Selasa, 08 April 2008

Implikasi Soal Tibet pada Olimpiade Beijing

Pada hari-hari terakhir ini, penderitaan rakyat Tibet akibat kebijakan Beijing mencapai puncaknya. Kita menyesalkan karena nyawa kembali melayang. Tak tanggung-tanggung, kali ini delapan orang terbunuh, ketika 370 biksu dan sekitar 400 warga Tibet melakukan aksi protes di Garze, Tibet (Jawa Pos 6 April 2008). Peristiwa itu merupakan repetisi kejadian pada 10 Maret lalu di kawasan kota tua Lhasa. Ketika itu, ratusan biksu dan warga Tibet berunjuk rasa untuk memperingati 49 tahun pemberontakan yang gagal terhadap Tiongkok pada 1959.

Paling tidak, 26 orang ditembak hingga tewas di dekat sebuah penjara di Lhasa. Berbagai media, baik cetak maupun elektronik, memberitakan paling kurang 80 tewas dalam peristiwa tersebut.

Sekadar flashback, setelah pemberontakan gagal pada 1959, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama dan sekitar 80.000 warga Tibet melarikan diri ke Kota Dharamsala di lembah Kangra, di negara bagian Himachal Pradesh, India. Mereka disambut Perdana Menteri (PM) India Jawaharlal Nehru yang kemudian memberinya tempat untuk mendirikan pemerintahan.

Terkait memanasnya situasi Tibet, pemerintah China menuduh Dalai Lama dan CIA berada di belakang unjuk rasa kali ini. Dalai Lama membantah karena tidak pernah menyetujui cara kekerasan dalam upaya meraih kemerdekaan bagi Tibet.

Unjuk rasa dan pemberontakan memang menjadi bagian dari keseharian orang Tibet, sejak wilayah itu dikuasai Tiongkok pada 1950. Unjuk rasa dalam skala besar pernah terjadi pada awal 1989.

Berbagai simpati ditunjukkan kepada rakyat Tibet seraya mengecam keras langkah Beijing. Yang terbaru, solidaritas untuk rakyat Tibet ditunjukkan di banyak tempat, termasuk Inggris. Sekitar 30 orang ditahan saat pengunjuk rasa pro-Tibet dan polisi Inggris bergelut sepanjang rute kirab Obor Olimpiade di London (BBC, 6 April 2008).


HAM sebagai Ukuran Utama

Lepas dari keberhasilan Tiongkok, khususnya dari sisi ekonomi dan militer, sehingga dianggap menjadi kekuatan baru yang mampu mengimbangi AS, kasus Tibet menjadi cermin kegagalan Tiongkok dalam menjalankan kebijakan pro HAM.

Kita tahu dewasa ini, isu HAM memang menjadi ukuran utama dalam tata pergaulan masyarakat internasional. Semaju apa pun sebuah negara, jika HAM diabaikan, kemajuan itu tidak akan diakui, apalagi diapresiasi.

Meskipun Tiongkok telah mampu menorehkan prestasi dengan produk-produknya yang memenuhi pasar global, termasuk Indonesia, Tiongkok belum diakui sejajar dengan negara-negara maju lain seperti Inggris, Prancis, Jerman, atau AS.

Jadi, dengan persediaan cadangan devisa terbesar di dunia, hingga USD 1,3 triliun (Bandingkan cadangan devisa RI hanya USD 51 miliar), Tiongkok kerap masih disisihkan dalam pergaulan internasional, karena dianggap masih melecehkan martabat manusia, seperti dalam kasus Tibet.

Lihat saja dengan militer dan kekuatan ekonomi yang sedemikian besar, toh Tiongkok gagal merebut hati rakyat Tibet, karena pada hakikatnya kebebasan, akal, dan budi rakyat Tibet tidak bisa dikekang. Jadi, Tiongkok baru akan mendapat pengakuan atas kemajuannya, selama kebebasan berpikir, berekspresi, dan bertindak rakyat Tibet diakui.

Meski Tiongkok mengklaim Tibet merupakan bagian integral dari wilayahnya, selama HAM rakyat Tibet tidak dihargai, Tiongkok tetap dimusuhi masyarakat dunia, khususnya kalangan pegiat HAM.


Olimpiade Beijing

Buruknya catatan HAM pemerintah China menyusul kasus Tibet kini juga dikaitkan dengan Olimpiade Beijing. Kebetulan sejak akhir Maret lalu, Obor Olimpiade dinyalakan di Olimpia, Yunani dan siap melintasi 20 negara sebelum dibawa ke upacara pembukaan Olimpiade Beijing 8 Agustus mendatang. Selama perjalanan obor itu, khususnya di Eropa, para pegiat HAM terus menyerukan diboikotnya Olimpiade Beijing akibat sikap represif Beijing atas warga Tibet.

Misalnya, saat obor sampai di London, 6 April lalu, Perdana Menteri Gordon Brown menyambut obor itu di luar kediaman resminya, nomor 10. Brown juga ditekan para pegiat HAM untuk memboikot parade dan pembukaan Olimpiade 2008 di Beijing. Sekitar 6,1 juta warga Tibet yang tersebar di seluruh dunia malah mendukung boikot menyeluruh atas Olimpiade Beijing.

Bahkan, beberapa kepala negara, seperti Presiden Prancis Sharkozy, sudah mempertimbangkan untuk tidak hadir dalam pembukaan Olimpiade Beijing (AFP, 4 April 2008). Tentu soal boikot ini disikapi secara berbeda oleh banyak pemimpin dunia dan kalangan olahragawan.

Publik dunia umumnya terpecah dalam dua kelompok besar. Ada yang berpendapat, olahraga jangan dicampur aduk dengan politik sehingga boikot atas penyelenggaraan Olimpiade Beijing justru hanya merugikan para olahragawan. Yang lain menilai perjuangan menegakkan HAM, termasuk HAM rakyat Tibet harus ditempuh lewat berbagai cara, di antaranya dengan ancaman boikot Olimpiade. Sasaran utamanya menekan Tiongkok agar akhirnya mau mengajak Dalai Lama berdialog atau berunding.

Apalagi Dalai Lama berulang-ulang menegaskan bahwa dirinya sebenarnya sudah merasa cukup jika Tibet diberi otonomi lebih luas. Setidaknya jangan ada cultural genocide di Tibet. Jangan sampai ada pengekangan atas kebebasan warga Tibet untuk beragama dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka.

Kebetulan Olimpiade Beijing hendak mengangkat topik perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian antarumat manusia. Topik ini sebenarnya amat bagus dan alangkah bagusnya jika Tiongkok menunjukkan semangat perdamaian, rekonsiliasi, dan pengertian itu pada rakyat Tibet.
* Andika Hadinata, rohaniwan dan analis politik internasional, tinggal di Roma-Italia

Sumber: http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=335118

Tidak ada komentar: