleh orang-orang yang sinis sebagai rumangsa bisa(merasa bisa).Sebab, memang gampang menjadi presiden itu.Tidak perlu mematut-matut diri karena memang sebenarnya banyak orang yang patut dan bisa menjadi presiden.Yang sulit itu, sekali lagi, adalah terpilih menjadi presiden! Percayalah. (*)
Hajriyanto Y Thohari
Antropolog dan politisi Anggota Komisi I DPR
1 komentar:
saya sangat berteimakasih kepada anda, semoga dengan ini dapat menjadi pelajaran tersendiri
Posting Komentar