Ahmadiyah bukanlah hal baru dalam sejarah Indonesia. Hampir seabad lalu gerakan itu sudah masuk ke tanah air dan selama berpuluh tahun tidak mengalami masalah dengan kelompok lain. Mengapa sekarang dalam situasi ekonomi-politik yang kian panas menjelang Pemilu 2009 persoalan itu kembali diungkit? Ada baiknya kita menengok ke belakang, melihat proses masuknya Ahmadiyah ke Nusantara ini. Artikel ini terutama berdasar tulisan Herman L. Beck dalam Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde (2005: 210-246).
Ini bermula dengan kedatangan Mirza Wali Ahmad Baig dan Maulana Ahmad ke Jogjakarta pada Maret 1924 menghadiri Kongres Ke-13 Muhammadiyah. Mereka dipersilakan berbicara dalam kesempatan tersebut. Pandangan mereka terhadap Jesus, yang dalam Islam disebut Nabi Isa, menarik perhatian hadirin.
Bagi penganut Ahmadiyah, Jesus setelah disalib tidak meninggal, tiga hari kemudian sadar dan bertemu dengan murid-muridnya. Dia kemudian pergi ke Srinagar, Kashmir, dan mengembangkan ajarannya di sana hingga meninggal pada usia 120 tahun.
Karena Jesus itu hanya manusia biasa, messias atau Al Masih yang disebutnya akan datang ke bumi tak lain dari Mirza Ghulam Ahmad. Oleh Ahmadiyah aliran Lahore, dia dianggap mujadid (pembaru). Sedangkan aliran Qadiyan memosisikan dia sebagai nabi.
Ahmadiyah juga memiliki pandangan yang khas tentang jihad. Bagi mereka, jihad bersenjata memerangi musuh (orang kafir) tidaklah wajib kecuali untuk mempertahankan diri. Kelompok itu sebetulnya juga tidak tergolong ekstrem karena bersikap loyal kepada pemerintah yang berkuasa.
Tahun 1928, tokoh Muhammadiyah Raden Ngabehi HM. Djojosoegito, saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari -kakek Abdurrahman Wahid (Gus Dur)- dan Wahab Chasballah, mendirikan Ahmadiyah Indonesia. Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah yang juga bersaudara sepupu adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) tahun 1926.
Tahun 1930, pemerintah Hindia Belanda mengakui Ahmadiyah. Selain ketua Djojosoegito, terdapat nama Erfan Dahlan sebagai pengurus. Erfan Dahlan adalah putra H Achmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang belajar tentang Ahmadiyah di Lahore dan kemudian mengembangkan aliran tersebut di Thailand.
Selain Erfan Dahlan, ada beberapa pemuda lain yang juga belajar tentang Ahmadiyah di Lahore. Yang satu setelah kembali ke Indonesia bergabung dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Yang lain, Maksum, keluar dari Muhammadiyah, bergabung dengan Persatuan Islam (Persis) yang dipimpin A. Hassan di Bandung.
Polemik Panjang
Seperti kita ketahui, polemik panjang mengenai ajaran Islam juga terjadi antara A. Hassan dan Soekarno. Maksum beberapa puluh tahun kemudian ikut gerakan DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan.
Djojosoegito kemudian memindahkan kegiatannya ke Purwokerto dan di kota ini didirikan masjid pertama Ahmadiyah di Indonesia. Hubungan antara Ahmadiyah dan SI (Sarekat Islam) pada mulanya cukup erat.
Pemimpin SI, HOS Tjokroaminoto, menerbitkan tafsir Alquran pada 1930. Kata pengantar diberikan pimpinan Ahmadiyah di Lahore, India. Ketika ketepatan terjemahan kitab suci itu banyak dikritik, terutama dari kalangan Muhammadiyah, dukungan diberikan pimpinan Ahmadiyah.
Namun, hubungan Ahmadiyah dengan SI kemudian menjadi renggang karena sikap politik SI yang radikal terhadap penjajah Belanda. Sedangkan Ahmadiyah tetap loyal kepada pemerintah. HOS Tjokroaminoto yang menjadi mertua Soekarno, menurut KH Abdurrahman Wahid, sebetulnya juga saudara sepupu dari Hasyim Asy’ari dan Wahab Chasballah.
Kalau benar demikian, sebenarnya tokoh-tokoh NU, Muhammadiyah, SI, dan Ahmadiyah tersebut berasal dari rumpun keluarga yang sama. Kalau terjadi selisih paham sesama mereka, itu menjadi pertengkaran intern keluarga yang tidak akan menjadi konflik berdarah.
Pada 1925, Haji Rasul, ulama terkenal dari Sumatera Barat, ayahanda HAMKA, mengunjungi putrinya, Fatimah, yang menikah dengan A.R. Sutan Mansyur, pimpinan Muhammadiyah di Pekalongan. Dari Pekalongan, dia singgah di Jogja dan Solo serta bertemu dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah dan Ahmadiyah. Terjadilah perdebatan seru. Haji Rasul mengatakan bahwa keyakinan Ahmadiyah itu menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam kongres Muhammadiyah di Solo pada 1929, hubungan antara organisasi itu dan Ahmadiyah menjadi putus. Majelis Tarjih Muhammadiyah menyatakan bahwa barang siapa yang memercayai adanya nabi setelah Muhammad dianggap kafir, walaupun tidak eksplisit menyebut Ahmadiyah. Sebelumnya sudah ada larangan bagi warga Muhammadiyah untuk mendengarkan ceramah tentang ajaran Ahmadiyah.
Setelah 1929, Muhammadiyah sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang memojokkan Ahmadiyah aliran Lahore. Ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pada 1984, Muhammadiyah mendukung dan menganggap bahwa itu terutama menyangkut Ahmadiyah aliran Qadiyan.
Tak Berbahaya
Mengapa Muhammadiyah masih bersikap toleran terhadap Ahmadiyah aliran Lahore? Menurut Herman Beck, itu terjadi karena organisasi tersebut dianggap tidak berbahaya serta bukan kompetitor dalam bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Itulah sebabnya, selama puluhan tahun, Ahmadiyah tetap hidup berdampingan secara damai dengan Muhammadiyah dan organisasi Islam yang lain.
Menjadi pertanyaan saat bangsa Indonesia mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, kesejahteraan rakyat tak kunjung terwujud, masyarakat didera kemiskinan, mengapa persoalan Ahmadiyah yang muncul ke permukaan? Untuk apa dan siapa yang menggerakkan semua ini?
Kalau diperhatikan, sejarah lahirnya organisasi-organisasi muslim di tanah air terlihat bahwa pendiri dan pengurus awal berbagai organisasi Islam itu sesungguhnya bersaudara. Oleh karena itu, sebaiknya masalah Ahmadiyah ini diselesaikan secara persaudaraan pula.
* Dr Asvi Warman Adam, sejarawan di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Jakarta
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=338099
Institute for Religion and Social Studies (IRSS) at Surabaya (Multikultural-Transformatif, Mencerahkan-Inklusif dan Progresif-Membebaskan) Address: Jl. Sumber Mulyo V/15 A, Bubutan, Surabaya, Indonesia. Mobile-Phone: 085655123861, email: lkas_surabaya@yahoo.com Website: www.lkassurabaya.blogspot.com
Kamis, 24 April 2008
Selasa, 08 April 2008
Menjadi Presiden itu Mudah
Mengapa banyak orang ingin menjadi raja (dulu) atau presiden (sekarang)? Jawabannya beragam dan teorinya banyak! Menurut bapak ilmu sejarah dan sosiologi sejati Ibnu Khaldun (wafat pada 1406 M) dalam magnum opus-nya Muqaddimah (buku setebal 900 halaman sebagai pengantar atas buku Tarikh Ibn Khaldun yang enam jilid yang juga tebal itu) jawabannya adalah karena kedudukan sebagai raja adalah suatu kedudukan yang luar biasa terhormat. Kedudukan yang senantiasa diperebutkan ini memberi orang yang memegang kedudukan itu segala kekayaan duniawi, juga kepuasan lahir dan batin yang luar biasa.Maka,jarang sekali kedudukan ini dilepaskan dengan suka rela, sebaliknya selalu di bawah paksaan. Perebutan tersebut membawa pada perjuangan,peperangan, dan runtuhnya singgasana-singgasana.
Tentu, modus ”perebutan” tersebut berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu,di samping berdasarkan keturunan, juga kekuatan perang. Sekarang ”perebutan”-nya dengan modus pemilihan umum yang demokratis. Keduanya sama-sama perebutan kekuasaan untuk menjadi raja atau presiden.Pemilu (atau pemilihan presiden) itu sejatinya perebutan kekuasaan juga, yakni perebutan kekuasaan secara sehat, adil (fair), beradab (civilized), dan berdasarkan aturan main (rule of the game) yang jelas.
Maka, biasanya harus disertai dengan etika yang tinggi, terutama etika politik sportif. Artinya, kalau kalah yaharus mengakui kalah. Kalau Ibn Khaldun menyatakan orang berkompetisi pada jabatan raja, sultan, atau khalifah (pasca- Khulafa al-Rasyidin) karena kedudukan ini dianggap akan memberikan kehormatan, kekayaan duniawi, dan kepuasan lahir batin yang luar biasa, maka Thomas Carlyle (1795- 1881) mengatakannya karena dorongan ingin menjadi orang besar yang membuat atau mengukir sejarah.
Ambisi ini bahkan kerap membuat orang tidak begitu peduli apakah akan terukir dengan tinta emas ataukah dengan tinta darah! Yang jelas, kata Carlyle,”The history of the world is but the biography of great men (sejarah dunia sejatinya hanyalah sejarahnya orang-orang besar)”.
Bohong besar kalau ada orang yang berani mengatakan bahwa ambisinya untuk menjadi presiden itu tanpa faktor dorongan kehormatan,kebesaran,dan kepuasan lahir batin itu.Noblesse oblige, kata sebuah ungkapan. Artinya, kekuasaan dan kehormatan membawa tanggung jawab atau pengabdian. Tak mengherankan jika banyak orang memimpikan kedudukan presiden. Jangankan politikus partai yang memang by nature pekerjaannya berburu kekuasaan,orang-orang yang selama ini suka mengaku bukan politikus pun tanpa tedeng aling-aling menyatakan keinginannya menjadi presiden.
Apalagi, menjelang Pemilihan Presiden 2009 seperti sekarang ini. Lihatlah, banyak benar orang yang akhir-akhir ini mematut-matut diri (Jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa menjadi presiden. Pada masa Presiden Soeharto dulu, biasanya orang hanya ingin menjadi menteri alias pembantu presiden.
Tidak ada seorang pun tokoh politik (kecuali mungkin Dr Amien Rais) yang berani menyatakan kepada publik mengenai keinginannya menjadi presiden. Alasannya, seperti yang sering mereka nyatakan sendiri waktu itu, ialah merasa tidak mampu. Katanya, menjadi Presiden Republik Indonesia yang sangat besar dan majemuk ini sangat berat. Tetapi belakangan pengakuan itu ternyata tidak sejati alias palsu belaka.
Ketidakinginan tersebut nyatanya lebih karena perasaan takut atau segan kepada Presiden Soeharto yang saat itu memang secara politik sangat kuat dan dikenal sebagai tidak pernah mau disaingi oleh siapa pun (Ingat pemeo tidak boleh ada matahari kembar). Lihat saja, begitu Presiden Soeharto lengser, orang-orang yang dulu menyatakan tidak mampu dan cuma ingin menjalankan tugas pengabdian semata tiba-tiba merasa bisa menjadi presiden!
Dengan tanpa malu-malu mereka mematut-matut diri merasa bisa menjadi presiden. Sangat meyakinkan, tampaknya mereka mulai jujur melihat bahwa dalam jabatan presiden tersembul aspek kehormatan, keagungan, dan keagungbinataraan, persis seperti kata Ibn Khaldun.Yang dibayangkan jika kelak menjadi presiden adalah iring-iringan mobil panjang dengan sirene meraung-raung di jalan yang terdiri atas mobil berpelat RI I,mobil pengawal,ambulans,mobil pemadam kebakaran,dan mobil-mobil lain yang senantiasa akan menyertai ke mana pun dia pergi.
Belum juga hak-hak keuangan dan protokolernya lainnya yang serbamegah itu. Di mana-mana, akan selalu disanjung-sanjung dan dipuja-puja.Wah, pokoknya aura kebesaran akan selalu mengelilinginya. Apalagi orang akhirnya mengerti bahwa menjadi presiden di negara demokrasi itu sejatinya memang hanya soal akseptabilitas (bisa terpilih atau tidak), bukan kapabilitas.
Menjadi presiden itu gampang, yang sulit adalah terpilihnya! Saya tidak begitu percaya dengan pendapat bahwa tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab presiden itu sangat berat sehingga hanya orang luar biasa (Satrio Piningiti?) yang mampu menunaikannya. Apa sulit dan beratnya menjadi presiden? Berbeda dengan kerajaan di mana seorang raja memerintah dengan titah atau dekrit (rule by decrees).
Di negara demokrasi,seorang presiden atau perdana menteri memerintah atau menjalankan kekuasaan berdasarkan undang-undang (rule by laws). Undang-undang itu pun sebagian besar sudah tersedia semua. Jadi,aturan dan koridor-koridor untuk menjalankan pemerintahan sudah jelas! Bahkan juga para pembantu, penasihat, dan anggarannya, termasuk anggaran untuk dirinya!
Sehingga yang diperlukan oleh seorang presiden hanyalah pengetahuan terhadap semua undang-undang tersebut (dan semuanya ini bisa dibaca), kemudian menjalankannya dengan penuh ikhlas, tulus, dan lurus! Pertama,ikhlas,artinya menjalankan undang-undang tersebut tanpa pamrih.
Kedua, tulus artinya semata-mata bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara. Jangan pernah berpikir akan memperkaya diri dan keluarganya. Singkatnya, lebih baik dikatakan pelit oleh saudara atau temannya sendiri daripada melanggar undangundang. Ketiga, lurus, artinya patuh pada teks dan semangat undangundang serta tidak coba-coba menipu, melanggar, dan mencederai undangundang tersebut.
Betapa sangat sederhananya! Menjadi kompleks dan tidak sederhana karena tidak ikhlas, tidak tulus,dan tidak lurus! Walhasil, menjadi presiden itu mudah, yang berat dan sulit adalah untuk terpilih menjadi presiden. Kalau sudah terpilih dan menduduki jabatan presiden,rasanya tidak berat atau sulit-sulit amat.
Makanya,mereka yang berkeinginan menjadi presiden tidak perlu berkecil hati kalau disebut oleh orang-orang yang sinis sebagai rumangsa bisa(merasa bisa).Sebab, memang gampang menjadi presiden itu.Tidak perlu mematut-matut diri karena memang sebenarnya banyak orang yang patut dan bisa menjadi presiden.Yang sulit itu, sekali lagi, adalah terpilih menjadi presiden! Percayalah. (*)
Hajriyanto Y Thohari
Antropolog dan politisi Anggota Komisi I DPR
Tentu, modus ”perebutan” tersebut berbeda antara dulu dan sekarang. Dulu,di samping berdasarkan keturunan, juga kekuatan perang. Sekarang ”perebutan”-nya dengan modus pemilihan umum yang demokratis. Keduanya sama-sama perebutan kekuasaan untuk menjadi raja atau presiden.Pemilu (atau pemilihan presiden) itu sejatinya perebutan kekuasaan juga, yakni perebutan kekuasaan secara sehat, adil (fair), beradab (civilized), dan berdasarkan aturan main (rule of the game) yang jelas.
Maka, biasanya harus disertai dengan etika yang tinggi, terutama etika politik sportif. Artinya, kalau kalah yaharus mengakui kalah. Kalau Ibn Khaldun menyatakan orang berkompetisi pada jabatan raja, sultan, atau khalifah (pasca- Khulafa al-Rasyidin) karena kedudukan ini dianggap akan memberikan kehormatan, kekayaan duniawi, dan kepuasan lahir batin yang luar biasa, maka Thomas Carlyle (1795- 1881) mengatakannya karena dorongan ingin menjadi orang besar yang membuat atau mengukir sejarah.
Ambisi ini bahkan kerap membuat orang tidak begitu peduli apakah akan terukir dengan tinta emas ataukah dengan tinta darah! Yang jelas, kata Carlyle,”The history of the world is but the biography of great men (sejarah dunia sejatinya hanyalah sejarahnya orang-orang besar)”.
Bohong besar kalau ada orang yang berani mengatakan bahwa ambisinya untuk menjadi presiden itu tanpa faktor dorongan kehormatan,kebesaran,dan kepuasan lahir batin itu.Noblesse oblige, kata sebuah ungkapan. Artinya, kekuasaan dan kehormatan membawa tanggung jawab atau pengabdian. Tak mengherankan jika banyak orang memimpikan kedudukan presiden. Jangankan politikus partai yang memang by nature pekerjaannya berburu kekuasaan,orang-orang yang selama ini suka mengaku bukan politikus pun tanpa tedeng aling-aling menyatakan keinginannya menjadi presiden.
Apalagi, menjelang Pemilihan Presiden 2009 seperti sekarang ini. Lihatlah, banyak benar orang yang akhir-akhir ini mematut-matut diri (Jawa: jinjit-jinjit) merasa bisa menjadi presiden. Pada masa Presiden Soeharto dulu, biasanya orang hanya ingin menjadi menteri alias pembantu presiden.
Tidak ada seorang pun tokoh politik (kecuali mungkin Dr Amien Rais) yang berani menyatakan kepada publik mengenai keinginannya menjadi presiden. Alasannya, seperti yang sering mereka nyatakan sendiri waktu itu, ialah merasa tidak mampu. Katanya, menjadi Presiden Republik Indonesia yang sangat besar dan majemuk ini sangat berat. Tetapi belakangan pengakuan itu ternyata tidak sejati alias palsu belaka.
Ketidakinginan tersebut nyatanya lebih karena perasaan takut atau segan kepada Presiden Soeharto yang saat itu memang secara politik sangat kuat dan dikenal sebagai tidak pernah mau disaingi oleh siapa pun (Ingat pemeo tidak boleh ada matahari kembar). Lihat saja, begitu Presiden Soeharto lengser, orang-orang yang dulu menyatakan tidak mampu dan cuma ingin menjalankan tugas pengabdian semata tiba-tiba merasa bisa menjadi presiden!
Dengan tanpa malu-malu mereka mematut-matut diri merasa bisa menjadi presiden. Sangat meyakinkan, tampaknya mereka mulai jujur melihat bahwa dalam jabatan presiden tersembul aspek kehormatan, keagungan, dan keagungbinataraan, persis seperti kata Ibn Khaldun.Yang dibayangkan jika kelak menjadi presiden adalah iring-iringan mobil panjang dengan sirene meraung-raung di jalan yang terdiri atas mobil berpelat RI I,mobil pengawal,ambulans,mobil pemadam kebakaran,dan mobil-mobil lain yang senantiasa akan menyertai ke mana pun dia pergi.
Belum juga hak-hak keuangan dan protokolernya lainnya yang serbamegah itu. Di mana-mana, akan selalu disanjung-sanjung dan dipuja-puja.Wah, pokoknya aura kebesaran akan selalu mengelilinginya. Apalagi orang akhirnya mengerti bahwa menjadi presiden di negara demokrasi itu sejatinya memang hanya soal akseptabilitas (bisa terpilih atau tidak), bukan kapabilitas.
Menjadi presiden itu gampang, yang sulit adalah terpilihnya! Saya tidak begitu percaya dengan pendapat bahwa tugas, pekerjaan, dan tanggung jawab presiden itu sangat berat sehingga hanya orang luar biasa (Satrio Piningiti?) yang mampu menunaikannya. Apa sulit dan beratnya menjadi presiden? Berbeda dengan kerajaan di mana seorang raja memerintah dengan titah atau dekrit (rule by decrees).
Di negara demokrasi,seorang presiden atau perdana menteri memerintah atau menjalankan kekuasaan berdasarkan undang-undang (rule by laws). Undang-undang itu pun sebagian besar sudah tersedia semua. Jadi,aturan dan koridor-koridor untuk menjalankan pemerintahan sudah jelas! Bahkan juga para pembantu, penasihat, dan anggarannya, termasuk anggaran untuk dirinya!
Sehingga yang diperlukan oleh seorang presiden hanyalah pengetahuan terhadap semua undang-undang tersebut (dan semuanya ini bisa dibaca), kemudian menjalankannya dengan penuh ikhlas, tulus, dan lurus! Pertama,ikhlas,artinya menjalankan undang-undang tersebut tanpa pamrih.
Kedua, tulus artinya semata-mata bekerja untuk rakyat, bangsa, dan negara. Jangan pernah berpikir akan memperkaya diri dan keluarganya. Singkatnya, lebih baik dikatakan pelit oleh saudara atau temannya sendiri daripada melanggar undangundang. Ketiga, lurus, artinya patuh pada teks dan semangat undangundang serta tidak coba-coba menipu, melanggar, dan mencederai undangundang tersebut.
Betapa sangat sederhananya! Menjadi kompleks dan tidak sederhana karena tidak ikhlas, tidak tulus,dan tidak lurus! Walhasil, menjadi presiden itu mudah, yang berat dan sulit adalah untuk terpilih menjadi presiden. Kalau sudah terpilih dan menduduki jabatan presiden,rasanya tidak berat atau sulit-sulit amat.
Makanya,mereka yang berkeinginan menjadi presiden tidak perlu berkecil hati kalau disebut oleh orang-orang yang sinis sebagai rumangsa bisa(merasa bisa).Sebab, memang gampang menjadi presiden itu.Tidak perlu mematut-matut diri karena memang sebenarnya banyak orang yang patut dan bisa menjadi presiden.Yang sulit itu, sekali lagi, adalah terpilih menjadi presiden! Percayalah. (*)
Hajriyanto Y Thohari
Antropolog dan politisi Anggota Komisi I DPR
The organization of political parties at the grassroots
By Ulla Fionna
During Soeharto's 32-year-long New Order, Indonesian political parties were the most obvious example of manipulation of political participation. Not only were they under strict government control, they were also denied contact with grassroots society. Consequently, grassroots support was cut off from politics and the parties. Now that the reform era is a decade old, the parties have had time to manage their role and function as a political channel at the community level. A closer examination of how four major parties -- the Golkar Party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the National Mandate Party (PAN) and the Prosperous Justice Party (PKS) -- operate at the local level in Malang municipality and regency revealed that management heavily depended on personnel and resources -- and that incumbent parties are not always more advanced than younger ones.
The situation in Malang, East Java, is likely not very different from the situation in other regions even at national level.
* Golkar Party (Soeharto established this party in the 1960s). In its local operation in Malang, it has superior resources among the four parties as the only one that can afford to own its offices and hire professional staff to handle daily administration.
At the municipality (kodya) level, its office has even been keeping a very tidy quarterly report, which details every activity held within the period, including photograph documentation and expenses all manually pasted and hand-typed into a large file.
Its office in the regency (kabupaten) also showed focus on recordkeeping by its well-kept election results since the 1970s, a remarkable achievement given the fact the office experienced a fire at one stage. The party's offices were always active during office hours, and its personnel was skilled to handle enquiries.
The chairmen of the party in the two regions, although having a primary job outside party leadership, attended their offices regularly. Activities were also held regularly, ranging from cadre meetings to dialogues with representatives from the local assembly.
Because of the frequent activities, members could interact with the party on a regular basis.
* PDI-P. Despite having strong grassroots sympathy for former president Megawati Soekarnoputri and her father, first president Sukarno, the PDI-P's local branch management was seriously lacking. Although its branch at the kabupaten level is always open during office hours, its city counterpart was padlocked most of the time.Its kabupaten administrators were salaried, but they were not office professionals as Golkar's; rather, they were cadres with just sufficient administrative skills to handle daily operations.
The kabupaten branch held more activities such as blood donation drives and free house renovation for members, and the cadres hang around in the office most days.
In contrast, the kodya staff were seriously behind in maintaining an electronic membership database, and were clueless about party activities and personnel.
* PAN. Its offices seriously suffered from bad management. Its kodya branch did not even have an office for a few months while searching for a new place to rent, and the cadres were occupying a small room at the local assembly's office. The constant removals have caused the branch to lose files and archives. The kabupaten office was housed at the residence of its secretary, who later was elected as the chairman.
The chairman ran the office as a one-man show, taking care of everything. These chaotic arrangements meant that regular activities were hard to organize.
For the kodya office, the few cadres who frequented the local assembly office were the ones who kept the party alive. They maintained the branch by holding leader election at one of their residences.
The erratic local management of the PAN has contributed to and perhaps worsened the problems of retaining members in the party. As the kabupaten chairman himself noted, members have been swayed by other parties such as the PKS.
*PKS. The PKS serves as evidence that a young party can demonstrate an advanced branch management. Its Malang branches were active and efficient, and its kabupaten office was the only branch that had an email address. Administered by its own cadres, the party benefited from a technology-savvy and committed young cadres who handled daily operations.
Although also having to constantly move like the PAN's branches, the branches were more efficient in looking for a new office in advance and thus the office activities were not interrupted.
Using Islam as the basis for its activities, the party held a wide variety of events ranging from long-marches, caricature demonstrations, an Islamic premarital advice session for young couples and an open house to attract new recruits for the party. Internally, the party also held frequent meetings and discussions. Promotion of the party was also held by flyer distribution in public places such as bus terminals.
Among the four parties, Golkar and the PKS were the most organized branches in Malang. The two parties were superior in branch management and consequently were more capable in holding frequent and a wider range of activities, as well. Contributing to the success of these parties were the factors of better resources for Golkar and more committed and skilled personnel for the PKS.
The other two parties, the PDI-P and the PAN, are at the other end of spectrum, with the former having an inactive branch and the latter's kodya office chaotic in its daily operations. However, the case of the PAN also strengthens the notion that personal commitment matters -- in this case the kabupaten leader's and the kodya cadres'.
Disparities in local party organization are evidence of the challenges that individual parties face in their local operation. They may differ in age and experience, but what matters is how they utilize their capacity. Lack of experience can be compensated by greater commitment in organizational capacity, as demonstrated by the PKS.
On the other hand, popularity and electoral success could contribute to a self-content attitude, such as shown by the PDI-P. Since grassroots politics are gaining more importance in Indonesia, local party organization will also play a more influential part in determining party influence in the local community. Thus, better organization could be the key to winning local support to boost electoral support in the coming elections.
The writer is completing her PhD in political science at the University of Sydney, and currently teaches at the University of Sydney and Macquarie University. She can be reached at ulla.fionna@usyd.edu.au.
Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/04/07/the-organization-political-parties-grassroots.html-0
During Soeharto's 32-year-long New Order, Indonesian political parties were the most obvious example of manipulation of political participation. Not only were they under strict government control, they were also denied contact with grassroots society. Consequently, grassroots support was cut off from politics and the parties. Now that the reform era is a decade old, the parties have had time to manage their role and function as a political channel at the community level. A closer examination of how four major parties -- the Golkar Party, the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the National Mandate Party (PAN) and the Prosperous Justice Party (PKS) -- operate at the local level in Malang municipality and regency revealed that management heavily depended on personnel and resources -- and that incumbent parties are not always more advanced than younger ones.
The situation in Malang, East Java, is likely not very different from the situation in other regions even at national level.
* Golkar Party (Soeharto established this party in the 1960s). In its local operation in Malang, it has superior resources among the four parties as the only one that can afford to own its offices and hire professional staff to handle daily administration.
At the municipality (kodya) level, its office has even been keeping a very tidy quarterly report, which details every activity held within the period, including photograph documentation and expenses all manually pasted and hand-typed into a large file.
Its office in the regency (kabupaten) also showed focus on recordkeeping by its well-kept election results since the 1970s, a remarkable achievement given the fact the office experienced a fire at one stage. The party's offices were always active during office hours, and its personnel was skilled to handle enquiries.
The chairmen of the party in the two regions, although having a primary job outside party leadership, attended their offices regularly. Activities were also held regularly, ranging from cadre meetings to dialogues with representatives from the local assembly.
Because of the frequent activities, members could interact with the party on a regular basis.
* PDI-P. Despite having strong grassroots sympathy for former president Megawati Soekarnoputri and her father, first president Sukarno, the PDI-P's local branch management was seriously lacking. Although its branch at the kabupaten level is always open during office hours, its city counterpart was padlocked most of the time.Its kabupaten administrators were salaried, but they were not office professionals as Golkar's; rather, they were cadres with just sufficient administrative skills to handle daily operations.
The kabupaten branch held more activities such as blood donation drives and free house renovation for members, and the cadres hang around in the office most days.
In contrast, the kodya staff were seriously behind in maintaining an electronic membership database, and were clueless about party activities and personnel.
* PAN. Its offices seriously suffered from bad management. Its kodya branch did not even have an office for a few months while searching for a new place to rent, and the cadres were occupying a small room at the local assembly's office. The constant removals have caused the branch to lose files and archives. The kabupaten office was housed at the residence of its secretary, who later was elected as the chairman.
The chairman ran the office as a one-man show, taking care of everything. These chaotic arrangements meant that regular activities were hard to organize.
For the kodya office, the few cadres who frequented the local assembly office were the ones who kept the party alive. They maintained the branch by holding leader election at one of their residences.
The erratic local management of the PAN has contributed to and perhaps worsened the problems of retaining members in the party. As the kabupaten chairman himself noted, members have been swayed by other parties such as the PKS.
*PKS. The PKS serves as evidence that a young party can demonstrate an advanced branch management. Its Malang branches were active and efficient, and its kabupaten office was the only branch that had an email address. Administered by its own cadres, the party benefited from a technology-savvy and committed young cadres who handled daily operations.
Although also having to constantly move like the PAN's branches, the branches were more efficient in looking for a new office in advance and thus the office activities were not interrupted.
Using Islam as the basis for its activities, the party held a wide variety of events ranging from long-marches, caricature demonstrations, an Islamic premarital advice session for young couples and an open house to attract new recruits for the party. Internally, the party also held frequent meetings and discussions. Promotion of the party was also held by flyer distribution in public places such as bus terminals.
Among the four parties, Golkar and the PKS were the most organized branches in Malang. The two parties were superior in branch management and consequently were more capable in holding frequent and a wider range of activities, as well. Contributing to the success of these parties were the factors of better resources for Golkar and more committed and skilled personnel for the PKS.
The other two parties, the PDI-P and the PAN, are at the other end of spectrum, with the former having an inactive branch and the latter's kodya office chaotic in its daily operations. However, the case of the PAN also strengthens the notion that personal commitment matters -- in this case the kabupaten leader's and the kodya cadres'.
Disparities in local party organization are evidence of the challenges that individual parties face in their local operation. They may differ in age and experience, but what matters is how they utilize their capacity. Lack of experience can be compensated by greater commitment in organizational capacity, as demonstrated by the PKS.
On the other hand, popularity and electoral success could contribute to a self-content attitude, such as shown by the PDI-P. Since grassroots politics are gaining more importance in Indonesia, local party organization will also play a more influential part in determining party influence in the local community. Thus, better organization could be the key to winning local support to boost electoral support in the coming elections.
The writer is completing her PhD in political science at the University of Sydney, and currently teaches at the University of Sydney and Macquarie University. She can be reached at ulla.fionna@usyd.edu.au.
Source: http://www.thejakartapost.com/news/2008/04/07/the-organization-political-parties-grassroots.html-0
Tentang Film “Fitna”
Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya. Saya percaya bahwa Islam bisa menampung nilai-nilai pencerahan Eropa. Jangan dilupakan pula, bahwa sejarah pencerahan Eropa tak terpisahkan dari Islam pula. Beberapa gagasan para pemikir Muslim menjadi ilham bagi para humanis Eropa pada abad 16 dan 17. Tentang Geert Wilders dengan film ”Fitna”nya, kita harus sadar bahwa fenomena Geert Wilders ini tidak menggambarkan sikap masyarakat Barat secara keseluruhan. Di satu pihak, kita melihat orang seperti Wilders yang sangat benci Islam ini. Tetapi di pihak lain kita juga melihat fenomena Kardinal Rowan William, Uskup Canterbury, yang baru-baru ini juga menggegerkan publik Barat karena memberikan kemungkinan kepada syariat Islam untuk ditampung dalam hukum komunitas yang berlaku di Inggris.
Kecurigaan dan praduga negatif terhadap Islam sudah pasti ada dalam masyarakat Barat hingga saat ini. Sebagaimana praduga yang sama juga ada dalam Islam terhadap Kristen dan Barat. Tetapi, dalam pengamatan saya, kecenderungan masyarakat di Barat secara umum adalah justru mengarah kepada sikap yang makin positif terhadap kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Tentu, saya berbicara mengenai kecenderungan umum.
Insiden-insiden ke arah sebaliknya tentu ada, dan akan terus ada. Tetapi kalau kita lihat bentangan sejarah masyarakat Barat, perkembangan terakhir ini tentu jauh berbeda dengan sikap-sikap mereka seabad yang lalu, misalnya. Sekarang, masyarakat Barat sudah pelan-pelan mulai meninggalkan "euro-sentrisme" mereka, meskipun dalam beberapa hal mereka masih gagal. Jangan lupa, masyarakat Barat menempuh jalan yang berliku dan sulit sekali untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini.
Saya sendiri melihat fenomena Wilders ini sebagai cerminan dari rasa tak aman berhadapan dengan serbuan budaya baru yang datang dari luar Eropa. Wilders antara lain mengatakan bahwa masyarakat Eropa harus mempertahankan budaya pencerahan, dan menolak serbuan ideologi Islam dan Islamisme. Pendapat dia ini, hingga tingkat tertentu, ada benarnya. Kita harus bedakan antara Islamisme dan Islam. Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa, tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya. Saya percaya bahwa Islam bisa menampung nilai-nilai pencerahan Eropa. Jangan dilupakan pula, bahwa sejarah pencerahan Eropa tak terpisahkan dari Islam pula. Beberapa gagasan para pemikir Muslim menjadi ilham bagi para humanis Eropa pada abad 16 dan 17.
Di segi yang lain, Wilders ini juga cerminan dari "religious illiteracy" yang ada dalam masyarakat Barat saat ini. Karena sekularisasi yang berlangsung lama, masyarakat Barat tidak mendapatkan pendidikan dan informasi yang cukup tentang kekayaan tradisi agama-agama besar dunia. Saat mereka membaca suatu Kitab Suci yang mengandung ajaran-ajaran yang bertentangan dengan rasionalisme, mereka langsung kaget bukan main. Ini yang menjelaskan pernyataan Wilders yang sangat keras tentang Islam. Semua Kitab Suci agama mengandung sejumlah statemen yang bermasalah dilihat dari sensibilitas modern, jika dipahami secara harafiah.
Wilders sebetulnya berdiri pada sisi yang sama dengan kaum fundamentalis di mana-mana: yakni memahami teks agama lepas dari konteksnya, dan mengabaikan kerumitan sejarah penafsiran teks agama. Beda Wilders dengan kaum fundamentalis hanya satu: sementara Wilders mengutuk teks agama itu, kaum fundamentalis memeluknya erat-erat selama 24 jam.
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1335
Kecurigaan dan praduga negatif terhadap Islam sudah pasti ada dalam masyarakat Barat hingga saat ini. Sebagaimana praduga yang sama juga ada dalam Islam terhadap Kristen dan Barat. Tetapi, dalam pengamatan saya, kecenderungan masyarakat di Barat secara umum adalah justru mengarah kepada sikap yang makin positif terhadap kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Tentu, saya berbicara mengenai kecenderungan umum.
Insiden-insiden ke arah sebaliknya tentu ada, dan akan terus ada. Tetapi kalau kita lihat bentangan sejarah masyarakat Barat, perkembangan terakhir ini tentu jauh berbeda dengan sikap-sikap mereka seabad yang lalu, misalnya. Sekarang, masyarakat Barat sudah pelan-pelan mulai meninggalkan "euro-sentrisme" mereka, meskipun dalam beberapa hal mereka masih gagal. Jangan lupa, masyarakat Barat menempuh jalan yang berliku dan sulit sekali untuk mencapai keadaan seperti sekarang ini.
Saya sendiri melihat fenomena Wilders ini sebagai cerminan dari rasa tak aman berhadapan dengan serbuan budaya baru yang datang dari luar Eropa. Wilders antara lain mengatakan bahwa masyarakat Eropa harus mempertahankan budaya pencerahan, dan menolak serbuan ideologi Islam dan Islamisme. Pendapat dia ini, hingga tingkat tertentu, ada benarnya. Kita harus bedakan antara Islamisme dan Islam. Islamisme mungkin bertentangan secara diametral dengan budaya pencerahan. Tetapi, Islam, saya rasa, tidak, meskipun tidak seluruhnya ada kesejajaran antara keduanya. Saya percaya bahwa Islam bisa menampung nilai-nilai pencerahan Eropa. Jangan dilupakan pula, bahwa sejarah pencerahan Eropa tak terpisahkan dari Islam pula. Beberapa gagasan para pemikir Muslim menjadi ilham bagi para humanis Eropa pada abad 16 dan 17.
Di segi yang lain, Wilders ini juga cerminan dari "religious illiteracy" yang ada dalam masyarakat Barat saat ini. Karena sekularisasi yang berlangsung lama, masyarakat Barat tidak mendapatkan pendidikan dan informasi yang cukup tentang kekayaan tradisi agama-agama besar dunia. Saat mereka membaca suatu Kitab Suci yang mengandung ajaran-ajaran yang bertentangan dengan rasionalisme, mereka langsung kaget bukan main. Ini yang menjelaskan pernyataan Wilders yang sangat keras tentang Islam. Semua Kitab Suci agama mengandung sejumlah statemen yang bermasalah dilihat dari sensibilitas modern, jika dipahami secara harafiah.
Wilders sebetulnya berdiri pada sisi yang sama dengan kaum fundamentalis di mana-mana: yakni memahami teks agama lepas dari konteksnya, dan mengabaikan kerumitan sejarah penafsiran teks agama. Beda Wilders dengan kaum fundamentalis hanya satu: sementara Wilders mengutuk teks agama itu, kaum fundamentalis memeluknya erat-erat selama 24 jam.
Oleh Ulil Abshar-Abdalla
Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1335
Politik Pangan Yusuf
Alkisah, firaun bermimpi. Ia sedang berdiri di tepi Sungai Nil, sungai terpanjang kedua di dunia. Tiba-tiba muncul tujuh sapi gemuk dari dalam sungai dan memakan rumput di tepinya. Lalu, muncul tujuh sapi kurus dan memakan sapi-sapi gemuk itu. Kemudian, ia bermimpi lagi. Tujuh bulir gandum yang kering menelan tujuh bulir gandum yang berisi. Ketika terjaga, raja Mesir itu gelisah. Bukan mimpi biasa. Semua orang pintar dipanggil untuk memberi tafsir mimpi. Namun, tak satu pun mampu.
Jika pengetahuan adalah kekuasaan, kegagalan orang pintar di istana pertanda melemahnya pamor penguasa. Ketika statistik dan institusi resmi tidak mampu mengantisipasi datangnya krisis pangan, mimpi menerobos birokrasi istana. Ketika bawahan selalu datang membawa laporan asal raja senang, mimpi adalah peringatan dari atas. Penguasa segala penguasa mengingatkan datangnya bencana.
Politik antisipasi
Ketika istana tak berdaya, seorang pegawai teringat pengalamannya saat di penjara. Seorang pemuda, sesama tahanan, mampu menafsir mimpinya. Namanya direkomendasikan. firaun setuju. Dan, Yusuf dikeluarkan dari penjara. Ia menjelaskan, Allah sedang memberi isyarat untuk sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir gandum yang berisi melambangkan tujuh tahun kemakmuran di seluruh Mesir. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum yang kurus melambangkan tujuh tahun paceklik setelah masa kemakmuran. Tafsir mimpi itu melawan alam Mesir. Sungai Nil tiap tahun membanjiri tepinya sehingga tanah di sekitarnya berlumpur dan subur untuk ditanami. Nil adalah simbol kesuburan Mesir.
Tidak hanya tafsir, Yusuf juga memberi solusi. Untuk mengantisipasi krisis pangan, harus segera dipilih seorang yang cerdas dan bijaksana. Ia diberi wewenang luas untuk menjamin ketersediaan pangan. Juga harus ada pegawai-pegawai untuk mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum selama tujuh tahun kemakmuran untuk memperkuat stok pangan nasional.
Ternyata firaun berkenan dengan tafsir mimpi itu. Ia langsung menunjuk Yusuf sebagai orang kedua di negeri adidaya itu dengan tugas khusus mengamankan stok pangan nasional. Usianya baru 30 tahun, tetapi sosoknya dipandang cerdas dan bijaksana. Segera Yusuf mengelilingi negeri. Ladang-ladang didorong meningkatkan produksinya selama tujuh tahun kemakmuran.
Negara membeli surplus gandum untuk meningkatkan stok nasional guna mengantisipasi tujuh tahun paceklik. Surplus produksi di daerah sekitar kota dikumpulkan dan disimpan di kota itu. Maka, banyak (kota) sentra stok pangan tersebar di seluruh negeri guna memperpendek jalur distribusi. Orang lapar akan segera mati jika tidak segera mendapat bantuan makanan. Sentra-sentra stok pangan dijaga ketat agar tidak dicuri atau dijarah. Akhirnya, Mesir selamat dari kelaparan, bahkan mampu menolong negeri lain.
Batu uji politik
Politik pangan adalah batu uji keberhasilan penguasa. Jaminan ketersediaan murah erat hubungannya dengan stabilitas politik. Penguasa bijak menjadikan masalah pangan sebagai prioritas. Maka, negara maju memberi subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.
Dunia tengah memasuki krisis pangan global. Tidak perlu isyarat mimpi lagi. Masa-masa kemakmuran hampir berakhir. Ketika negara-negara berkembang dan miskin berkonsentrasi menangani kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk tahun 2015, kelaparan dan malnutrisi yang terlupakan dari MDGs kini menyergap.
Secara keseluruhan harga-harga komoditas pangan naik 75 persen, kian tak terjangkau rakyat miskin. Menurut laporan yang dipublikasikan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Februari lalu, Indonesia merupakan salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Korban krisis pangan berjatuhan di Indonesia. Kualitas makanan untuk rakyat kecil menurun.
Negara-negara produsen utama beras mulai menghentikan ekspor. Surplus untuk meningkatkan stok nasional masing-masing dan menekan laju inflasi di dalam negeri.
Daripada untuk mengimpor beras, cadangan devisa yang ada sebaiknya digunakan untuk mengoptimalkan potensi pertanian rakyat, memberantas penyelundupan pupuk bersubsidi, mencegah lahan pertanian beralih fungsi, meningkatkan harga gabah di tingkat petani, menyejahterakan petani, dan meningkatkan kualitas beras untuk orang miskin.
India yang jumlah penduduknya melebih Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa untuk tidak mengimpor beras. Negara yang produk domestik brutonya di bawah Indonesia dan penduduknya empat kali lebih banyak ini tidak termasuk sembilan negara di Asia yang mengalami krisis pangan. India sempat mengenakan bea masuk beras hingga 70 persen dan baru kini menurunkan bea masuk beras menjadi nol persen.
Sebagai salah satu negara yang populasinya besar dengan beras sebagai bahan makanan pokok, daulat pangan tidak boleh ditawar-tawar. Krisis pangan global bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengubah posisi Indonesia dari salah satu importir beras terbesar menjadi swasembada. Stop kebijakan pangan yang lebih memakmurkan petani di negeri orang.
Untuk itu, politik pangan harus all out. Singkirkan pejabat yang mengurusi pangan dengan mental pedagang. Percuma peningkatan cadangan devisa nasional jika sebagian besar rakyat tidak mampu membeli beras dan terpaksa makan nasi aking. Indonesia membutuhkan Yusuf-yusuf di tingkat pusat hingga daerah.
Menghadapi perubahan iklim global dan potensi gagal panen, pemerintah tidak boleh santai. Lebih mendesak kehadiran seorang menteri pangan dengan wewenang dan kapasitas seperti Yusuf daripada wakil menlu. Atau, fungsi Bulog dievaluasi, difokuskan, dan diperluas sebagai yang juga bertanggung jawab atas kedaulatan pangan di dalam negeri.
Yonky Karman: Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Jika pengetahuan adalah kekuasaan, kegagalan orang pintar di istana pertanda melemahnya pamor penguasa. Ketika statistik dan institusi resmi tidak mampu mengantisipasi datangnya krisis pangan, mimpi menerobos birokrasi istana. Ketika bawahan selalu datang membawa laporan asal raja senang, mimpi adalah peringatan dari atas. Penguasa segala penguasa mengingatkan datangnya bencana.
Politik antisipasi
Ketika istana tak berdaya, seorang pegawai teringat pengalamannya saat di penjara. Seorang pemuda, sesama tahanan, mampu menafsir mimpinya. Namanya direkomendasikan. firaun setuju. Dan, Yusuf dikeluarkan dari penjara. Ia menjelaskan, Allah sedang memberi isyarat untuk sesuatu yang akan terjadi dalam waktu dekat.
Tujuh sapi gemuk dan tujuh bulir gandum yang berisi melambangkan tujuh tahun kemakmuran di seluruh Mesir. Tujuh sapi kurus dan tujuh bulir gandum yang kurus melambangkan tujuh tahun paceklik setelah masa kemakmuran. Tafsir mimpi itu melawan alam Mesir. Sungai Nil tiap tahun membanjiri tepinya sehingga tanah di sekitarnya berlumpur dan subur untuk ditanami. Nil adalah simbol kesuburan Mesir.
Tidak hanya tafsir, Yusuf juga memberi solusi. Untuk mengantisipasi krisis pangan, harus segera dipilih seorang yang cerdas dan bijaksana. Ia diberi wewenang luas untuk menjamin ketersediaan pangan. Juga harus ada pegawai-pegawai untuk mengumpulkan seperlima dari kelebihan panen gandum selama tujuh tahun kemakmuran untuk memperkuat stok pangan nasional.
Ternyata firaun berkenan dengan tafsir mimpi itu. Ia langsung menunjuk Yusuf sebagai orang kedua di negeri adidaya itu dengan tugas khusus mengamankan stok pangan nasional. Usianya baru 30 tahun, tetapi sosoknya dipandang cerdas dan bijaksana. Segera Yusuf mengelilingi negeri. Ladang-ladang didorong meningkatkan produksinya selama tujuh tahun kemakmuran.
Negara membeli surplus gandum untuk meningkatkan stok nasional guna mengantisipasi tujuh tahun paceklik. Surplus produksi di daerah sekitar kota dikumpulkan dan disimpan di kota itu. Maka, banyak (kota) sentra stok pangan tersebar di seluruh negeri guna memperpendek jalur distribusi. Orang lapar akan segera mati jika tidak segera mendapat bantuan makanan. Sentra-sentra stok pangan dijaga ketat agar tidak dicuri atau dijarah. Akhirnya, Mesir selamat dari kelaparan, bahkan mampu menolong negeri lain.
Batu uji politik
Politik pangan adalah batu uji keberhasilan penguasa. Jaminan ketersediaan murah erat hubungannya dengan stabilitas politik. Penguasa bijak menjadikan masalah pangan sebagai prioritas. Maka, negara maju memberi subsidi kepada petani dan menjamin pembelian hasil tani dengan harga pantas.
Dunia tengah memasuki krisis pangan global. Tidak perlu isyarat mimpi lagi. Masa-masa kemakmuran hampir berakhir. Ketika negara-negara berkembang dan miskin berkonsentrasi menangani kemiskinan dalam kerangka Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) untuk tahun 2015, kelaparan dan malnutrisi yang terlupakan dari MDGs kini menyergap.
Secara keseluruhan harga-harga komoditas pangan naik 75 persen, kian tak terjangkau rakyat miskin. Menurut laporan yang dipublikasikan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) Februari lalu, Indonesia merupakan salah satu dari 36 negara yang mengalami krisis pangan. Korban krisis pangan berjatuhan di Indonesia. Kualitas makanan untuk rakyat kecil menurun.
Negara-negara produsen utama beras mulai menghentikan ekspor. Surplus untuk meningkatkan stok nasional masing-masing dan menekan laju inflasi di dalam negeri.
Daripada untuk mengimpor beras, cadangan devisa yang ada sebaiknya digunakan untuk mengoptimalkan potensi pertanian rakyat, memberantas penyelundupan pupuk bersubsidi, mencegah lahan pertanian beralih fungsi, meningkatkan harga gabah di tingkat petani, menyejahterakan petani, dan meningkatkan kualitas beras untuk orang miskin.
India yang jumlah penduduknya melebih Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa untuk tidak mengimpor beras. Negara yang produk domestik brutonya di bawah Indonesia dan penduduknya empat kali lebih banyak ini tidak termasuk sembilan negara di Asia yang mengalami krisis pangan. India sempat mengenakan bea masuk beras hingga 70 persen dan baru kini menurunkan bea masuk beras menjadi nol persen.
Sebagai salah satu negara yang populasinya besar dengan beras sebagai bahan makanan pokok, daulat pangan tidak boleh ditawar-tawar. Krisis pangan global bisa menjadi momentum pemerintah untuk mengubah posisi Indonesia dari salah satu importir beras terbesar menjadi swasembada. Stop kebijakan pangan yang lebih memakmurkan petani di negeri orang.
Untuk itu, politik pangan harus all out. Singkirkan pejabat yang mengurusi pangan dengan mental pedagang. Percuma peningkatan cadangan devisa nasional jika sebagian besar rakyat tidak mampu membeli beras dan terpaksa makan nasi aking. Indonesia membutuhkan Yusuf-yusuf di tingkat pusat hingga daerah.
Menghadapi perubahan iklim global dan potensi gagal panen, pemerintah tidak boleh santai. Lebih mendesak kehadiran seorang menteri pangan dengan wewenang dan kapasitas seperti Yusuf daripada wakil menlu. Atau, fungsi Bulog dievaluasi, difokuskan, dan diperluas sebagai yang juga bertanggung jawab atas kedaulatan pangan di dalam negeri.
Yonky Karman: Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Rumah untuk Rakyat Tanggung Jawab Siapa?
Oleh Mustafa Bawazier *
Masih terngiang di telinga kita bagaimana Kabinet Indonesia Bersatu membuka lembaran kerja dengan program sejuta rumah. Pada tahun berikutnya Presiden SBY langsung menggebrak dengan pencanangan pembangunan seratus ribu rumah di seluruh Indonesia dalam upacara meriah di Semarang. Jawa Timur kebagian 20 ribu unit setiap tahun. Rakyat pun merespons antusias menunggu impiannya terwujud. Karyawan yang biasanya nebeng di rumah mertua, mengontrak atau indekos kini semakin besar berpeluang menata rumah sendiri dengan harga terjangkau.
Peran pemerintah yang diharapkan bisa lebih besar ternyata hanya mampu membebaskan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pinjaman uang muka Rp 5 juta sd Rp 10 juga hanya khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Adapun subsidi fisik -sarana dan prasarana umum- yang sangat diharapkan dapat menurunkan biaya membangun belum ada kepastian. Masih bergantung pada kemampuan lobi di instansi-instansi terkait. Karena tidak adanya kepastian, tidaklah menarik bagi pengembang. Maka, Jawa Timur akhirnya hanya bisa mewujudkan separo.
Tudingan sudah pasti diarahkan kepada pengembang. Tuduhan lamban, tidak produktif, tidak punya tanggung jawab moral menjadi santapan para pengusaha. Puncaknya dalam Munas REI 10 Desember 2007 Wakil Presiden Yusuf Kalla menyemprot pengembang yang gagal memenuhi target.
Benarkah? Mari kita cermati fakta-fakta berikut untuk menyusun porsi tanggung jawab. Kemudian, menggalang kebersamaan setiap elemen untuk menyukseskan impian pemerintah dan rakyat.
Program pembangunan rumah sehat sederhana ini tentu berangkat atas inisiatif pemerintah sebagai perwujudan aspirasi dan keinginan rakyat memperoleh kenyamanan dan hak sebagai warga negara.
Selain pemerintah pusat, tentu ada lembaga keuangan, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, pengembang, dan calon penghuni yang menjadi pilar bagi suksesnya program sejuta rumah ini.
Pengembang menjadi lebih sentral karena dialah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan di lapangan. Tetapi, mata rantai lain seperti penyediaan tanah, perhatian pemerintah (pusat-provinsi dan daerah) dan kondisi ekonomi menjadi satu kesatuan masalah yang bisa menghadang ambisi besar kita semua untuk cepat-cepat menyediakan rumah buat rakyat kecil.
Pemantauan yang dilakukan Menteri Perumahan Rakyat cukup gencar dan membuktikan keseriusan pemerintah. Dia rajin menghadiri kegiatan REI/APERSI di berbagai daerah, bahkan sering ke Jatim. Dia terus berdialog dan berupaya mencarikan solusi. Namun, solusi atas berbagai keluhan membutuhkan waktu lama karena perlu melibatkan banyak pihak.
Kebutuhan rumah murah untuk rakyat yakni rumah sehat sederhana (RSH) dan rumah susun sederhana (Rusuna) menjadi agenda kegiatan Asosiasi Real Estate seperti REI/APERSI. Sasaran pemerintah terbatas pada rakyat yang berpenghasilan tetap atau 25 persen dari populasi keseluruhan. Sementara rakyat yang tidak berpenghasilan tetap mencapai 75 persen. Memang ada risiko keamanan bagi lembaga penjamin, tetapi intervensi pemerintah dapat membuka pasar yang begitu besar.
Di negara tetangga, Singapura dan Malaysia, pemerintah menyediakan dana pembangunan RSH/rusuna dalam porsi cukup besar. Di sana pemerintah menyediakan pinjaman untuk pembebasan tanah (land bank) dan subsidi biaya membangun serta subsidi bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Hitungan dan targetnya sudah jelas. Subsidi-subsidi tersebut pasti cair dengan jadwal yang jelas dan tegas. Sementara di sini penuh ketidakpastian. Kita harus berebut mendapatkan subsidi-subsidi tersebut.
Jadi, harus ada kesungguhan total dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah di daerah terhadap keberhasilan pemenuhan kebutuhan RSH/ rusuna. Kalau itu terwujud, permasalahan pemenuhan kebutuhan rumah murah hanya tersisa tiga: subsidi biaya membangun, penunjang pembiayaan (bank pemberi KPR), dan faktor biaya perizinan
Faktor Subsidi Biaya
Sebagai contoh RSH dengan tipe 36/72 pemerintah mematok harga maksimum per unit Rp 55 juta. Pengembang tidak mungkin mendapat keuntungan tanpa subsidi. Dari pemerintah hanya ada pembebasan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta subsidi prasarana sarana utilitas umum (PJU), dan prasarana sarana dasar pekerjaan umum (PSDPU).
Jumlah ini belum mampu memengaruhi penurunan biaya. Apalagi subsidi-subsidi yang pokok seperti infrastruktur (PSU dan PSDPU) tersebut tidak semua pengembang bisa dengan mudah mendapatkannya. Pengembang masih harus berebut untuk memperolehnya serta membutuhkan keuletan, kegesitan dan kemampuan lobi di instansi-instansi terkait.
Jadi jelas hal tersebut sangatlah tidak menarik bagi pengembang, apalagi tanpa kepastian tentang besarnya biaya membangun tersebut bila terjadi kenaikan harga.
Sebenarnya hal ini sudah saling dimengerti baik pemerintah ataupun pengembang. Item-item seperti biaya membangun jalan, penyambungan listrik, (penarikan PLN induk), pemasangan penerangan jalan umum (PJU), seharusnya menjadi beban pemerintah agar tercapai harga Rp 55 juta per unit untuk type 36/72. Tanpa subsidi tersebut tidak mungkin bisa RSH type 36/72 dijual dengan harga Rp. 55 juta per unitnya.
Penunjang Pembiayaan
Selama ini yang disetujui oleh Bank untuk KPR adalah khusus pembeli (user) yang mempunyai penghasilan tetap. Rakyat yang tidak mempunyai penghasilan tetap sangat sulit mendapatkan persetujuan KPR dari bank.
Padahal justru pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap adalah mayoritas atau 75 persen dari pasar rumah murah di atas.
Mungkinkah bisa mencapai target pemenuhan kebutuhan RSH/rusuna di negeri ini, kalau market share 75 persen tidak tergarap. Dari sisi kemampuan membayar, pasar ini cukup besar meski tanpa jaminan dari perusahaan atau pihak ketiga lain. Calon pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap ini sangat mampu membayar cicilan KPR.
Belum lagi masalah subsidi bunga bank yang sangat kecil, saat ini pembeli RSH/rusuna hanya mendapatkan subsidi bunga 1,5 % dari bunga pasar komersial. Kalau bunga pasar 11%, angka 1,5 % itu subsidinya hanya 13,5 % dan berlaku hanya 6 tahun pertama. Tahun ke-7 dan selanjutnya kembali ke bunga pasar komersial.
Bandingkan dengan Malaysia yang menyubsidi 2,5 % dari bunga pasar komersialnya yang 6,5 % berarti angka subsidi mencapai 38 % dan berlaku selama masa kredit sampai 30 tahun. Hal-hal inilah yang kurang mendapat perhatian pemerintah pusat.
Biaya Perizinan
Faktor biaya perizinan masih mahal, apalagi kalau untuk membangun RSH/ rusuna. Biaya perizinan itu sudah sering menjadi objek kegelisahan berbagai pihak.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat menginstruksikan kabupaten-kota untuk menekan biaya-biaya perizinan semurah-murahnya, seperti biaya izin lokasi, pengesahan site plan, juga sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, kenyataannya harga masih saja mahal. Hal itu mungkin karena daerah yang satu dan yang lain berbeda. Untuk itu, pemerintah pusat perlu mengeluarkan juklak/juknis yang jelas agar ada kesamaan visi antara pengembang dan pemerintah daerah. Tanpa ini pengembang sulit menyusun komponen biaya dan menetapkan harga rumah yang sesuai dengan tuntutan pemerintah dan keinginan masyarakat.
* Mustafa Bawazier, pengurus REI Jatim terlibat langsung dalam pembangunan rumah murah sederhana
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335117
Masih terngiang di telinga kita bagaimana Kabinet Indonesia Bersatu membuka lembaran kerja dengan program sejuta rumah. Pada tahun berikutnya Presiden SBY langsung menggebrak dengan pencanangan pembangunan seratus ribu rumah di seluruh Indonesia dalam upacara meriah di Semarang. Jawa Timur kebagian 20 ribu unit setiap tahun. Rakyat pun merespons antusias menunggu impiannya terwujud. Karyawan yang biasanya nebeng di rumah mertua, mengontrak atau indekos kini semakin besar berpeluang menata rumah sendiri dengan harga terjangkau.
Peran pemerintah yang diharapkan bisa lebih besar ternyata hanya mampu membebaskan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta pinjaman uang muka Rp 5 juta sd Rp 10 juga hanya khusus bagi pegawai negeri sipil (PNS).
Adapun subsidi fisik -sarana dan prasarana umum- yang sangat diharapkan dapat menurunkan biaya membangun belum ada kepastian. Masih bergantung pada kemampuan lobi di instansi-instansi terkait. Karena tidak adanya kepastian, tidaklah menarik bagi pengembang. Maka, Jawa Timur akhirnya hanya bisa mewujudkan separo.
Tudingan sudah pasti diarahkan kepada pengembang. Tuduhan lamban, tidak produktif, tidak punya tanggung jawab moral menjadi santapan para pengusaha. Puncaknya dalam Munas REI 10 Desember 2007 Wakil Presiden Yusuf Kalla menyemprot pengembang yang gagal memenuhi target.
Benarkah? Mari kita cermati fakta-fakta berikut untuk menyusun porsi tanggung jawab. Kemudian, menggalang kebersamaan setiap elemen untuk menyukseskan impian pemerintah dan rakyat.
Program pembangunan rumah sehat sederhana ini tentu berangkat atas inisiatif pemerintah sebagai perwujudan aspirasi dan keinginan rakyat memperoleh kenyamanan dan hak sebagai warga negara.
Selain pemerintah pusat, tentu ada lembaga keuangan, pemerintah provinsi, pemerintah daerah, pengembang, dan calon penghuni yang menjadi pilar bagi suksesnya program sejuta rumah ini.
Pengembang menjadi lebih sentral karena dialah yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan di lapangan. Tetapi, mata rantai lain seperti penyediaan tanah, perhatian pemerintah (pusat-provinsi dan daerah) dan kondisi ekonomi menjadi satu kesatuan masalah yang bisa menghadang ambisi besar kita semua untuk cepat-cepat menyediakan rumah buat rakyat kecil.
Pemantauan yang dilakukan Menteri Perumahan Rakyat cukup gencar dan membuktikan keseriusan pemerintah. Dia rajin menghadiri kegiatan REI/APERSI di berbagai daerah, bahkan sering ke Jatim. Dia terus berdialog dan berupaya mencarikan solusi. Namun, solusi atas berbagai keluhan membutuhkan waktu lama karena perlu melibatkan banyak pihak.
Kebutuhan rumah murah untuk rakyat yakni rumah sehat sederhana (RSH) dan rumah susun sederhana (Rusuna) menjadi agenda kegiatan Asosiasi Real Estate seperti REI/APERSI. Sasaran pemerintah terbatas pada rakyat yang berpenghasilan tetap atau 25 persen dari populasi keseluruhan. Sementara rakyat yang tidak berpenghasilan tetap mencapai 75 persen. Memang ada risiko keamanan bagi lembaga penjamin, tetapi intervensi pemerintah dapat membuka pasar yang begitu besar.
Di negara tetangga, Singapura dan Malaysia, pemerintah menyediakan dana pembangunan RSH/rusuna dalam porsi cukup besar. Di sana pemerintah menyediakan pinjaman untuk pembebasan tanah (land bank) dan subsidi biaya membangun serta subsidi bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Hitungan dan targetnya sudah jelas. Subsidi-subsidi tersebut pasti cair dengan jadwal yang jelas dan tegas. Sementara di sini penuh ketidakpastian. Kita harus berebut mendapatkan subsidi-subsidi tersebut.
Jadi, harus ada kesungguhan total dari pemerintah pusat sampai ke pemerintah di daerah terhadap keberhasilan pemenuhan kebutuhan RSH/ rusuna. Kalau itu terwujud, permasalahan pemenuhan kebutuhan rumah murah hanya tersisa tiga: subsidi biaya membangun, penunjang pembiayaan (bank pemberi KPR), dan faktor biaya perizinan
Faktor Subsidi Biaya
Sebagai contoh RSH dengan tipe 36/72 pemerintah mematok harga maksimum per unit Rp 55 juta. Pengembang tidak mungkin mendapat keuntungan tanpa subsidi. Dari pemerintah hanya ada pembebasan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) dan pajak pertambahan nilai (PPN) serta subsidi prasarana sarana utilitas umum (PJU), dan prasarana sarana dasar pekerjaan umum (PSDPU).
Jumlah ini belum mampu memengaruhi penurunan biaya. Apalagi subsidi-subsidi yang pokok seperti infrastruktur (PSU dan PSDPU) tersebut tidak semua pengembang bisa dengan mudah mendapatkannya. Pengembang masih harus berebut untuk memperolehnya serta membutuhkan keuletan, kegesitan dan kemampuan lobi di instansi-instansi terkait.
Jadi jelas hal tersebut sangatlah tidak menarik bagi pengembang, apalagi tanpa kepastian tentang besarnya biaya membangun tersebut bila terjadi kenaikan harga.
Sebenarnya hal ini sudah saling dimengerti baik pemerintah ataupun pengembang. Item-item seperti biaya membangun jalan, penyambungan listrik, (penarikan PLN induk), pemasangan penerangan jalan umum (PJU), seharusnya menjadi beban pemerintah agar tercapai harga Rp 55 juta per unit untuk type 36/72. Tanpa subsidi tersebut tidak mungkin bisa RSH type 36/72 dijual dengan harga Rp. 55 juta per unitnya.
Penunjang Pembiayaan
Selama ini yang disetujui oleh Bank untuk KPR adalah khusus pembeli (user) yang mempunyai penghasilan tetap. Rakyat yang tidak mempunyai penghasilan tetap sangat sulit mendapatkan persetujuan KPR dari bank.
Padahal justru pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap adalah mayoritas atau 75 persen dari pasar rumah murah di atas.
Mungkinkah bisa mencapai target pemenuhan kebutuhan RSH/rusuna di negeri ini, kalau market share 75 persen tidak tergarap. Dari sisi kemampuan membayar, pasar ini cukup besar meski tanpa jaminan dari perusahaan atau pihak ketiga lain. Calon pembeli yang tidak mempunyai penghasilan tetap ini sangat mampu membayar cicilan KPR.
Belum lagi masalah subsidi bunga bank yang sangat kecil, saat ini pembeli RSH/rusuna hanya mendapatkan subsidi bunga 1,5 % dari bunga pasar komersial. Kalau bunga pasar 11%, angka 1,5 % itu subsidinya hanya 13,5 % dan berlaku hanya 6 tahun pertama. Tahun ke-7 dan selanjutnya kembali ke bunga pasar komersial.
Bandingkan dengan Malaysia yang menyubsidi 2,5 % dari bunga pasar komersialnya yang 6,5 % berarti angka subsidi mencapai 38 % dan berlaku selama masa kredit sampai 30 tahun. Hal-hal inilah yang kurang mendapat perhatian pemerintah pusat.
Biaya Perizinan
Faktor biaya perizinan masih mahal, apalagi kalau untuk membangun RSH/ rusuna. Biaya perizinan itu sudah sering menjadi objek kegelisahan berbagai pihak.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Perumahan Rakyat menginstruksikan kabupaten-kota untuk menekan biaya-biaya perizinan semurah-murahnya, seperti biaya izin lokasi, pengesahan site plan, juga sertifikasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, kenyataannya harga masih saja mahal. Hal itu mungkin karena daerah yang satu dan yang lain berbeda. Untuk itu, pemerintah pusat perlu mengeluarkan juklak/juknis yang jelas agar ada kesamaan visi antara pengembang dan pemerintah daerah. Tanpa ini pengembang sulit menyusun komponen biaya dan menetapkan harga rumah yang sesuai dengan tuntutan pemerintah dan keinginan masyarakat.
* Mustafa Bawazier, pengurus REI Jatim terlibat langsung dalam pembangunan rumah murah sederhana
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335117
Mewaspadai Ketidakadilan Harga Beras
Gatot Irianto
Predikat sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat panen raya. Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima ”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian pemerintah/HPP). Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?
Mengapa disparitas harga beras dalam dan luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani? Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?
Ekspor gelap dan ”distrust”
Ada dua implikasi konkret yang perlu diwaspadai berkaitan dengan ketidakadilan harga beras petani: (i) terjadinya ekspor gelap dan (ii) melunturnya kepercayaan petani (distrust) terhadap program, aparat, dan citra Departemen Pertanian. Pemerintah tampaknya ”sedikit terlambat” merespons naiknya harga beras dunia dibandingkan para pedagang. Disparitas harga beras dalam dan luar negeri dimanfaatkan pedagang di daerah perbatasan untuk melakukan ”ekspor gelap” yang benefitnya tak dinikmati petani.
Fenomena ekspor gelap ini sangat berbahaya karena akan menyedot cadangan beras dan mengacaukan harga beras, bahkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kekacauan iklim akibat perubahan iklim yang dialami produsen pangan dunia, Amerika, China, Vietnam, Eropa, dan Australia, terus berlanjut, bahkan terjadi juga di Indonesia, lonjakan harga pangan dunia sulit dielakkan. Peningkatan kewaspadaan nasional terhadap gejolak pangan harus ditumbuhkan dan dipersiapkan dari tingkat keluarga, sekarang juga.
Untuk meraih manfaat maksimal dari melonjaknya pangan dunia, pemerintah secepatnya perlu melakukan ”ekspor beras terbatas” untuk memperoleh devisa dan mengatrol harga dalam negeri. Selain mencegah terjadinya permanent distrust, juga dapat memacu pencapaian program swasembada gula 2009. Jagung, daging, dan kedelai pada 2010.
Indikasi terjadinya distrust mulai terlihat ketika petani diminta meningkatkan produksi kedelai. Pertanyaan pertama yang mengemuka adalah bagaimana jaminan harganya dan siapa yang membeli produksinya? Pertanyaan itu sampai saat ini belum bisa dijawab karena beras yang ada HPP-nya saja tidak bisa dipenuhi, apalagi kedelai yang dibebaskan.
Stimulan dan insentif
Melambungnya harga beras dalam negeri merupakan ”stimulan tidak berbiaya ekonomi” bagi pemerintah dan ”insentif tak terduga” bagi petani untuk menggenjot produksi dalam negeri dan pendapatan petani. Rencana pemerintah mengekspor beras telah mengubah secara fundamental ”citra dan posisi Indonesia” dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara eksportir beras. Selain membanggakan bagi bangsa Indonesia, meraih kembali swasembada beras yang sempat lepas merupakan pembuktian eksistensi predikat negara agraris.
Pesimisme berbagai kalangan akan terjadinya kelangkaan pangan dijawab dengan produksi dalam negeri yang melimpah melalui kerja sama semua pihak. Ledakan produksi lebih dahsyat semestinya terjadi jika tidak ada bencana banjir awal tahun, dan apabila itu terjadi, Indonesia menjadi eksportir beras dunia.
Momentum ini harus direbut untuk mendongkrak pendapatan sehingga petani dapat melakukan perbaikan infrastruktur irigasi yang selama ini sebagian terbengkalai akibat keterbatasan pendanaan pemerintah. Harga beras yang atraktif mendorong semua pihak mengusahakan padi sehingga dengan pasokan air yang terbatas, akan terjadi peningkatan efisiensi pemberian air irigasi secara alamiah secara signifikan. Kemungkinan pengenaan iuran pemakaian air yang selama ini tidak berjalan juga dapat diimplementasikan kembali.
Mengapa peluang yang demikian besar belum dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk menyejahterakan petani hanya demi menekan terjadinya inflasi? Bukankah inflasi yang produktif dengan efek penguatan yang positif dan luas sampai batas tertentu sangat direkomendasikan? Keputusan pemerintah merupakan suatu pilihan, tetapi akan lebih bijak kalau kebijakan dapat dilakukan untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap yang lemah, jumlahnya banyak dan selama ini sudah lama menderita, yaitu petani.
Gatot Irianto Pengajar Analisis Sistem Hidrologi Sekolah Pascasarjana IPB
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.08.0051066&channel=2&mn=158&idx=158
Predikat sebagai komoditas strategis dan politik yang disandang beras tampaknya justru menjadikan komoditas ini sarat intervensi yang lebih banyak madarot-nya dibandingkan manfaatnya. Begitu banyaknya intervensi ekonomi dan politik pemerintah melalui Departemen Perdagangan dan Bulog ditambah lagi intervensi swasta melalui tengkulak menyebabkan petani selalu mengalami ketidakadilan harga saat panen raya. Petani yang sebagian besar miskin ”terpaksa dan dipaksa” menerima ”harga senyatanya dan bukan harga yang seharusnya” (harga pokok pembelian pemerintah/HPP). Ironisnya lagi, mengapa hanya beras saja yang diperlakukan tak adil, sementara harga kedelai dan minyak goreng lebih mudah disesuaikan?
Mengapa disparitas harga beras dalam dan luar negeri yang mencapai Rp 1.800 tidak bisa dinikmati petani? Bahkan, sebaliknya, harga gabah kering panen petani hanya dihargai Rp 1.700. Logika ekonomi dan matematika mana yang dapat menjelaskan ketidakadilan tersebut?
Ekspor gelap dan ”distrust”
Ada dua implikasi konkret yang perlu diwaspadai berkaitan dengan ketidakadilan harga beras petani: (i) terjadinya ekspor gelap dan (ii) melunturnya kepercayaan petani (distrust) terhadap program, aparat, dan citra Departemen Pertanian. Pemerintah tampaknya ”sedikit terlambat” merespons naiknya harga beras dunia dibandingkan para pedagang. Disparitas harga beras dalam dan luar negeri dimanfaatkan pedagang di daerah perbatasan untuk melakukan ”ekspor gelap” yang benefitnya tak dinikmati petani.
Fenomena ekspor gelap ini sangat berbahaya karena akan menyedot cadangan beras dan mengacaukan harga beras, bahkan stabilitas politik dalam negeri. Jika kekacauan iklim akibat perubahan iklim yang dialami produsen pangan dunia, Amerika, China, Vietnam, Eropa, dan Australia, terus berlanjut, bahkan terjadi juga di Indonesia, lonjakan harga pangan dunia sulit dielakkan. Peningkatan kewaspadaan nasional terhadap gejolak pangan harus ditumbuhkan dan dipersiapkan dari tingkat keluarga, sekarang juga.
Untuk meraih manfaat maksimal dari melonjaknya pangan dunia, pemerintah secepatnya perlu melakukan ”ekspor beras terbatas” untuk memperoleh devisa dan mengatrol harga dalam negeri. Selain mencegah terjadinya permanent distrust, juga dapat memacu pencapaian program swasembada gula 2009. Jagung, daging, dan kedelai pada 2010.
Indikasi terjadinya distrust mulai terlihat ketika petani diminta meningkatkan produksi kedelai. Pertanyaan pertama yang mengemuka adalah bagaimana jaminan harganya dan siapa yang membeli produksinya? Pertanyaan itu sampai saat ini belum bisa dijawab karena beras yang ada HPP-nya saja tidak bisa dipenuhi, apalagi kedelai yang dibebaskan.
Stimulan dan insentif
Melambungnya harga beras dalam negeri merupakan ”stimulan tidak berbiaya ekonomi” bagi pemerintah dan ”insentif tak terduga” bagi petani untuk menggenjot produksi dalam negeri dan pendapatan petani. Rencana pemerintah mengekspor beras telah mengubah secara fundamental ”citra dan posisi Indonesia” dari negara pengimpor beras terbesar menjadi negara eksportir beras. Selain membanggakan bagi bangsa Indonesia, meraih kembali swasembada beras yang sempat lepas merupakan pembuktian eksistensi predikat negara agraris.
Pesimisme berbagai kalangan akan terjadinya kelangkaan pangan dijawab dengan produksi dalam negeri yang melimpah melalui kerja sama semua pihak. Ledakan produksi lebih dahsyat semestinya terjadi jika tidak ada bencana banjir awal tahun, dan apabila itu terjadi, Indonesia menjadi eksportir beras dunia.
Momentum ini harus direbut untuk mendongkrak pendapatan sehingga petani dapat melakukan perbaikan infrastruktur irigasi yang selama ini sebagian terbengkalai akibat keterbatasan pendanaan pemerintah. Harga beras yang atraktif mendorong semua pihak mengusahakan padi sehingga dengan pasokan air yang terbatas, akan terjadi peningkatan efisiensi pemberian air irigasi secara alamiah secara signifikan. Kemungkinan pengenaan iuran pemakaian air yang selama ini tidak berjalan juga dapat diimplementasikan kembali.
Mengapa peluang yang demikian besar belum dimanfaatkan pengambil kebijakan untuk menyejahterakan petani hanya demi menekan terjadinya inflasi? Bukankah inflasi yang produktif dengan efek penguatan yang positif dan luas sampai batas tertentu sangat direkomendasikan? Keputusan pemerintah merupakan suatu pilihan, tetapi akan lebih bijak kalau kebijakan dapat dilakukan untuk mengakhiri ketidakadilan terhadap yang lemah, jumlahnya banyak dan selama ini sudah lama menderita, yaitu petani.
Gatot Irianto Pengajar Analisis Sistem Hidrologi Sekolah Pascasarjana IPB
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.08.0051066&channel=2&mn=158&idx=158
Implikasi Soal Tibet pada Olimpiade Beijing
Pada hari-hari terakhir ini, penderitaan rakyat Tibet akibat kebijakan Beijing mencapai puncaknya. Kita menyesalkan karena nyawa kembali melayang. Tak tanggung-tanggung, kali ini delapan orang terbunuh, ketika 370 biksu dan sekitar 400 warga Tibet melakukan aksi protes di Garze, Tibet (Jawa Pos 6 April 2008). Peristiwa itu merupakan repetisi kejadian pada 10 Maret lalu di kawasan kota tua Lhasa. Ketika itu, ratusan biksu dan warga Tibet berunjuk rasa untuk memperingati 49 tahun pemberontakan yang gagal terhadap Tiongkok pada 1959.
Paling tidak, 26 orang ditembak hingga tewas di dekat sebuah penjara di Lhasa. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan paling kurang 80 tewas dalam peristiwa tersebut.
Sekadar flashback, setelah pemberontakan gagal pada 1959, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama dan sekitar 80.000 warga Tibet melarikan diri ke Kota Dharamsala di lembah Kangra, di negara bagian Himachal Pradesh, India. Mereka disambut Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru yang kemudian memberinya tempat untuk mendirikan pemerintahan.
Terkait memanasnya situasi Tibet, pemerintah China menuduh Dalai Lama dan CIA berada di belakang unjuk rasa kali ini. Dalai Lama membantah karena tidak pernah menyetujui cara kekerasan dalam upaya meraih kemerdekaan bagi Tibet.
Unjuk rasa dan pemberontakan memang menjadi bagian dari keseharian orang Tibet, sejak wilayah itu dikuasai Tiongkok pada 1950. Unjuk rasa dalam skala besar pernah terjadi pada awal 1989.
Berbagai simpati ditunjukkan kepada rakyat Tibet seraya mengecam keras langkah Beijing. Yang terbaru, solidaritas untuk rakyat Tibet ditunjukkan di banyak tempat, termasuk Inggris. Sekitar 30 orang ditahan saat pengunjuk rasa pro-Tibet dan polisi Inggris bergelut sepanjang rute kirab Obor Olimpiade di London (BBC, 6 April 2008).
HAM sebagai Ukuran Utama
Lepas dari keberhasilan Tiongkok, khususnya dari sisi ekonomi dan militer, sehingga dianggap menjadi kekuatan baru yang mampu mengimbangi AS, kasus Tibet menjadi cermin kegagalan Tiongkok dalam menjalankan kebijakan pro HAM.
Kita tahu dewasa ini, isu HAM memang menjadi ukuran utama dalam tata pergaulan masyarakat internasional. Semaju apa pun sebuah negara, jika HAM diabaikan, kemajuan itu tidak akan diakui, apalagi diapresiasi.
Meskipun Tiongkok telah mampu menorehkan prestasi dengan produk-produknya yang memenuhi pasar global, termasuk Indonesia, Tiongkok belum diakui sejajar dengan negara-negara maju lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau AS.
Jadi, dengan persediaan cadangan devisa terbesar di dunia, hingga USD 1,3 triliun (Bandingkan cadangan devisa RI hanya USD 51 miliar), Tiongkok kerap masih disisihkan dalam pergaulan internasional, karena dianggap masih melecehkan martabat manusia, seperti dalam kasus Tibet.
Lihat saja dengan militer dan kekuatan ekonomi yang sedemikian besar, toh Tiongkok gagal merebut hati rakyat Tibet, karena pada hakikatnya kebebasan, akal, dan budi rakyat Tibet tidak bisa dikekang. Jadi, Tiongkok baru akan mendapat pengakuan atas kemajuannya, selama kebebasan berpikir, berekspresi, dan bertindak rakyat Tibet diakui.
Meski Tiongkok mengklaim Tibet merupakan bagian integral dari wilayahnya, selama HAM rakyat Tibet tidak dihargai, Tiongkok tetap dimusuhi masyarakat dunia, khususnya kalangan pegiat HAM.
Olimpiade Beijing
Buruknya catatan HAM pemerintah China menyusul kasus Tibet kini juga dikaitkan dengan Olimpiade Beijing. Kebetulan sejak akhir Maret lalu, Obor Olimpiade dinyalakan di Olimpia, Yunani dan siap melintasi 20 negara sebelum dibawa ke upacara pembukaan Olimpiade Beijing 8 Agustus mendatang. Selama perjalanan obor itu, khususnya di Eropa, para pegiat HAM terus menyerukan diboikotnya Olimpiade Beijing akibat sikap represif Beijing atas warga Tibet.
Misalnya, saat obor sampai di London, 6 April lalu, Perdana Menteri Gordon Brown menyambut obor itu di luar kediaman resminya, nomor 10. Brown juga ditekan para pegiat HAM untuk memboikot parade dan pembukaan Olimpiade 2008 di Beijing. Sekitar 6,1 juta warga Tibet yang tersebar di seluruh dunia malah mendukung boikot menyeluruh atas Olimpiade Beijing.
Bahkan, beberapa kepala negara, seperti Presiden Prancis Sharkozy, sudah mempertimbangkan untuk tidak hadir dalam pembukaan Olimpiade Beijing (AFP, 4 April 2008). Tentu soal boikot ini disikapi secara berbeda oleh banyak pemimpin dunia dan kalangan olahragawan.
Publik dunia umumnya terpecah dalam dua kelompok besar. Ada yang berpendapat, olahraga jangan dicampur aduk dengan politik sehingga boikot atas penyelenggaraan Olimpiade Beijing justru hanya merugikan para olahragawan. Yang lain menilai perjuangan menegakkan HAM, termasuk HAM rakyat Tibet harus ditempuh lewat berbagai cara, di antaranya dengan ancaman boikot Olimpiade. Sasaran utamanya menekan Tiongkok agar akhirnya mau mengajak Dalai Lama berdialog atau berunding.
Apalagi Dalai Lama berulang-ulang menegaskan bahwa dirinya sebenarnya sudah merasa cukup jika Tibet diberi otonomi lebih luas. Setidaknya jangan ada cultural genocide di Tibet. Jangan sampai ada pengekangan atas kebebasan warga Tibet untuk beragama dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka.
Kebetulan Olimpiade Beijing hendak mengangkat topik perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian antarumat manusia. Topik ini sebenarnya amat bagus dan alangkah bagusnya jika Tiongkok menunjukkan semangat perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian itu pada rakyat Tibet.
* Andika Hadinata, rohaniwan dan analis politik internasional, tinggal di Roma-Italia
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335118
Paling tidak, 26 orang ditembak hingga tewas di dekat sebuah penjara di Lhasa. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan paling kurang 80 tewas dalam peristiwa tersebut.
Sekadar flashback, setelah pemberontakan gagal pada 1959, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama dan sekitar 80.000 warga Tibet melarikan diri ke Kota Dharamsala di lembah Kangra, di negara bagian Himachal Pradesh, India. Mereka disambut Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru yang kemudian memberinya tempat untuk mendirikan pemerintahan.
Terkait memanasnya situasi Tibet, pemerintah China menuduh Dalai Lama dan CIA berada di belakang unjuk rasa kali ini. Dalai Lama membantah karena tidak pernah menyetujui cara kekerasan dalam upaya meraih kemerdekaan bagi Tibet.
Unjuk rasa dan pemberontakan memang menjadi bagian dari keseharian orang Tibet, sejak wilayah itu dikuasai Tiongkok pada 1950. Unjuk rasa dalam skala besar pernah terjadi pada awal 1989.
Berbagai simpati ditunjukkan kepada rakyat Tibet seraya mengecam keras langkah Beijing. Yang terbaru, solidaritas untuk rakyat Tibet ditunjukkan di banyak tempat, termasuk Inggris. Sekitar 30 orang ditahan saat pengunjuk rasa pro-Tibet dan polisi Inggris bergelut sepanjang rute kirab Obor Olimpiade di London (BBC, 6 April 2008).
HAM sebagai Ukuran Utama
Lepas dari keberhasilan Tiongkok, khususnya dari sisi ekonomi dan militer, sehingga dianggap menjadi kekuatan baru yang mampu mengimbangi AS, kasus Tibet menjadi cermin kegagalan Tiongkok dalam menjalankan kebijakan pro HAM.
Kita tahu dewasa ini, isu HAM memang menjadi ukuran utama dalam tata pergaulan masyarakat internasional. Semaju apa pun sebuah negara, jika HAM diabaikan, kemajuan itu tidak akan diakui, apalagi diapresiasi.
Meskipun Tiongkok telah mampu menorehkan prestasi dengan produk-produknya yang memenuhi pasar global, termasuk Indonesia, Tiongkok belum diakui sejajar dengan negara-negara maju lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau AS.
Jadi, dengan persediaan cadangan devisa terbesar di dunia, hingga USD 1,3 triliun (Bandingkan cadangan devisa RI hanya USD 51 miliar), Tiongkok kerap masih disisihkan dalam pergaulan internasional, karena dianggap masih melecehkan martabat manusia, seperti dalam kasus Tibet.
Lihat saja dengan militer dan kekuatan ekonomi yang sedemikian besar, toh Tiongkok gagal merebut hati rakyat Tibet, karena pada hakikatnya kebebasan, akal, dan budi rakyat Tibet tidak bisa dikekang. Jadi, Tiongkok baru akan mendapat pengakuan atas kemajuannya, selama kebebasan berpikir, berekspresi, dan bertindak rakyat Tibet diakui.
Meski Tiongkok mengklaim Tibet merupakan bagian integral dari wilayahnya, selama HAM rakyat Tibet tidak dihargai, Tiongkok tetap dimusuhi masyarakat dunia, khususnya kalangan pegiat HAM.
Olimpiade Beijing
Buruknya catatan HAM pemerintah China menyusul kasus Tibet kini juga dikaitkan dengan Olimpiade Beijing. Kebetulan sejak akhir Maret lalu, Obor Olimpiade dinyalakan di Olimpia, Yunani dan siap melintasi 20 negara sebelum dibawa ke upacara pembukaan Olimpiade Beijing 8 Agustus mendatang. Selama perjalanan obor itu, khususnya di Eropa, para pegiat HAM terus menyerukan diboikotnya Olimpiade Beijing akibat sikap represif Beijing atas warga Tibet.
Misalnya, saat obor sampai di London, 6 April lalu, Perdana Menteri Gordon Brown menyambut obor itu di luar kediaman resminya, nomor 10. Brown juga ditekan para pegiat HAM untuk memboikot parade dan pembukaan Olimpiade 2008 di Beijing. Sekitar 6,1 juta warga Tibet yang tersebar di seluruh dunia malah mendukung boikot menyeluruh atas Olimpiade Beijing.
Bahkan, beberapa kepala negara, seperti Presiden Prancis Sharkozy, sudah mempertimbangkan untuk tidak hadir dalam pembukaan Olimpiade Beijing (AFP, 4 April 2008). Tentu soal boikot ini disikapi secara berbeda oleh banyak pemimpin dunia dan kalangan olahragawan.
Publik dunia umumnya terpecah dalam dua kelompok besar. Ada yang berpendapat, olahraga jangan dicampur aduk dengan politik sehingga boikot atas penyelenggaraan Olimpiade Beijing justru hanya merugikan para olahragawan. Yang lain menilai perjuangan menegakkan HAM, termasuk HAM rakyat Tibet harus ditempuh lewat berbagai cara, di antaranya dengan ancaman boikot Olimpiade. Sasaran utamanya menekan Tiongkok agar akhirnya mau mengajak Dalai Lama berdialog atau berunding.
Apalagi Dalai Lama berulang-ulang menegaskan bahwa dirinya sebenarnya sudah merasa cukup jika Tibet diberi otonomi lebih luas. Setidaknya jangan ada cultural genocide di Tibet. Jangan sampai ada pengekangan atas kebebasan warga Tibet untuk beragama dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka.
Kebetulan Olimpiade Beijing hendak mengangkat topik perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian antarumat manusia. Topik ini sebenarnya amat bagus dan alangkah bagusnya jika Tiongkok menunjukkan semangat perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian itu pada rakyat Tibet.
* Andika Hadinata, rohaniwan dan analis politik internasional, tinggal di Roma-Italia
Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335118
Langganan:
Postingan (Atom)