Jumat, 21 Desember 2007

Our democracy needs fresh faces

Hanta Yuda AR, Jakarta

Unless there are big surprises, the same old faces will very likely dominate the 2009 presidential election, because so far there is not even a little sign that new faces from a younger generation will emerge. The regeneration of national leadership will still be sluggish in this era of democracy, where political parties still hold a strategic role in producing cadres of national leaders. The political parties seem to have not played their role well enough.

The regeneration of the leadership of political parties will be an indicator of the success of the cadre development of the parties. This will also show the smoothness of the regeneration of the leadership of the nation.

However, to be fair, we need to remember that during Soeharto's 32-year-rule, he effectively eliminated potential young leaders, and only those who were loyal to him had the chance to work in state affairs.

Meanwhile, political parties, as democratic institutions, are still controlled by the old elites. The one exception is the PKS, which has been led since the beginning by its young cadres. All important positions, including the heads of parties as well as the heads and members of the boards of advisors, are filled by the old elite. The political parties are still the main source of the national leadership.

The regeneration of the leadership of the political parties shows the face of the regeneration of the national leadership. The candidates who will be supported by political parties in the 2009 elections will be politicians who control major political parties. Major political parties like the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDIP) will still support their old faces like Megawati Soekarnoputri.

A survey conducted by Lembaga Survey Indonesia in October 2007 revealed there are seven figures who receive public support for the presidency: President Susilo Bambang Yudhoyono (58 years old), Megawati Soekarnoputi (62), co-founder of the National Mandate Party Amien Rais( 63), Gen. (ret.) Wiranto ( 60), Yogyakarta Governor Sultan Hamengku Buwono X (61), Vice President Jusuf Kalla (65) and former Jakarta governor Lt. Gen. (ret) Sutioyoso (63). Those seven figures are old players from the old generation of politicians. Even though the reform era has entered its ninth year, young new players have not emerged to lead the nation.

Most of the candidates for the 2009 elections will be in their sixties. This means there will be stagnation in the regeneration of leadership.

These developments are of great concern. This nation should be able to produce new cadres of leaders to anticipate the challenges in the future. Indonesia needs progressive, young new leaders who are capable of consolidating the nation and developing national solidarity in an effort to face globalization.

The central figures of the political parties are factors of resistance to the regeneration process of leadership of political parties, which in turn impacts the regeneration of national leadership. Major political parties like the PDIP, the National Awakening Party (PKB) and the Democratic Party (PD) still maintain this pattern. This is also shared by smaller political parties, which rely heavily on the figures or the oligarchy system.

In the PDIP, Megawati would remain the main actor. She will still influence the decision-making of the party. In other words, the PDIP is Megawati, and Megawati is the PDIP.

The developments in the PKB actually are similar to what has happened in the PDIP. The party is always identified with Gus Dur. It is likely the PKB without Gus Dur will lose the support of the people. The figure of SBY in the PD is also central. The party is dependent on the President. If SBY cuts his association with the party, the party will be left in a serious condition.

Gerontocracy is prevalent in Indonesia's political parties. The reason for this is the ambitions of the old politicians to stay in power. Their unwillingness to give new opportunities to young leaders has posed an obstacle to the regeneration process.

Gerontocracy closes the opportunity for young leaders to emerge in national politics. This will lead to the sluggishness of the regeneration process.

To break free from gerontocracy, there should be age limit for candidates vying for important positions in the political parties. Without lessening our respect for the old politicians, this age limitation is necessary to refresh our politics.

In the reform era, there are many figures from political parties, bureaucrats, academics and professionals who could be alternatives for national leaders.

They will participate in the democratic process through participation in the general elections. They will occupy many important positions in this country.

Young leaders are expected to balance the strength of the old leaders by increasing political lobbies, monitoring financial matters, developing social solidarity and mastering democratic institutions. There should be synergy amongst those leaders from different backgrounds. The readiness of young leaders will determine the regeneration of leadership in Indonesia.

The writer is political analyst and researcher of the Indonesian Institute in Jakarta

Source: http://www.thejakartapost.com/detaileditorial.asp?fileid=20071222.D07&irec=2

Minggu, 09 Desember 2007

Tahun Prorakyat dalam Taruhan

Wisnu Nugroho dan Suhartono

Sejumlah janji Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla semasa kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004 dipadatkan menjadi rencana dan program kerja sesaat setelah dilantik dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, 20 Oktober 2004. Tiga agenda utama untuk mengubah Indonesia menjadi lebih aman, adil, dan sejahtera dipijak sebagai landasan melangkah. "Bersama Kita Bisa!"

Untuk membuat rakyat Indonesia lebih sejahtera dari masa-masa sebelumnya, kebijakan ekonomi pemerintah dijalankan dengan mengacu pada tiga strategi yang kerap dikumandangkan Presiden pada dua tahun awal pemerintahan, yaitu pro growth (pertumbuhan), pro job (lapangan pekerjaan), dan pro poor (kemiskinan).

Entah kenapa, tiga strategi itu tak lagi kerap disebut di sepanjang tahun 2007. Di awal 2007, alih-alih menyebut tiga strategi itu, Presiden menyebut satu ungkapan baru, yaitu prorakyat yang merupakan rangkuman dari pro job dan pro poor.

Presiden sadar, pertumbuhan yang tinggi tanpa dampak langsung untuk rakyat adalah sia-sia.

"Memang benar, tahun yang kita arungi di waktu lalu adalah tahun yang tidak mudah. Memang benar persoalan itu belum dapat diatasi. Tetapi, tidakkah nyata, atas kerja keras semua pihak, atas dukungan dan kesabaran rakyat, banyak hal sudah dicapai selama ini, seperti di bidang ekonomi, politik, pemerintahan, keamanan, dan peranan internasional? Bidang itu semakin kokoh," ujar Presiden saat pidato awal tahun 2007.

Untuk menciptakan lapangan pekerjaan, selain pertumbuhan industri dalam negeri terus didorong, investasi baru di berbagai bidang, terutama infrastruktur pelabuhan, jalan tol, bandar udara, waduk, dan proyek pembangkit listrik, dipacu agar bergerak lebih cepat.

Dalam upaya mengurangi jumlah rakyat miskin, sejumlah program dikeluarkan dan dilanjutkan, mulai dari bantuan langsung tunai, permodalan usaha kecil dan menengah, bantuan operasional sekolah, serta jaminan Asuransi Kesehatan bagi Keluarga Miskin (Askeskin).

Secara garis besar, rencana besar pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2004-2009. RPJM dijadikan acuan semua kepala daerah dalam menyusun program kerjanya.

Pada awalnya manis

Pada awalnya, semua terlihat manis dan menjanjikan. Presiden Yudhoyono sangat optimistis. "Saya melihat peluang dan harapan yang lebih baik di tahun ini (2007) dan Insya Allah di tahun-tahun mendatang," katanya.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja, pemerintah menggelar pertemuan pebisnis internasional yang disebut Infrastructure Summit 2007. Ini adalah pertemuan kedua setelah pertemuan pertama digelar tahun 2005.

Aturan yang selama ini mempersulit pertumbuhan industri dan peluang investasi dipangkas. Ketentuan tentang perburuhan, seperti pesangon dan lainnya, akan direvisi. Badan usaha milik negara (BUMN) yang tidak sehat akan dilikuidasi, selain tetap akan melanjutkan privatisasi.

Bagi puluhan juta rakyat yang menggantungkan hidup pada sektor pertanian dan perikanan, pemerintah mencanangkan revitalisasi pertanian dan perikanan di Waduk Jatiluhur. Pencanangan itu ditindaklanjuti dengan target peningkatan produksi gabah setara beras sebanyak dua juta ton hingga akhir 2007.

Program revitalisasi ini ditopang pemerintah dengan pembagian bibit dan benih unggulan secara gratis kepada petani dan peternak. Nilai anggaran APBN untuk program ini adalah Rp 1 triliun. Guna mempercepat swasembada gula, pemerintah juga melakukan revitalisasi pabrik-pabrik gula.

Menghadapi terus naiknya harga minyak mentah dunia, pemerintah mendorong pengembangan energi alternatif seperti biofuel sebagai pengganti energi berbahan baku fosil. Pemerintah juga bertekad mengganti minyak tanah dengan gas elpiji dalam program konversi minyak tanah. Pemerintah juga mempunyai program baru, meningkatkan produksi minyak mentah di atas 1,043 juta kiloliter per tahun dari sebelumnya di bawah satu juta kiloliter.

Belum terasa

Hampir semua program tersebut, dalam pelaksanaan teknisnya diserahkan kepada Wapres Kalla, dengan monitoring Presiden Yudhoyono. Namun, kemajuan dan capaian seperti yang diharapkan, setidaknya dalam satu tahun ini, belum terasa.

Pertemuan infrastruktur kedua telah berakhir, tetapi proyek infrastruktur berjalan tertatih-tatih. Persoalan tanah, modal, aturan, dan birokrasi menjadi penyebabnya. Pembangunan jalan tol terhalang pembebasan lahan di tengah kemudahan investasi dan akses modal.

Pembangunan bandar udara, pelabuhan, dan pembangkit listrik membentur tembok pendanaan. Untuk menggerakkannya, pemerintah mengeluarkan jaminan pertanggungan oleh APBN yang tidak lain dari uang rakyat, selain skema yang sangat menguntungkan para investor.

Semua rencana dan hambatan yang menghadang telah dicoba diatasi dengan berbagai kebijakan. Untuk mengatasi hambatan birokrasi, Presiden Yudhoyono dan Wapres Kalla langsung turun tangan.

Hambatan birokrasi

Mulai awal 2007, Presiden dan Wapres bergantian dan seperti berlomba-lomba memimpin rapat di belasan departemen teknis dan berbagai instansi.

Meski demikian, hasil kerja dan capaian setiap departemen dirasakan belum memuaskan. "Kadang kala, saya harus memimpin langsung dulu sebelum saya lepaskan kepada mereka dan meminta perkembangannya," ujar Wapres akhir Oktober lalu.

Karena geregetan dengan kerja birokrat, untuk program konversi minyak tanah ke gas, misalnya, hampir setiap minggu digelar rapat di Istana Wapres. Tidak cukup memberi instruksi kepada para menteri, Wapres sampai mengontrol langsung ke pabrik pembuatan kompor, pasokan, dan distribusinya.

Meskipun dipantau dan diarahkan, program pengadaan tabung gas sempat meleset dari sasaran dan menimbulkan kebingungan dan pro kontra, setelah munculnya impor tabung.

Dalam soal penyaluran benih pertanian, Wapres juga mengeluh. "Sudah dibuatkan kerja sama tiga lembaga (BPKP, Kejaksaaan Agung, dan Kepolisian Negara RI) agar penunjukan langsung bibit dan benih gratis untuk menopang dua juta produksi beras dilakukan, sampai sekarang tak lebih dari 50 persen pelaksanaannya," ujarnya.

Untuk jaminan kesehatan penduduk miskin yang angkanya mencapai 37,1 juta jiwa, pemerintah mewujudkan program Askeskin yang merupakan kelanjutan rancangan program pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Askeskin diberikan bukan hanya untuk 37,1 juta jiwa yang benar-benar miskin, tetapi juga rakyat setengah miskin dan kurang mampu. Karena itu, angkanya mencapai 76,4 juta jiwa. Meski sudah rinci dan tegas kebijakannya, dalam pelaksanaan di Departemen Kesehatan, program itu belum berjalan mulus.

Laporan Bappenas memang menyebutkan, selain masih digunakan untuk sebagian belanja barang, sosialisasi untuk Askeskin dianggap kurang. Tahun anggaran berjalan 2007 ini Departemen Kesehatan malah minta tambahan anggaran Rp 1,3 triliun. Namun, yang dipenuhi hanya sekitar Rp 700 miliar. Padahal, total alokasi pemerintah untuk program ini cukup besar, sekitar Rp 3,5 triliun.

Birokrasi berikut aparatnya memang menjadi sumber persoalan untuk pelaksanaan program prorakyat yang dicanangkan dan ingin dituai pemerintah. Aparat yang sebelumnya bebas melakukan apa saja, termasuk kemungkinan menyelewengkan uang negara, sekarang seperti tak berani berkutik. Ketakutan dituding korupsi selalu dijadikan alasan untuk melepas tanggung jawab.

Wapres Kalla pun sempat mengancam aparat birokrasi yang tidak berani berbuat apa-apa sehingga membuat anggaran negara untuk kepentingan rakyat tak terserap. Hingga akhir Oktober 2007, penyerapan APBN untuk pembangunan hanya 30,7 persen atau Rp 20,9 triliun dari total anggaran Rp 68,1 triliun.

Kenyataan tidak jauh berbeda juga terjadi di daerah. Jumlah serapan setiap APBD berkisar di angka 30 persen saja.

Dengan tidak digunakannya anggaran negara yang sudah ada untuk pembangunan, bisa dibayangkan bagaimana pelaksanaan program prorakyat yang sudah dicanangkan sejak awal tahun 2007.

Kini waktu makin sempit karena akhir masa jabatan tinggal dalam hitungan bulan. Upaya menggenjot dan mencetak daftar kata "telah" banyak terlewatkan. Hampir 70 persen rakyat yang mendapat dukungan anggaran pembangunan tidak tersapa dan diperjuangkan.

Dua puluh bulan mendatang, rakyat sudah akan menimbang dan mengambil keputusan di hari penghakiman.

Chavez, Putin, dan Dua Demokrasi

Oleh Ahmad Dahlan

Pekan lalu kita telah menyaksikan dua peristiwa demokrasi penting yang terjadi di belahan dunia barat.

Pertama adalah pemilu parlemen di Rusia pada Sabtu (1/12) yang dimenangi Partai Rusia Bersatu (United Russian) bentukan Presiden Vladimir Putin. Kedua, referendum nasional tentang perubahan konstitusi di Venezuela pada Minggu (2/12) yang berakhir dengan penolakan rakyat Venezuela atas inisiatif Presiden Hugo Chavez untuk merevisi konstitusi.

Kedua peristiwa tersebut menarik untuk dicermati karena menyangkut nasib politik dua orang kuat yang telah memimpin Rusia dan Venezuela selama lebih dari dua periode. Fakta bahwa pemilu dan referendum sebagai mekanisme demokrasi telah digunakan untuk melanggengkan kekuasaan juga menarik untuk dicermati.

Kenyataan itu merupakan sesuatu yang bertolak belakang dengan nilai demokrasi itu sendiri, yaitu membatasi kekuasaan agar tidak mengkristal menjadi kekuasaan absolut yang berujung pada tindak kesewenangan dari pemegang kekuasaan tersebut. Sebagaimana dikemukakan Lord Acton, "Power tend to corrupt, absolute power corrupt absolutely."

Lalu, bagaimana kita menjelaskan dua peristiwa tersebut dalam konteks menilai kualitas demokrasi di Rusia dan Venezuela?

Menunggangi Demokrasi?

Rusia sebagai pewaris tunggal kebesaran Uni Soviet sesungguhnya belum terlalu akrab dengan ide-ide demokrasi. Tradisi yang dirintis Gorbachev sebagai pelopor pembaruan dan pencetus demokratisasi serta diperkuat Yeltsin telah diteruskan dengan baik oleh Putin.

Setelah delapan tahun berkuasa, Presiden Putin dikenal sebagai pemimpin Rusia yang berhasil. Putin dinilai telah mampu mengembalikan harga diri nasionalis dan kepercayaan bangsa Rusia yang merosot drastis sejak berakhirnya era perang dingin dan runtuhnya tembok Berlin.

Ditunjang dengan keberhasilan ekonomi Rusia, Putin memupuk modal politik untuk terus berkuasa. Konstitusi Rusia membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode sehingga pada Maret 2008 Putin harus lengser untuk digantikan presiden baru hasil pemilu.

Selanjutnya, Putin membentuk Partai Rusia Bersatu yang digunakannya sebagai kendaraan politik untuk memenangi pemilu parlemen pada pekan lalu.

Kemenangan tersebut menjamin diperolehnya minimal 70 persen jumlah kursi di parlemen Rusia, jumlah yang cukup besar untuk menyiasati penyusunan undang-undang atau peraturan lain untuk kepentingan Putin.

Bisa diprediksi bahwa selanjutnya Putin akan menggunakan kekuatan di parlemen untuk mengamandemen konstitusi atau membuatnya terpilih menjadi perdana menteri (PM). Dengan posisi mayoritas di parlemen dan menduduki posisi sebagai PM, Putin tidak terlalu sulit untuk bertindak sebagai "King Maker" yang akan menentukan calon presiden yang akhirnya berpeluang besar memenangi pemilu presiden tahun depan. Dengan demikian, Putin dipastikan tetap akan memegang kendali politik sepenuhnya di Kremlin.

Meski banyak diprotes dari partai oposisi yang mengklaim telah terjadi banyak kecurangan dalam pemilu, Putin akan dengan mudah meyakinkan dan melegitimasikan hasil pemilu itu, baik ke publik internal maupun pihak luar. Postur politik yang dibangun Putin selama 8 tahun, ditambah kedekatan khususnya dengan Presiden Bush, cukup membantu memperkuat kredibilitas Putin, baik di mata publik Rusia maupun di mata dunia internasional.

Untuk itu, dunia sedang menunggu langkah-langkah lanjutan Putin untuk membuatnya tetap berkuasa di Rusia. Tentu langkah-langkah cantik dalam koridor demokrasi sedemikian rupa sehingga seorang Gary Kasparov yang mantan juara dunia catur dan kini memimpin barisan oposisi Rusia itu pun harus tunduk.

Demokrat Sejati?

Hal yang menarik dari referendum nasional Venezuela adalah hasil penghitungan suara yang ternyata mayoritas menentang revisi konstitusi. Padahal, pihak Chavez dengan yakin dan percaya diri mengusulkan dan menyelenggarakan referendum yang diperhitungkan pasti didukung mayoritas rakyat.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa rakyat Venezuela sudah tidak begitu mengultuskan Presiden Chavez sebagaimana terjadi pada periode awal pemerintahannya.

Boleh jadi, itu juga refleksi dari kebosanan rakyat Venezuela akan sikap hyper-megalomania yang sering ditunjukkan Chavez setiap kali tampil di forum-forum internasional. Sikap Chavez tersebut memang banyak mengangkat citra Venezuela sebagai negara yang aktif menggalang koalisi anti-Amerika Serikat di kawasan Amerika Latin. Secara pribadi, Chavez juga sering digadang-gadang sebagai calon pengganti Fidel Castro.

Namun, berbeda dengan Castro, Chavez di puncak kepopuleran dan kekuasaannya ternyata masih memilih jalan demokrasi untuk mengambil keputusan sangat krusial dan penting seperti halnya amandemen konstitusi.

Dengan demikian, kita bisa menilai bahwa Chavez adalah demokrat sejati. Hal itu diperkuat dengan sikapnya yang menerima secara terbuka kekalahan kubu proamandemen dalam referendum dan membuka jalan bagi calon presiden baru untuk berkompetisi secara bebas dalam pemilu tahun depan.


Ahmad Dahlan, Kabid Diklat Sesdilu Departemen Luar Negeri (Deplu) RI. Alumnus Saitama University Jepang (Email: gilzul@yahoo.com)